Sabtu, 05 April 2014

sastra PERIODE 1953-1961


PERIODE 1953-1961
Tugas ini disusun dalam rangka Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah
Sejarah Sastra Indonesia II
Dosen Pembimbing : Hj. Kadaryati, Dra. M. Hum




      Disusun oleh :
              Kelompok 7 / II C
1.    Yunus Hendarto           (112110107)
2.    Akhmad Lutfi Aziz      (112110112)
3.    Elia Junitasari              (112110114)
4.    Nurul Hidayah             (112110118)


PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOREJO
2011-2012
A.  Periode 1953 – 1961
Periode 1953 – 1961, merupakan periode yang mengalami berkabung karena telah kehilangan salah seorang sastrawan pendobrak yakni chairil anwar. Pada periode ini yang menonjol adalah adanya anggapan krisis sastra dan sastra majalah.
Wafatnya Chairil Anwar  membawa dampak besar pada sahabat sastrawan lainnya. Banyak para sastrawan yang menjadi kurang semangat dalam menciptakan sebuah karya atau kurang produktif karena terbawa nuansa berkabung. Bukan hanya itu, pada tubuh pemerintahan mulai muncul kejenuhan sehingga bibit – bibit korupsi dan manipulasi mulai menjamur dan merusak masyarakat. Karena kedua hal tersebut diatas, mencuatlah anggapan krisis sastra.

B.  Sastra Indonesia Mengalami Krisis Sastra
Setelah Chairil Anwar meninggal, Gelanggang Seni Merdeka kehilangan vitalitas. Asrul Sani dan Rivai Apin yang dianggap mampu melanjutkan kepeloporan Chairil sudah jarang menulis sajak atau hasil sastra lainnya. Kehidupan nasionalpun tampak suram. Pemimpin-pemimpin banyak yang bosan berjuang lalu melakukan penyelewengan. Bibit korupsi mulai merusak masyarakat dan Negara. Pertikaian antar politik kian nyata.
Bulan April 1952 di Jakarta diselenggarakan simposium tentang “Kesulitan-kesulitan zaman peralihan sekarang” dengan beberapa pembicara. Dalam simposium itu dilontarkan istilah krisis akhlak, krisis ekonomi dsb.
Tahun 1953 di Amsterdam diselenggarakan simposium tentang Kesusastraan Indonesia antara lain yang berbicara dalam simposium itu Asrul Sani, STA, Prof. Dr. Werthim dll.
Dalam esainya Sudjatmoko yang berjudul “Mengapa Konfrontasi” Ia berkesimpulan bahwa Sastra Indonesia sedang mengalami krisis sebagai akibat dari krisis kepemimpinan politik. Ia mengatakan bahwa sastra Indonesia mengalami krisis, karena yang ditulis hanya cerpen-cerpen kecil yang “berlingkar sekitar psikologisme perorangan semata-mata”. Roman-roman besar tidak ada.
Esai Sudjatmoko diatas banyak mendapat reaksi dari para sastrawan seperti Nugroho Notosusanto, SM Ardan, Boejoeng Saleh, dll yang secara tandas disertai bukti-bukti yang sukar untuk dibantah, menolak penamaan “krisis sastra”. Menurut mereka sastra Indonesia hidup dengan subur, Demikian pula H. B Yassin.
Dalam tulisan berjudul “Situasi 1954” yang ditujukan kepada sahabatnya Ramadhan K.H, Nugroho mencoba mencari latar belakang timbulnya penamaan “Impasse sastra Indonesia” yang bagi dia tidak lebih hanya sebuah mite.

C.  Sastra Indonesia Tidak Mengalami Krisis Sastra
Adanya perbedaan pendapat mengenai ada dan tidak adanya krisis sastra keduanya memiliki bukti-bukti tersendiri sehingga bagi pihak yang melihatnya tetap menganggapnya sebagai suatu kenyataan. Mula-mula kita mendengar adanya krisis dalam sastra umumnya sesudahnya penyerahan kedaulatan. Pada permulaan tahun 1951 pemimpin Pujangga Baru Sutan Takdir Alisyahbana dalam majalah PB Januari tahun itu telah mensinyalir adanya impase dalam masyarakat dan kebudayaan. Suara ini diperdengarkan lebih keras dalam symposium yang diadakan Sticusa di Amsterdam tahun 1953.
Jika diselidiki apakah yang dimaksud dengan kemunduran, impasse, krisis itu kita bisa kembalikan pada hal berikut :
§  Sutan Takdir menganggap masyarakat dan kebudayaan kita dalam arti yang paling luas terancam dari dua pihak, yaitu karena statisnya orang tua dan muda dalam berfikir. Orang tua-tua maunya kembali pada suasana zaman lampau, sedangkan yang muda-muda mau dengan bulat mengambil alih segala teori ekonomi, politik, dan kesenian dari Eropa dan Amerika. Tak ada pertumbuhan dari pribadi yang dinamis dan karena itu terjadinya impasse dalam masyarakat dan segala cabang kehidupannya, rohani dan jasmani. Sesudah satu tahun merdeka para penyair hanya mendengarkan suara yang pesimistis dan puisi mereka makin lama makin kosong dan kabur ( Pujangga Baru Tahun XII, No.7, Jan, 1951).
§  Ir. Dr. Udin berpendapat, bahwa di waktu revolusi pada seniman ada satu tujuan bersama yaitu melawan Belanda. Mereka ikut dengan revolusi dan di masa revolusi itulah mereka berikan hasil-hasil seni yang paling baik. Sesudah penyerahan kedaulatan fungsinya sebagai seniman revolusi hilang dan mereka kehilangan tujuan yang nyata. Maka kelihatanlah kemunduran kuantitatif dan kualitatif dalam hasil-hasil mereka (Cultureel Nious Indonesia, 1953, No. 30).
Perkataan krisis ini mempunyai daya menular dan masih dalam tahun ini ada orang menganggap bahwa ada krisis kesusastraan dan krisis sastra ini akibat dari krisis kepemimpinan politik. Sebagai ciri dari krisis sastra disebut antara lain tidak ada penulisan roman-roman yang besar (Konfrontasi, Tahun I No. 1-2, Juli-Agustus 1954).
Di bawah ini ada beberapa pembahasan mengenai krisis sastra.
§  Asrul Sani dalam simposium di Amsterdam tahun 1953 mengakui adanya impasse, tetapi impasse itu hanya bersifat sementara. Impasse itu dilihatnya sebagai akibat dari putusnya hubungan hidup kedesaan dan belum sampainya hidup kekotaan pada nilai-nilai yang benar. Toh dia melihat adanya kegiatan sastra yang berupa cerpen, tapi persoalannya hanya terbatas pada kritik-kritik yang sejenis pada kenyataan, pada pemimpin-pemimpin dan kehidupan politik. Dia berpendapat, bahwa belum sampai waktunya untuk menulis roman yang tebal tentang revolusi, karena kita belum dapat mengambil jarak terhadapnya dan kita tidak punya tempo.
§  Boejoeng Saleh dalam pembicaraannya tentang “Konfrontasi” membahas karangan Soedjatmoko (Siasat, Tahun VIII, 20 Agustus 1954) mengakui adanya krisis sosial yang menurut dia bukan disebabkan, karena krisis kepemimpinan seperti diagnose Soedjatmoko, tetapi karena adanya “jarak atau jurang antara kebutuhan obyektif rakyat Indonesia dan kenyataan sosial yang terdapat kini.” Tetapi mengenai krisis sastra, Boejoeng Saleh positif berpendapat, bahwa “krisis sastra tidak ada”. Dia menunjuk pada beberapa hasil sastra, seperti “Keluarga Gerilya”, “Jalan Tak Ada Ujung” dan roman-roman yang masih terbengkelai belum ada penerbitnya.
§  Tentang apa sebabnya sedikit terlahir roman, Boejoeng mencari alasan-alasan dari sudut kemasyarakatan dan perekonommian. Sebelum perang pengarang-pengarang yang telah berjasa di lapangan kesusastraan biasa orang-orang yang telah mempunyai pekerjaan tetap sebagai guru, wartawan atau redaktur, sedang kebanyakan pengarang sesudah perang semata-mata tergantung imbalan cerita-cerita yang ditulisnya dan inilah sebabnya mereka hanya memberikan hasil pekerjaan jangka pendek, yaitu cerita pendek. Ditambah lagi faktor-faktor seperti kesempitan perumahan yang tidak memungkinkan pemusatan pemikiran.
§  Nugroho Notosusanto dalam Kompas, Tahun IV, Juli 1954 meneropong apa yang disebut kelesuan dan membuktikan, bahwa kelesuan tidak ada.  Untuk ia bandingkan produksi kesusastraan berupa buku dan majalah antara tahun 45-50 dan antara tahun 50-54 dan kehidupan kumpulan kesusastraan dalam dua periode itu.
§  Nugroho mencoba mencari asal-usul lahirnya apa yang disebutnya mite kelesuan ini dan mngemukakan tiga kemungkinan :
1.    Mungkin mite ini terlahir dari pesimisme umum. Artinya pesimisme orang-orang tentang zaman sesudah pemulihan kedaulatan. Pesimisme itu disatu pihak dikandung oleh mereka yang hidupnya pada zaman federal lebih enak, dan di lain pihak dikandung oleh mereka yang pada waktu hidup sulit pada zaman revolusi punya impian-impian yang indah dan muluk tentang zaman sesudah perang kolonial.
2.    Kemungkinan yang kedua menurut Nugroho, ialah bahwa golongan “old craks” di kalangan sastrawan yang pada periode 45 mengalami zaman keemasan padahal pada periode 50 mulai mundur, berpegangan erat pada masa silam yang indah itu dengan mengagung-agungkan zaman gemilangnya dan menjelekkan zaman ini, di mana muncul banyak tokoh-tokoh baru.
3.    Kemungkinan ketiga ialah bahwa sastrawan 45 sangat berorientasi ke sastra Belanda, dank arena di negeri Belanda sehabis PD II kesusastraan mengalami kelesuan, karena matinya pemimpin-pemimpin gerakan pembaharuan, maka angkatan sastrawan Indonesia yang menjajarkan diri dengan angkatan Marsman capon, sekarang juga mau meniru memproklamasikan kelesuan Indonesia.
Sutan Takdir mengatakan, bahwa puisi makin lama makin kosong   dan kabur mungkin ini terletak pada perbedaan ukuran apresiasi dan ukuran keindahan dalam seni, sesudah perang memang lain ukurannya dari ukuran sebelum perang.
Pada umumnya para pemikir kebudayaan dan masyarakat dalam mencoba memberikan analisa tentang apa yang dilihat mereka sebagai kelesuan dalam masyarakat dan kebudayaan, tidak membicarakan kesenian dan kesusastraan sendiri. Ada orang menyebut kemunduran kualitatif, tetapi tidak sampai membicarakan kualitas hasil kesenian dan sastra itu sendiri.
“Keluarga Gerilya” adalah hasil pengarang Indonesia yang berakar pada buminya dan bukan untuk dibicarakan dalam hubungan ada tidaknya impasse. Juga sajak-sajak kecil yang hanya terdiri dari beberapa  baris, tidak bisa dihubung-hubungkan dengan impasse. Dengan membicarakan yang ada ini kita tak akan mungkin sampai pada kesimpulan teoritis seperti impasse. Impasse hanya ada apabila yang ada ini dengan sengaja mau ditiadakan. Menolak adanya impasse bukan berarti bahwa apa yang dihasilkan sungguh-sungguh sudah memenuhi syarat. Kita pun mengakui banyak kekurangan, karena kurangnya pengalaman dan pengetahuan.
Kesusastraan Indonesia sejak zaman Jepang sebagian besar terdiri dari cerita pendek dan sajak. Tentang bagaimana kualitet hasil kesusastraan kita, banyak berbagai pendapat. Hasil sastra itu mungkin belum memadai seperti Mahabarata, karena memang baru tingkat inilah yang kita capai untuk menuju ke tingkat yang lebih tinggi.
Yang berhasil dari pengarang-pengarang kita adalah mereka yang telah berkenalan dengan pengarang-pengarang luar negeri, meskipun hasilnya belum sebesar yang dijadikannya patokan. Segala yang berharga diciptakan sebelum dan sesudah perang ialah hasil daripada pendinamisan pikiran yang disebabkan karena adanya pembenihan dalam pertemuan kita dengan dunia luar.
Nugroho pernah mengatakan bahwa sastra Indonesia modern seolah-olah hanya “verlate Indonesische versie” dari sastra Belanda. Apabila perhatian ditujukan pada wilayah lain, misalnya Perancis maka hal itu dilakukan juga via Belanda. Pada zaman “Gelanggang” zaman keemasannya terletak pada periode 45, dan terkenal dengan predikat “universal” ternyata universalitasnya sebagian besar hanya sampai ke negeri Belanda.
Dalam menghadapi hidup ini para pengarang tidak secara mutlak tergantung pada ada atau tidaknya krisis di kalangan pemimpin, masyarakat, krisis di Eropa, di Amerika atau dimana saja. Kehidupan sastra mempunyai dunianya sendiri otonom, seperti filsafat dan ilmu pengetahuan. Di masa apa yang disebut krisis di Eropa sekarang init oh ada pengarang-pengarang besar yang lahir, satu bukti bahwa pengarang yang besar bisa juga lahir dalam krisis.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa jalan buntu , impasse, atupun krisis sastra Indonesia tidak ada. Kesusastraan Indonesia tidak pernah berhenti tumbuh, dan kita sama sekali tidak dapat mengatakan tentang impasse. Di waktu Jepang tatkala sensor Jepang sangat kerasnya sastra Indonesia tumbuh terus sebagai registrasi keadaan dan kejadian, sebagai pengucapan harapan, cita-cita, kekecewaan dan kegembiraan.
H. B Yassin berpendapat bahwa tidak ada krisis sastra. Menurut Rosihan Anwar ketegangan-ketegangan yang ada malah bisa tambah menyuburkan sastra, karena sastra adalah bentuk dari pengalaman-pengalaman dalam ketegangan-ketegangan menghadapi persoalan-persoalan.
Sitor Situmorang berpendapat, bahwa krisis sastra Indonesia tidak ada dan tidak pernah ada, yang ada hanya krisis ukuran.
D.  Apa yang dimaksud oleh mereka yang mengalami krisis sastra dan tidak mengalami krisis sastra
a.    Yang dimaksud mereka mengalami krisis sastra adalah adanya Esai Sudjatmoko yang berjudul “Mengapa Konfrontasi” Ia berkesimpulan bahwa Sastra Indonesia sedang mengalami krisis sebagai akibat dari krisis kepemimpinan politik. Ia mengatakan bahwa sastra Indonesia mengalami krisis, karena yang ditulis hanya cerpen-cerpen kecil yang “berlingkar sekitar psikologisme perorangan semata-mata”. Roman-roman besar tidak ada.
b.    Yang dimaksud mereka tidak mengalami krisis sastra adalah adanya berbagai tanggapan seperti :
·      Nugroho Notosusanto yang mengatakan tidak ada kelesuan sastra,
·      Boejoeng Saleh yang mengatakan bahwa tidak ada krisis sastra Indonesia. Sebab ada karya-karya sastra seperti : Keluarga Gerilya (Pramudya), Jalan Tak Ada Ujung (Mochtar Lubis), dan roman-roman yang belum diterbitkan.
·      Sitor Situmorang yang juga mengatakan bahwa tidak ada krisis, tidak ada impasse, yang ada hanya krisis ukuran atau nilai sastra.
·      H.B Yassin yang juga mengatakan tidak ada krisis, tidak ada impasse dalam sastra Indonesia.

E.  Sastra Majalah
Sejak tahun 1953, Balai Pustaka yang sejak jaman sebelum perang merupakan penerbit utama untuk buku-buku sastra, kedudukannya tidak menentu. Penerbit ini yang bernaung di bawah kementerian P dan K berkali-kali mengalami perubahan status. Dana yang kurang mencukupi menyebabkan kemacetan produksinya. Demikian pula penerbit Pustaka Raya yang tadinya disamping Balai Pustaka merupakan penerbit nasional yang banyak menerbitkan buku-buku sastra, agaknya terlibat dalam berbagai kesukaran.
Masa aktivitas sastra terutama hanya dalam majalah-majalah saja seperti Gelanggang/Siasat, Mimbar Indonesia, Zenith, Pujangga Baru dan lain-lain. Sehingga tidak aneh apabila pengarangpun hanya mengarang cerpen, sajak, dan karangan-karangan lain yang pendek-pendek. Keadaan seperti itulah yang melahirkan istilah “sastra majalah”.
Pada masa persoalan “krisis kesusastraan Indonesia” diramaikan orang, ada persoalan lain yaitu lahirnya angkatan sesudah Angkatan 45 atau angkatan sesudah Chairil Anwar. Dalam simposium sastra yang diselenggarakan oleh Fakultas Sastra Universitas Indonesia tahun 1955, Harijadi S Hartowardojo memberikan sebuah prasaran yang berjudul “Puisi Indonesia Sesudah Chairil Anwar”. Juga dalam simposium-simposium di Yogyakarta, Solo, dan kota-kota lainnya ada kecenderungan fikiran untuk menganggap telah lahir suatu angkatan para pengarang baru yang terasa tidak tepat lagi digolongkan kepada angkatan Chairil Anwar yang popular dengan nama Angkatan 45 itu.
Dalam symposium sastra yang diselenggarakan di Jakarta pada tahun 1960, Ajip Rosidi memberikan sebuah prasaran tentang “Sumbangan Angkatan Terbaru Sastrawan Indonesia Kepada Perkembangan Indonesia”. Dikemukakan bahwa sikap budaya para sastrawan yang tergolong kepada “Angkatan Terbaru” merupakan sintetis daripada sikap ekstrim mengenai konsepsi kebudayaan Indonesia.
Dalam seminar kesusastraan yang diselenggarakan oleh Fakultas Sastra Universitas Indonesia tahun 1963, Nugroho Notosusanto dalam ceramahnnya yang berjudul “Soal Periodisasi dan sastra Indonesia” mengemukakan bahwa memang ada periode baru sesudah tahun 1950  yang tidak lagi bisa dimasukkan dalam periode sebelumnya. Nugroho menekankan pada kenyataan bahwa para pengarang yang aktif mulai menulis pada periode 1950 adalah mereka yang telah mempunyai “sebuah tradisi Indonesia sebagai titik tolak”.
Dibandingkan dengan para pengarang Angkatan 45 para pengarang yang lebih muda-muda itu menghadapi kenyataan-kenyataan yang tidak menguntungkan kehadirannya. Meskipun mereka mendapat di halaman-halaman majalah yang ada pada ketika itu tetapi kebanyakan majalah-majalah itu, bahkan semua majalah itu redaksinya dipegang oleh para pengarang yang tergolong angkatan 45. Hal ini menyebabkan bahwa para pengarang muda ini tidak mendapat kesempatan yang luas untuk mencari identifikasi diri dan kawan-kawannya. Para pengarang angkatan 50 lebih menitikberatkan pada penciptaan.
Dalam hal ini peranan majalah Kisah (1953-1956) tidak dapat dikatakan kecil, karena banyak pengarang yang muncul dalam periode ini mengumumkan tulisan-tulisannya yang mula-mula dalam majalah ini. Banyak pula pengarang yang sudah menulis sebelum tahun 1953, lalu mendapat kesempatan berkembang sebaik-baiknya dalam majalah Kisah. Patut disebutkan bahwa majalah ini, meskipun punya keterangan “bulanan cerita pendek” dan pada mulanya hanya memuatkan cerpen saja, namun kemudian berturut-turut memuatkan kritik, esai, bahkan akhirnya sajak. Karena itu nama-nama yang muncul disini tidaklah terbatas kepada para pengarang cerpen atau prosa saja, melainkan kepada penyair.
Di samping itu patut juga disebut majalah mahasiswa “Kompas” yang setelah dipimpin oleh Nogroho Notosusanto sangat banyak memberikan perhatian kepada persoalan-persoalan dan karya-karya sastra, majalah “Prosa” pimpinan Ajip rosidi yang hanya terbit beberapa nomor, ruangan kebudayaan Genta dalam majalah “Merdeka” yang diasuh oleh SM Ardan dan kawan-kawan, majalah “Seni”, majalah “Konfrontasi”, majalah “Tjerita”, dan majalah “Budaya” serta beberapa majalah lain, di samping majalah-majalah yang sudah lama ada seperti “Mimbar Indonesia”, “Gelanggang/Siasat dan “Indonesia”.
Adapun beberapa pengarang diantaranya adalah :
       Nugroho Notosusanto (1930), Toto Sudarto Bachtiar (1929), WS. Rendra (1953), Nh. Dini (1963), Subagio Sastrowardoyo (1924), Trisnoyuwono (1926), SM Ardan (1926), Riyono Pratikno (1934), AA. Navis (1924), Iwan Simatupang (1928), Motinggo Boesje (1936), Taufiq Ismail (1937), Kirdjomuljo (1930), Alexander Leo (1934), Ali Audah (1924), Surachman RM (1936), Ramadhan KH (1927) dan lain-lain.



2 komentar: