PERIODE 1953-1961
Tugas
ini disusun dalam rangka Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah
Sejarah
Sastra Indonesia II
Dosen
Pembimbing : Hj. Kadaryati, Dra. M. Hum

Disusun oleh :
Kelompok 7 / II C
1.
Yunus
Hendarto (112110107)
2.
Akhmad
Lutfi Aziz (112110112)
3.
Elia
Junitasari (112110114)
4.
Nurul
Hidayah (112110118)
PENDIDIKAN BAHASA DAN
SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN
ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH PURWOREJO
2011-2012
A. Periode 1953 – 1961
Periode 1953 – 1961, merupakan periode yang mengalami berkabung
karena telah kehilangan salah seorang sastrawan pendobrak yakni chairil anwar.
Pada periode ini yang menonjol adalah adanya anggapan krisis sastra dan sastra majalah.
Wafatnya Chairil Anwar membawa dampak besar pada sahabat
sastrawan lainnya. Banyak para sastrawan yang menjadi kurang semangat dalam
menciptakan sebuah karya atau kurang produktif karena terbawa nuansa berkabung.
Bukan hanya itu, pada tubuh pemerintahan mulai muncul kejenuhan sehingga bibit
– bibit korupsi dan manipulasi mulai menjamur dan merusak masyarakat. Karena
kedua hal tersebut diatas, mencuatlah anggapan krisis sastra.
B. Sastra Indonesia
Mengalami Krisis Sastra
Setelah Chairil Anwar meninggal,
Gelanggang Seni Merdeka kehilangan vitalitas. Asrul Sani dan Rivai Apin yang
dianggap mampu melanjutkan kepeloporan Chairil sudah jarang menulis sajak atau
hasil sastra lainnya. Kehidupan nasionalpun tampak suram. Pemimpin-pemimpin
banyak yang bosan berjuang lalu melakukan penyelewengan. Bibit korupsi mulai
merusak masyarakat dan Negara. Pertikaian antar politik kian nyata.
Bulan April 1952 di Jakarta
diselenggarakan simposium tentang “Kesulitan-kesulitan zaman peralihan
sekarang” dengan beberapa pembicara. Dalam simposium itu dilontarkan istilah
krisis akhlak, krisis ekonomi dsb.
Tahun 1953 di Amsterdam
diselenggarakan simposium tentang Kesusastraan Indonesia antara lain yang
berbicara dalam simposium itu Asrul Sani, STA, Prof. Dr. Werthim dll.
Dalam esainya Sudjatmoko yang berjudul
“Mengapa Konfrontasi” Ia berkesimpulan bahwa Sastra Indonesia sedang mengalami
krisis sebagai akibat dari krisis kepemimpinan politik. Ia mengatakan bahwa
sastra Indonesia mengalami krisis, karena yang ditulis hanya cerpen-cerpen
kecil yang “berlingkar sekitar psikologisme perorangan semata-mata”.
Roman-roman besar tidak ada.
Esai Sudjatmoko diatas banyak
mendapat reaksi dari para sastrawan seperti Nugroho Notosusanto, SM Ardan,
Boejoeng Saleh, dll yang secara tandas disertai bukti-bukti yang sukar untuk
dibantah, menolak penamaan “krisis sastra”. Menurut mereka sastra Indonesia
hidup dengan subur, Demikian pula H. B Yassin.
Dalam tulisan berjudul “Situasi
1954” yang ditujukan kepada sahabatnya Ramadhan K.H, Nugroho mencoba mencari
latar belakang timbulnya penamaan “Impasse sastra Indonesia” yang bagi dia
tidak lebih hanya sebuah mite.
C. Sastra Indonesia Tidak
Mengalami Krisis Sastra
Adanya perbedaan pendapat mengenai
ada dan tidak adanya krisis sastra keduanya memiliki bukti-bukti tersendiri
sehingga bagi pihak yang melihatnya tetap menganggapnya sebagai suatu
kenyataan. Mula-mula kita mendengar adanya krisis dalam sastra umumnya
sesudahnya penyerahan kedaulatan. Pada permulaan tahun 1951 pemimpin Pujangga
Baru Sutan Takdir Alisyahbana dalam majalah PB Januari tahun itu telah
mensinyalir adanya impase dalam masyarakat dan kebudayaan. Suara ini
diperdengarkan lebih keras dalam symposium yang diadakan Sticusa di Amsterdam
tahun 1953.
Jika diselidiki apakah yang
dimaksud dengan kemunduran, impasse, krisis itu kita bisa kembalikan pada hal
berikut :
§ Sutan
Takdir menganggap masyarakat dan kebudayaan kita dalam arti yang paling luas
terancam dari dua pihak, yaitu karena statisnya orang tua dan muda dalam
berfikir. Orang tua-tua maunya kembali pada suasana zaman lampau, sedangkan
yang muda-muda mau dengan bulat mengambil alih segala teori ekonomi, politik,
dan kesenian dari Eropa dan Amerika. Tak ada pertumbuhan dari pribadi yang
dinamis dan karena itu terjadinya impasse dalam masyarakat dan segala cabang
kehidupannya, rohani dan jasmani. Sesudah satu tahun merdeka para penyair hanya
mendengarkan suara yang pesimistis dan puisi mereka makin lama makin kosong dan
kabur ( Pujangga Baru Tahun XII, No.7, Jan, 1951).
§ Ir.
Dr. Udin berpendapat, bahwa di waktu revolusi pada seniman ada satu tujuan
bersama yaitu melawan Belanda. Mereka ikut dengan revolusi dan di masa revolusi
itulah mereka berikan hasil-hasil seni yang paling baik. Sesudah penyerahan kedaulatan
fungsinya sebagai seniman revolusi hilang dan mereka kehilangan tujuan yang
nyata. Maka kelihatanlah kemunduran kuantitatif dan kualitatif dalam
hasil-hasil mereka (Cultureel Nious Indonesia, 1953, No. 30).
Perkataan krisis ini mempunyai daya
menular dan masih dalam tahun ini ada orang menganggap bahwa ada krisis
kesusastraan dan krisis sastra ini akibat dari krisis kepemimpinan politik.
Sebagai ciri dari krisis sastra disebut antara lain tidak ada penulisan
roman-roman yang besar (Konfrontasi, Tahun I No. 1-2, Juli-Agustus 1954).
Di bawah ini ada beberapa
pembahasan mengenai krisis sastra.
§ Asrul
Sani dalam simposium di Amsterdam tahun 1953 mengakui adanya impasse, tetapi
impasse itu hanya bersifat sementara. Impasse itu dilihatnya sebagai akibat dari
putusnya hubungan hidup kedesaan dan belum sampainya hidup kekotaan pada
nilai-nilai yang benar. Toh dia melihat adanya kegiatan sastra yang berupa
cerpen, tapi persoalannya hanya terbatas pada kritik-kritik yang sejenis pada
kenyataan, pada pemimpin-pemimpin dan kehidupan politik. Dia berpendapat, bahwa
belum sampai waktunya untuk menulis roman yang tebal tentang revolusi, karena
kita belum dapat mengambil jarak terhadapnya dan kita tidak punya tempo.
§ Boejoeng
Saleh dalam pembicaraannya tentang “Konfrontasi” membahas karangan Soedjatmoko
(Siasat, Tahun VIII, 20 Agustus 1954) mengakui adanya krisis sosial yang
menurut dia bukan disebabkan, karena krisis kepemimpinan seperti diagnose
Soedjatmoko, tetapi karena adanya “jarak atau jurang antara kebutuhan obyektif
rakyat Indonesia dan kenyataan sosial yang terdapat kini.” Tetapi mengenai
krisis sastra, Boejoeng Saleh positif berpendapat, bahwa “krisis sastra tidak
ada”. Dia menunjuk pada beberapa hasil sastra, seperti “Keluarga Gerilya”,
“Jalan Tak Ada Ujung” dan roman-roman yang masih terbengkelai belum ada
penerbitnya.
§ Tentang
apa sebabnya sedikit terlahir roman, Boejoeng mencari alasan-alasan dari sudut
kemasyarakatan dan perekonommian. Sebelum perang pengarang-pengarang yang telah
berjasa di lapangan kesusastraan biasa orang-orang yang telah mempunyai
pekerjaan tetap sebagai guru, wartawan atau redaktur, sedang kebanyakan
pengarang sesudah perang semata-mata tergantung imbalan cerita-cerita yang
ditulisnya dan inilah sebabnya mereka hanya memberikan hasil pekerjaan jangka
pendek, yaitu cerita pendek. Ditambah lagi faktor-faktor seperti kesempitan
perumahan yang tidak memungkinkan pemusatan pemikiran.
§ Nugroho
Notosusanto dalam Kompas, Tahun IV, Juli 1954 meneropong apa yang disebut
kelesuan dan membuktikan, bahwa kelesuan tidak ada. Untuk ia bandingkan produksi kesusastraan
berupa buku dan majalah antara tahun 45-50 dan antara tahun 50-54 dan kehidupan
kumpulan kesusastraan dalam dua periode itu.
§ Nugroho
mencoba mencari asal-usul lahirnya apa yang disebutnya mite kelesuan ini dan
mngemukakan tiga kemungkinan :
1. Mungkin
mite ini terlahir dari pesimisme umum. Artinya pesimisme orang-orang tentang
zaman sesudah pemulihan kedaulatan. Pesimisme itu disatu pihak dikandung oleh
mereka yang hidupnya pada zaman federal lebih enak, dan di lain pihak dikandung
oleh mereka yang pada waktu hidup sulit pada zaman revolusi punya impian-impian
yang indah dan muluk tentang zaman sesudah perang kolonial.
2. Kemungkinan
yang kedua menurut Nugroho, ialah bahwa golongan “old craks” di kalangan
sastrawan yang pada periode 45 mengalami zaman keemasan padahal pada periode 50
mulai mundur, berpegangan erat pada masa silam yang indah itu dengan
mengagung-agungkan zaman gemilangnya dan menjelekkan zaman ini, di mana muncul
banyak tokoh-tokoh baru.
3. Kemungkinan
ketiga ialah bahwa sastrawan 45 sangat berorientasi ke sastra Belanda, dank
arena di negeri Belanda sehabis PD II kesusastraan mengalami kelesuan, karena
matinya pemimpin-pemimpin gerakan pembaharuan, maka angkatan sastrawan
Indonesia yang menjajarkan diri dengan angkatan Marsman capon, sekarang juga
mau meniru memproklamasikan kelesuan Indonesia.
Sutan Takdir mengatakan, bahwa
puisi makin lama makin kosong dan kabur
mungkin ini terletak pada perbedaan ukuran apresiasi dan ukuran keindahan dalam
seni, sesudah perang memang lain ukurannya dari ukuran sebelum perang.
Pada umumnya para pemikir kebudayaan
dan masyarakat dalam mencoba memberikan analisa tentang apa yang dilihat mereka
sebagai kelesuan dalam masyarakat dan kebudayaan, tidak membicarakan kesenian
dan kesusastraan sendiri. Ada orang menyebut kemunduran kualitatif, tetapi
tidak sampai membicarakan kualitas hasil kesenian dan sastra itu sendiri.
“Keluarga Gerilya” adalah hasil
pengarang Indonesia yang berakar pada buminya dan bukan untuk dibicarakan dalam
hubungan ada tidaknya impasse. Juga sajak-sajak kecil yang hanya terdiri dari
beberapa baris, tidak bisa dihubung-hubungkan
dengan impasse. Dengan membicarakan yang ada ini kita tak akan mungkin sampai
pada kesimpulan teoritis seperti impasse. Impasse hanya ada apabila yang ada ini
dengan sengaja mau ditiadakan. Menolak adanya impasse bukan berarti bahwa apa
yang dihasilkan sungguh-sungguh sudah memenuhi syarat. Kita pun mengakui banyak
kekurangan, karena kurangnya pengalaman dan pengetahuan.
Kesusastraan Indonesia sejak zaman
Jepang sebagian besar terdiri dari cerita pendek dan sajak. Tentang bagaimana
kualitet hasil kesusastraan kita, banyak berbagai pendapat. Hasil sastra itu
mungkin belum memadai seperti Mahabarata, karena memang baru tingkat inilah
yang kita capai untuk menuju ke tingkat yang lebih tinggi.
Yang berhasil dari pengarang-pengarang
kita adalah mereka yang telah berkenalan dengan pengarang-pengarang luar
negeri, meskipun hasilnya belum sebesar yang dijadikannya patokan. Segala yang
berharga diciptakan sebelum dan sesudah perang ialah hasil daripada
pendinamisan pikiran yang disebabkan karena adanya pembenihan dalam pertemuan
kita dengan dunia luar.
Nugroho pernah mengatakan bahwa
sastra Indonesia modern seolah-olah hanya “verlate Indonesische versie” dari
sastra Belanda. Apabila perhatian ditujukan pada wilayah lain, misalnya Perancis
maka hal itu dilakukan juga via Belanda. Pada zaman “Gelanggang” zaman
keemasannya terletak pada periode 45, dan terkenal dengan predikat “universal”
ternyata universalitasnya sebagian besar hanya sampai ke negeri Belanda.
Dalam menghadapi hidup ini para
pengarang tidak secara mutlak tergantung pada ada atau tidaknya krisis di
kalangan pemimpin, masyarakat, krisis di Eropa, di Amerika atau dimana saja.
Kehidupan sastra mempunyai dunianya sendiri otonom, seperti filsafat dan ilmu
pengetahuan. Di masa apa yang disebut krisis di Eropa sekarang init oh ada
pengarang-pengarang besar yang lahir, satu bukti bahwa pengarang yang besar
bisa juga lahir dalam krisis.
Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa jalan buntu , impasse, atupun krisis sastra Indonesia tidak
ada. Kesusastraan Indonesia tidak pernah berhenti tumbuh, dan kita sama sekali
tidak dapat mengatakan tentang impasse. Di waktu Jepang tatkala sensor Jepang
sangat kerasnya sastra Indonesia tumbuh terus sebagai registrasi keadaan dan
kejadian, sebagai pengucapan harapan, cita-cita, kekecewaan dan kegembiraan.
H. B Yassin berpendapat bahwa tidak
ada krisis sastra. Menurut Rosihan Anwar ketegangan-ketegangan yang ada malah
bisa tambah menyuburkan sastra, karena sastra adalah bentuk dari pengalaman-pengalaman
dalam ketegangan-ketegangan menghadapi persoalan-persoalan.
Sitor Situmorang berpendapat, bahwa
krisis sastra Indonesia tidak ada dan tidak pernah ada, yang ada hanya krisis
ukuran.
D.
Apa
yang dimaksud oleh mereka yang mengalami krisis sastra dan tidak mengalami
krisis sastra
a. Yang
dimaksud mereka mengalami krisis sastra adalah adanya Esai Sudjatmoko yang
berjudul “Mengapa Konfrontasi” Ia berkesimpulan bahwa Sastra Indonesia sedang
mengalami krisis sebagai akibat dari krisis kepemimpinan politik. Ia mengatakan
bahwa sastra Indonesia mengalami krisis, karena yang ditulis hanya
cerpen-cerpen kecil yang “berlingkar sekitar psikologisme perorangan
semata-mata”. Roman-roman besar tidak ada.
b. Yang
dimaksud mereka tidak mengalami krisis sastra adalah adanya berbagai tanggapan
seperti :
·
Nugroho Notosusanto
yang mengatakan tidak ada kelesuan sastra,
·
Boejoeng Saleh yang
mengatakan bahwa tidak ada krisis sastra Indonesia. Sebab ada karya-karya
sastra seperti : Keluarga Gerilya (Pramudya), Jalan Tak Ada Ujung (Mochtar
Lubis), dan roman-roman yang belum diterbitkan.
·
Sitor Situmorang yang
juga mengatakan bahwa tidak ada krisis, tidak ada impasse, yang ada hanya
krisis ukuran atau nilai sastra.
·
H.B Yassin yang juga
mengatakan tidak ada krisis, tidak ada impasse dalam sastra Indonesia.
E.
Sastra
Majalah
Sejak tahun 1953, Balai Pustaka
yang sejak jaman sebelum perang merupakan penerbit utama untuk buku-buku
sastra, kedudukannya tidak menentu. Penerbit ini yang bernaung di bawah
kementerian P dan K berkali-kali mengalami perubahan status. Dana yang kurang
mencukupi menyebabkan kemacetan produksinya. Demikian pula penerbit Pustaka
Raya yang tadinya disamping Balai Pustaka merupakan penerbit nasional yang
banyak menerbitkan buku-buku sastra, agaknya terlibat dalam berbagai kesukaran.
Masa aktivitas sastra terutama
hanya dalam majalah-majalah saja seperti Gelanggang/Siasat,
Mimbar Indonesia, Zenith, Pujangga Baru dan lain-lain. Sehingga tidak aneh
apabila pengarangpun hanya mengarang cerpen, sajak, dan karangan-karangan lain
yang pendek-pendek. Keadaan seperti itulah yang melahirkan istilah “sastra
majalah”.
Pada masa persoalan “krisis
kesusastraan Indonesia” diramaikan orang, ada persoalan lain yaitu lahirnya
angkatan sesudah Angkatan 45 atau angkatan sesudah Chairil Anwar. Dalam
simposium sastra yang diselenggarakan oleh Fakultas Sastra Universitas
Indonesia tahun 1955, Harijadi S Hartowardojo memberikan sebuah prasaran yang
berjudul “Puisi Indonesia Sesudah Chairil Anwar”. Juga dalam simposium-simposium
di Yogyakarta, Solo, dan kota-kota lainnya ada kecenderungan fikiran untuk
menganggap telah lahir suatu angkatan para pengarang baru yang terasa tidak
tepat lagi digolongkan kepada angkatan Chairil Anwar yang popular dengan nama
Angkatan 45 itu.
Dalam symposium sastra yang
diselenggarakan di Jakarta pada tahun 1960, Ajip Rosidi memberikan sebuah
prasaran tentang “Sumbangan Angkatan Terbaru Sastrawan Indonesia Kepada
Perkembangan Indonesia”. Dikemukakan bahwa sikap budaya para sastrawan yang
tergolong kepada “Angkatan Terbaru” merupakan sintetis daripada sikap ekstrim
mengenai konsepsi kebudayaan Indonesia.
Dalam seminar kesusastraan yang
diselenggarakan oleh Fakultas Sastra Universitas Indonesia tahun 1963, Nugroho
Notosusanto dalam ceramahnnya yang berjudul “Soal Periodisasi dan sastra
Indonesia” mengemukakan bahwa memang ada periode baru sesudah tahun 1950 yang tidak lagi bisa dimasukkan dalam periode
sebelumnya. Nugroho menekankan pada kenyataan bahwa para pengarang yang aktif
mulai menulis pada periode 1950 adalah mereka yang telah mempunyai “sebuah
tradisi Indonesia sebagai titik tolak”.
Dibandingkan dengan para pengarang
Angkatan 45 para pengarang yang lebih muda-muda itu menghadapi
kenyataan-kenyataan yang tidak menguntungkan kehadirannya. Meskipun mereka
mendapat di halaman-halaman majalah yang ada pada ketika itu tetapi kebanyakan
majalah-majalah itu, bahkan semua majalah itu redaksinya dipegang oleh para
pengarang yang tergolong angkatan 45. Hal ini menyebabkan bahwa para pengarang muda
ini tidak mendapat kesempatan yang luas untuk mencari identifikasi diri dan
kawan-kawannya. Para pengarang angkatan 50 lebih menitikberatkan pada
penciptaan.
Dalam hal ini peranan majalah Kisah (1953-1956) tidak dapat dikatakan
kecil, karena banyak pengarang yang muncul dalam periode ini mengumumkan
tulisan-tulisannya yang mula-mula dalam majalah ini. Banyak pula pengarang yang
sudah menulis sebelum tahun 1953, lalu mendapat kesempatan berkembang
sebaik-baiknya dalam majalah Kisah. Patut
disebutkan bahwa majalah ini, meskipun punya keterangan “bulanan cerita pendek”
dan pada mulanya hanya memuatkan cerpen saja, namun kemudian berturut-turut
memuatkan kritik, esai, bahkan akhirnya sajak. Karena itu nama-nama yang muncul
disini tidaklah terbatas kepada para pengarang cerpen atau prosa saja,
melainkan kepada penyair.
Di samping itu patut juga disebut
majalah mahasiswa “Kompas” yang setelah dipimpin oleh Nogroho Notosusanto
sangat banyak memberikan perhatian kepada persoalan-persoalan dan karya-karya
sastra, majalah “Prosa” pimpinan Ajip rosidi yang hanya terbit beberapa nomor,
ruangan kebudayaan Genta dalam majalah “Merdeka” yang diasuh oleh SM Ardan dan
kawan-kawan, majalah “Seni”, majalah “Konfrontasi”, majalah “Tjerita”, dan
majalah “Budaya” serta beberapa majalah lain, di samping majalah-majalah yang
sudah lama ada seperti “Mimbar Indonesia”, “Gelanggang/Siasat dan “Indonesia”.
Adapun beberapa pengarang diantaranya adalah :
Nugroho
Notosusanto (1930), Toto Sudarto Bachtiar (1929), WS. Rendra (1953), Nh. Dini
(1963), Subagio Sastrowardoyo (1924), Trisnoyuwono (1926), SM Ardan (1926),
Riyono Pratikno (1934), AA. Navis (1924), Iwan Simatupang (1928), Motinggo
Boesje (1936), Taufiq Ismail (1937), Kirdjomuljo (1930), Alexander Leo (1934),
Ali Audah (1924), Surachman RM (1936), Ramadhan KH (1927) dan lain-lain.
yeeah
BalasHapusKak, blh minta daftar pustakanya ndak?😭
BalasHapus