Selasa, 01 April 2014

TINDAK TUTUR

TINDAK TUTUR

Prinsip-prinsip tingkah laku kerjasama mengilustrasikan beberapa asumsi-asumsi yang diajukan ke dalam suatu percakapan. Namun untuk tujuan apakah sebenarnya percakapan dilakukan? Lane memerikan beberapa hal tentang percakapan sebagai pertukaran informasi, penjagaan tali persahabatan sosial, kekerabatan dan sebagainya, negosiasi status dan peranan, pengambilan keputusan serta pelaksanaan tindak bersama. Dengan demikian percakapan dapat memenuhi fungsi yang berbeda-beda. Salah satu pendekatan analisa fungsi bahasa dalam percakapan adalah melalui teori tindak tutur.

Tindak tutur dapat diperikan sebagai sesuatu yang sebenarnya kita lakukan ketika kita berbicara. Ketika kita terlibat dalam percakapan, kita melakukan beberapa tindakan seperti melaporkan, menyatakan, memperingatkan, menjanjikan, mengusulkan, menyarankan, mengkritik, meminta dan lain-lain. Suatu tindak tutur dapat didefinisikan sebagai unit terkecil aktifitas berbicara yang dapat dikatakan memiliki fungsi. Seorang filsuf yang bernama Austin (1962) menyatakan bahwa ada ribuan kata kerja dalam bahasa Inggris seperti ask (bertanya), request (meminta), direct (memimpin), require (membutuhkan), order (menyuruh), command (memerintah), sugget (menyarankan), beg (memohon), plead (menuntut), yang kesemuanya menandai tindak tutur. Tetapi tindak tutur tidak sekedar setara dengan kata kerja yang menggambarkan mereka. Perhatikan percakapan berikut:

A :   ’Isn’t it hot in here.’
        (Terasa panas sekali disini
B :   ’Let me turn on the air conditioner.’
(Saya akan nyalakan pendingin ruangannya)

Ujaran A berfungsi sebagai permintaan, sama seperti: ‘tolong nyalakan pendingin ruangannya.’ Hal tersebut sama dengan jika saya ingin lawan bicara saya mengambilkan segelas air. Saya mungkin menyatakan permintaan saya dalam bentuk pernyataan mengenai keadaan tubuh saya; ‘Saya merasa haus’. Dalam membahas tindak tutur, perlu dibedakan antara makna lahir yang biasanya juga disebut makna proposisi dengan makna ilokusioner, yaitu makna yang dimiliki karena fungsinya dalam percakapan. Pernyataan atau proposisi tentang keadaan tubu kita, misalnya, dapat memiliki makna ilokusioner berupa permintaan, saran dan lain-lain.

Searle (1976) mengklasifikasikan tindak tutur dengan berdasarkan pada maksud penutur ketika berbicara ke dalam lima kelompok besar.

a.       Representatif : Tindak tutur ini mempunyai fungsi memberitahu orang-orang mengenai sesuatu. Tindak tutur ini mencakup mempertahankan, meminta, mengatakan, menyatakan dan melaporkan.
b.       Komisif :Tindak tutur ini menyatakan bahwa penutur akan melakukan sesuatu, misalnya janji dan ancaman.
c.        Direktif : Tindak tutur ini berfungsi untuk membuat petutur melakukan sesuatu seperti: saran, permintaan, dan perintah.
d.       Ekspresif : Tindak tutur ini berfungsi untuk mengekspresikan perasaan dan sikap mengenai keadaan hubungan, misalnya permintaan maaf, penyesalan dan ungkapan terima kasih.
e.        Deklaratif : Tindak tutur ini menggambarkan perubahan dalam suatu keadaan hubungan misalnya ketika kita mengundurkan diri dengan mengatakan ‘Saya mengundurkan diri’, memecat seseorang dengan mengatakan ‘Anda dipecat’, atau menikahi seseorang dengan mengatakan ‘Saya bersedia’.

Banyak percakapan tidak terdiri dari tindak tutur tunggal, tetapi biasanya terdiri dari tindak tutur yang multiguna. Labov dan Fanshel (1977:29) menyatakan bahwa sebagian besar ujaran dapat dipahami sebagai pernyataan beberapa tindak tutur sekaligus. Masing-masing peserta tutur tampaknya memahami dan menanggapi tindak tutur tersebut pada berbagai tingkat abstraksi. Sebagaimana kita ketahui, percakapan bukanlah merupakan untaian ujaran-ujaran tetapi lebih menyerupai matriks ujaran dan tindakan yang bersama terikat dengan rakaian pengertian dan tanggapan. Oleh karena itu, seorang murid yang bertanya pada gurunya: ‘Tolong berbicara lebih lambat.’ Juga meminta tindakan sekaligus, dengan menyatakan bahwa guru berbicara terlalu cepat dan melaporkan adanya kesulitan.

Oleh sebab itu fungsi utama percakapan adalah pernyataan tindak tutur. Ketika orang-orang bercakap-cakap, mereka mungkin membuat janji-janji, memberikan pujian, sanjungan, mengkritik, atau mengundang dan memperingatkan. Tujuan utama peserta percakapan adalah untuk menginterpretasikan tindak tutur yang dimaksudkan seara tepat. Contoh berikut adalah percakapan melalui telepon antara seorang profesor dengan siswa asing yang menunjukan kegagalan seorang siswa dalam menginterpretasikan tindak tutur yang dimaksudkan.

A :   ’Hello, is Mr. Simatupang there please?
        (Halo, apakah pak Simatupang ada?)’
B :   ’Yes.’
        (Ya)
A :   ’Oh…may I speak to him please?
        (Oh, bisakah saya berbicara dengannya?)
B :   ’Yes.’
        (Ya)
A :   ’Oh…are you Mr. Simatupang?
        (Oh, apakah anda pak Simatupang?)
B :   ’Yes, this is Mr. Simatupang.
        (Ya, saya pak Simatupang.)

Disini B menjawab pertanyaan A, seolah-olah pertanyaan tersebut adalah sekedar menanyakan keberadaan dan bukan permintaan untuk memanggil yang bersangkutan. Contoh percakapan berikut adalah antara seorang pelanggan sebuah restoran dan si pelayan restoran yang tidak lancar berbicara bahasa Inggris. Percakapan tersebut menunjukan bagaimana percakapa berlangsung sampai tindak tutur yang dimaksud dapat tersampaikan.

A :   ’Here you meal sir.
        (Ini makanannya, Pak.)
B :   ’Oh. Is the cook new here?
        (Apakah kokinya baru?)
A :   ’Cook long time working here sir.
        (Kokinya sudah lama bekerja disini, Pak.)
B :   ’This is not the proper way to serve a steak.
        (Tapi ini bukanlah cara yang lazim dalam menyajikan steak.)

Maksud ujaran B ‘apakah kokinya baru?’ adalah suatu kritikan. Namun setelah gagal menyampaikan makna ilokusioner yang dimaksudkan, pelanggan tersebut kembali menyampaikan kritikan secara langsung.

Prinsip-prinsip kerjasama percakapan adalah bagian dari proses agar para peserta tutur dapat mencapai makna ilokusioner percakapan yang benar. Namun, nampaknya kasus-kasus terjadi karena pemakai bahasa yang tidak lancar cenderung terlalu memperhatikan makna lahir suatu ujaran, dan sebagai akibatnya mereka sering kehilangan makna ilokusioner yang dimaksud, bahkan pada kasus dimana ekspresi makna ilokusioner mengikuti konvensi-konvensi idiomatik yang serupa dengan bahasa mereka sendiri. Seorang pemakai bahasa yang tidak lancar akan tampak lebih bergantung pada tanda-tanda kontekstual dan linguistik dalam memahami makna ilokusioner. Sebaliknya hal tersebut membentuk wacana yang ditujukan oleh penutur asli kepada mereka. Perkataan orang asing (tipe bahasa yang ditujukan oleh penutur asli kepada orang-orang asing) akan tampak mengandung penanda makna ilokusioner yang lebih eksplisit daripada yang ditujukan kepada pemakai bahasa yang lancar. Oleh sebab itu, seorang guru yang akan memberikan lelucon kepada murid-murid yang mengikuti kelas bahasa kedua selalu mengatakan ‘Saya akan menceritakan sebuah lelucon kepada anda.’ Sebelum mulai menceritakannya.

Saat beranjak dari suatu bahasa ke bahasa lain, seorang pembelajar bahasa kedua mungkin juga mendapati bahwa konvensi-konvensi yang berkaitan dengan tindak tutur dalam bahasa tersebut berbeda, dengan cara-cara begitu samar yang mana mengakibatkan percakapan menjadi lebih sulit dalam proses penguasaan bahasa kedua. Pada beberapa budaya, misalnya, permintaan, penolakan dan pertidaksetujuan mungkin lebih sering diungkapkan secara tidak langsung. Sedangkan sapaan pada beberapa budaya mungkin berupa pertanyaan tentang keadaan kesehatan lawan bicara, ataupun pertanyaan mengenai bagaimana lawan bicara menikmati makanannya akhir-akhir ini. Suatu budaya mungkin menempatkan beberapa penekanan khusus pada kesederhanaan dan kehati-hatian saat mengekspresikan kepercayaan pribadi, sedangkan pada budaya lainnya, permintaan atau kritikan dianggap sebagai ancaman (Schmidt dan Richards, 1980). Konvensi-konvensi linguistik yang berkaitan dengan realisasi tindak tutur mungkin juga bervariasi antar bahasa. Pada bahasa Inggris, misalnya, seseorang dapat membuat permintaan dengan mengarah pada kemampuan lawan bicara untuk melakukan tindakan.

A :   ’Can you open the window?
        (Dapatkah anda membuka jendela?)
B :   ’Sure.
        (Tentu)
Tetapi jika B menawab pertanyaan tersebut sebagai berikut:
A :   ’Can you open the window?’’
        (Dapatkah anda membuka jendela?)
B :   ’Yes, I can.
        (Saya dapat.)

Hal tersebut berarti B gagl dalam memahami makna ilokusioner yang dimaksud A, yang merupakan tindak tutur yang dimaksud. Ketika konvensi linguistik tersebut berlaku untuk basasa Inggris, ternyata ia tidak belaku untuk semua bahasa. Oleh sebab itu, terjemahan dari ‘Can you hand me that book’ (Dapatkah anda memberikan buku itu pada saya) ke dalam bahasa-bahasa lain, tidak akan menghasilkan kalimat yang sesuai dengan maksud yang diinginkan.

Brown dan Levinson (1978) dalam makalah terbarunya menyajikan bagaimana realisasi tindak tutur mempengaruhi bentuk interaksi percakapan. Mereka mengawalinya dengan premis bahwa untuk tidak tutur, ketika dua pembicara berinteraksi, bemacam-macam tipe tantangan ditujukan baik untuk ‘face’ penutur maupun ’face’ petutur. Posisi dasar mereka adalah bahwa penutur memperkirakan ‘harga’ tindak tutur tertentu bagi penutur dan petutur berdasarkan jarak sosial dan tingkat kekuasaan pembicara dan kemudian memilih strategi percakapan yang sesuai. Dua strategi penting yang dibahas oleh Brown dan Levinson adalah apa yang mereka sebut strategi kesopanan positif dan negatif. Strategi-strategi kesopanan positif menekankan pada solidaritas, hubungan baik, dan persamaan antara penutur dan petutur. Contoh-contoh pilihan pembicara melakui strategi ini adalah:


Strategi kesopanan positif

1.       Menarik perhatian, keinginan dan kebutuhan petutur
      Contoh:          ’Goodness. You cut yur hair! By the way, I came to borrow some flour.
                 (Amboi anda baru potong rambut ya? Omong-omong, saya mau pinjam tepung)
2.       Melebih-lebihkan rasa ketertarikan, persetujuan, simpati pada petutur
      Contoh:          ‘Yes, isn’t it just ghastly, the way it always seems to rain when you’ve hung your laundry out.
                 (Ya hebat bukan, selalu tampak seperti hujan jika anda akan menjemur pakaian)
3.       Menekankan rasa ketertarikan kepada pendengar
      Contoh:          Gunakan cara penyampaian kejadian secara historis
                 I come down stairs and what do I see.
                 (Saya turun ke lantai bwah dan apa yang saya lihat)
4.       Menggunakan penanda identitas kelompok
      Contoh:          ‘Help me with this bag, will you mate.
                 (Tolong bawakan tas ini kawan)
(Brown dan Levinson, 96-135)

Brown dan Levinson membahas 15 tipe strategi kesopanan. Tipe kedua strategi kesopanan disebut kesopanan negatif. Tipe kesopanan ini tidak menekankan pada solidaritas atau persamaan antara penutur dengan petutur, tetapi petutur berhak untuk bebas dari pembebanan. Tipe kesopanan ini berfungsi sebagai upaya untuk meminimalkan pembebanan tertentu yang mana … (tindak tutur) … menimbulkan dampak yang tak terhindarkan (Brown dan Levinson, 134). Oleh sebab itu, hal tersebut sifatnya benar-benar menghormati dan tak langsung. Beberapa strategi yang termasuk kesopanan negatif adalah:

Strategi kesopanan negatif

1.       Meminta secara tidak langsung menurut kebiasaan
      Contoh:          ‘Can you please pass me the salt.
                 (Tolong ambilkan garam tersebut)
                 ‘I would like a cup of coffee.
                 (Saya ingin secangkir kopi) (diucapkan di restoran)
2.       Bersikap pesimis
      Contoh:          ‘I don’t suppose you could lend me &10
                 (Saya tidak yakin anda akan meminjami saya sesaat saja)
3.       Meminimalkan pembebanan
      Contoh:          ‘Could I see you for a second?
                 (Dapatkah saya menemui anda sebentar saya?)
4.       Memohon maaf
      Contoh:          ‘I hope you don’t mind a second.
                 (Saya harap anda tidak keberatan bila saya mampir)
(Brown dan Levinson, 135-215)

Di sini kita tidak akan mengadili kekayaan dan kekuatan analisa Brown dan Levinson, yang patut diperhatikan adalah bahwa berbagai strategi yang mereka bahas untuk merealisasikan percakapan tampak beroperasi secara serupa dalam 3 bahasa yang tidak berkaitan.




APAKAH TINDAK TUTUR ITU?

Teori tindak tutur meliputi fungsi dan pemakaian bahasa, jadi dalam arti yang paling luas, kita dapat mengatakan bahwa tindak tutur adalah segala tindak yang kita lakukan melalui berbicara, segala yang kita lakukan ketika kita berbicara. Akan tetapi, definisi seperti ini terlalu luas untuk sebagian besar tujuan, karena manfaat berbicara tersebut mencakup sebagian besar kegiatan manusia. Kita menggunakan bahasa untuk menyatakan argumentasi, untuk menyampaikan informasi kepada sesama, untuk menghibur, singkatnya untuk berkomunikasi. Kita berbicara dalam berbagai upacara, permaian, resep, dan kuliah. Dalam beberapa kesempatan, misalnya pertemuan-pertemuan sosial, kita terus-menerus menggunakan bahasa untuk memperkenalkan seseorang kepada yang lain, untuk bercakap-cakap, bergurau, mengkritik dan memuji orang ketiga, baik yang hadir maupun yang tidak, menerangkan topik-topik yang disenangi, merayu atau berusaha merayu, dan mengucapakan selamat tinggal. Kita dapat memperpanjang daftar ini sampai tak terbatas, tetapi seperti yang ditunjukan oleh Halliday (1973: 18,28) daftar-daftar ini sendiri tidak menerangkan banyak hal kepada kita, karena bahasa yang dipakai orang dewasa untuk menyatakan tujuan-tujuan sosial yang tak terhingga banyaknya tidak dinyatakan secara langsung, satu demi satu, dalam sistem bahasa.

Hymes (1972) telah mengusulkan perbedaan yang berguna diantara situasi tutur, peristiwa tutur dan tindak tutur. Di dalam suatu masyarakat, seseorang menemukan banyak situasi yang terkait dengan pembicaraan, seperti perkelahian, perburuan, makan, pesta dan lain-lain. Tetapi hal ini tidak menguntungkan untuk mengubah situasi-situasi seperti itu menjadi bagian dari pemerian sosiolinguistik semata-mata hanya dengan memberi nama baru dalam kaitannya dengan pembicaraan, kaena situasi-situasi semacam ini sendiri tidak terkontrol seluruhnya oleh kaidah-kaidah yang tetap. Istilah peristiwa tutur bisa diartikan dengan kegiatan-kegiatan yang secara langsung terkontrol oleh kaidah-kaidah atau norma-norma yang dipakai untuk berbicara, yakni untuk peristiwa-peristiwa seperti percakapan antara dua pihak (dengan bertatap muka atau di telepon), kuliah-kuliah, perkenalan-perkenalan, upacara-upacara keagamaan, dan lain-lain. Pengertian peristiwa tutur tersebut dihubungkan dengan konsep tradisional gaya, meskipun Hymes berpendapat bahwa keduanya harus diperlakukan bebas secara analitis, dan banyak penelitian empiris diperlukan untuk menjelaskan hubungan antara kedua istilah ini. Tindak tutur (dalam arti yang sempit sekarang) adalah istilah minimal dari pemakaian: situasi tutur/peristiwa tutur/tindak tutur. Ketika kita berbicara, kita melakukan tindakan-tindakan seperti memberi laporan, membuat pernyataan-pernyataan, mengajukan pertanyaan, memberi peringatan, memberi janji, menyetujui, menyesal dan meminta maaf.

Sinclair dan Coulthard (1975), yang telah menganalisa transkrip ruang belajar juga mengusulkan suatu analisa menyeluruh, mulai dengan peristiwa sosial (pelajaran) sebagai kerangka analitis yang berada paling luar dan selanjutnya berturut-turut membagi-bagi urutan wacana sampai kepada unit yang paling kecil, yakni ‘tindak’, yang mereka definisikan sebagai unit berbicara yang paling kecil yang bisa dikatakan mempunyai suatu fungsi. Berbagai tindak diberi nama sesuai dengan fungsi wacana, misalnya mencari keterangan, bertanya dan sebagainya.

Dalam makalah ini kita akan memusatkan perhatian kita terutama pada tindak tutur perorangan. Akan tetapi penting untuk melihat sedikit diluar ‘tindak’ yang tersendiri yang dinyatakan oleh sebuah kalimat, terutama kata kerjanya. Austin (1962) menunjukan bahwa ada banyak tindak tutur (ia mengistilahkannya dengan tindak ilokusioner) dan dalam bahasa Inggris ada banyak kata kerja yang mengacu pada mereka. Sebagai contoh, perhatikan seperangkat kata kerja berikut: ask (bertanya), request (memohon), direct (menunjukan), require (memerlukan), order (memerintahkan), suggest (menyarankan), beg (memohon dengan sangat), plead, implore, pray (yang artinya hampir sama dengan ‘beg’). Ausitin menyatakan bahwa ada lebih dari 1000 kata kerja semacam itu dalam bahasa Inggris. Tetapi walaupun kata kerja-kata kerja dalam bahasa Inggris dilengkapi dengan taksonomi awal yang berguna untuk tindak tutur, ‘tindak’ itu sebenarnya tidak sama dengan nama-nama kata kerja yang ada. Searle (1976) menunjukan bahwa banyak kata kerja tidak merupakan tanda-tanda dari daya ilokusioner, tetapi ia merupakan tanda-tanda dari ciri-ciri lain tindak tutur tersebut, misalnya ‘insist’ (berkeras hati), menandai tingkat intensitas, tetapi tidak menandai fungsi-fungsi tindak tutur atau pokok-pokok ilokusioner yang terpisah. Keduanya boleh dipakai dengan fungsi yang menunjukan arah misalnya dalam kalimat ‘I suggest/insist that we go to the movies’ (Saya sarankan/berkeras hati kita pergi menonton film) atau dengan fungsi representatif seperti dalam kalimat ‘I suggest/insist that the answer is found on page 16’ (Saya sarankan/berkeras hati bahwa jawaannya ada di halaman 16). Kita juga perlu mengetahui bahwa tindak tutur tidak dapat didefinisikan dengan kalimat atau tingkatan pemerian tata bahasa yang lain. Pemikiran Hymes (1972) ialah bahwa tingkatan tindak tutur menjadi perantara antara tingkatan tata bahasa yang biasa dengan peristiwa tutur lainnya dalam hal bahwa tingkatan itu melibatkan bentuk linguistik serta norma sosial. Apakah suatu ujaran tertentu mempunyai status sebagai permohonan atau tidak, misalnya, mungkin tergantung pada bentuk linguistik konvensional. ‘How about picking me up early this afternoon?’ (Bagaimana kalau kamu menjemput saya agak awal nanti sore?) tetapi mungkin juga tergantung pada hubungan sosial antara penutur dan petutur.

Perlu diketahui juga bahwa tindak tutur terdapat dalam wacana dan bahwa interpretasi dan negosiasi penekanan tindak tutur seringkali tergantung pada konteks wacana atau konteks transaksional. Paling sedikit, kita perlu mempertimbangkan kenyataan bahwa percakapan terdiri dari 2 bagian yang saling bergantian. Seperti yang ditunjukan oleh Goffman (1976), dasar pengaturan ini berasal dari persyaratan yang sangat sederhana dari suatu percakapan sebagai sistem komunikasi. Seorang penutur harus mengetahui apakah pesannya telah diterima dan dimengerti, yang menerima berita harus menunjukan bahwa ia telah menerima dan mengerti pesan tersebut. Karena itu kita harus mengenali pasangan-pasangan yang berdampingan tersebut sebagai perintah-jawaban (Schegloff, 1968), pernyataan-jawaban (Goffman, 1976), dan pertanyaan-jawaban, permohonan-penolakan permohonan, dan sebagainya.

Karena itu suatu penyelidikan tentang tindak tutur dengan sendirinya mengarah kepada pertanyaan-pertanyaan tentang urutan tindakan (peristiwa) dan konteks (tempat dan situasi percakapan). Rehbein dan Enlich dikutip dari Candlin (1978) mendaftar berbagai macam hal yang mungkin terjadi di dalam sebuah rumah makan ketika aktifitasnya adalah memesan makanan, masuk, menoleh ke sekeliling, mempertimbangkan, duduk, meminta menu, meminta informasi, mencari informasi, berkonsultasi, memutuskan, memesan, menyampaikan, menghasilkan, mengantarkan, melayani, makan, hendak membayar, menanyakan rekening, menghitung, mengambil/menyampaikan rekening, menerima rekening, membayar, meninggalkan tempat. Norma-norma perilaku bahasa mengenali berbagai macam bagian dari urutan macam percakapan, dan berbagai macam topik untuk dibicarakan. Dalam peristiwa-peristiwa tutur ada norma-norma untuk mengawali dan mengakhiri urutan-urutan ini, kaidah-kaidah urutan, frekuensi pembagian dan kemungkinan-kemungkinan untuk tindak tutur tertentu. Memberi nilai ‘command’ (perintah) untuk serangkaian ujaran yang mungkin diutarakan (‘hotdog’, ‘yang itu’, ‘tolong bawakan/ambilkan X, gerak isyarat deiktis) adalah suatu fungsi untuk mengenal dunia sosial rumah makan dengan hak-hak, tugas-tugas dan hubungan sosial diantara peserta tutur, dan juga fungsi dari kesadaran akan kedudukan di dalam wacana dan tindakan memberi perintah di dalam proses transaksi (Cadlin, 1978: 17).


REPRESENTATIF

Salah satu pemakaian bahasa yang mendasar ialah untuk memberitahu suatu keadaan, kita menyatakan, menuntut, melaporkan, dan lain-lain. Tujuan dari kelompok representatif ini ialah untuk menyertakan si pembicara dalam berbagai tingkatan (menyarankan, meragukan, dan menyangkal adalah bagian dari kelas ini juga) untuk membenarkan sesuatu. Salah satu cara untuk menguji suatu representatif ialah dengan pertanyaan apakah ia dapat dinyatakan sebagai suatu yang benar atau salah.

DIREKTIF

Ketika kita memakai bahasa, kita tidak hanya mengacu kepada fakta dan membuat pernyataan-pernyataan tentang itu. Di antara manfaat bahasa yang paling penting adalah berusaha menyuruh orang melakukan sesuatu. Kelompok direktif meliputi semua tindak tutur yang tujuan utamanya ialah sebagai usaha si penutur untuk menyuruh si petutur melakukan sesuatu. Saran-saran, permohonan-permohonan, dan perintah-perintah semuanya adalah direktif. Mereka berbeda dalam kekuatan usahanya, tetapi semuanya merupakan usaha si penutur agar si petutur melakukan sesuatu.

KOMISIF

Komisif adalah ‘tindak ilokusioner’ yagn tujuannya adalah mewajibkan si penutur melakukan sesuatu. Janji-janji dan ancaman-ancaman keduanya termasuk ke dalam kategori ini, perbedaannya ada pada asumsi penutur apakah yang dijanjikan itu disenangi atau tidak oleh si petutur.

Searle menunjukan sesuatu yang menarik, yakni ada perbedaan dalam arah kecocokan antara kata-kata dari suatu tindak tutur dan kondisi fakta yang ada ketika kita bandingkan representatif dengan direktif dan komisif. Pada representatif, arah kecocokan adalah ‘kata ke fakta’ yakni apakah kata-kata yang diucapkan (misalnya, Dunia itu datar) sesuai dengan fakta. Pada representatif dan komisif, arah kecocokan ialah ‘fakta ke kata’. Tindakan-tindakan yang dilakukan kemudian harus sesuai dengan kata-kata yan diucapkan sebelumnya. Perbedaan dasar antara permohonan dan komisif adalah apakah tindakan si petutur adalah tujuan dari permohonan-permohonan dan direktif lainnya, sedangkan perbuatan-perbuatan si penutur adalah berkenaan dengan masalah janji-janji dan komisif lainnya.

EKSPRESIF

Tujuan dari kelompok ini ialah menyatakan perasaan dan sikap tentang sesuatu keadaan. Kita minta maaf untuk apa yang telah kita lakukan, menyesali perbuatan orang lain, menyesal, berterimakasih, menyambut dan lain-lain. Dengan ekspresif tidak ada arah kecocokan, tetapi keadaan yang dijelaskan dalam proposisi berikutnya dianggap benar. Perhatikan juga bahwa meskipun representatif, direktif dan komisif semuanya berhubungan dengan suatu dimensi psikologis yang konsisten (kepercayaan, keinginan dan maksud), keadaan psikologis yang dinyatakan oleh ekspresif adalah sangat beragam.

DEKLARATIF

Beberapa tindak tutur mengakibatkan perubahan-perubahan fakta hanya melalui keberhasilan pelaksanaan. ‘Anda dipecat’, kata seorang majikan, dan karyawan itu harus mulai mencari pekerjaan baru. ‘Ya, saya berjanji’, kata  seorang mempelai laki-laki dan perempuan, dan setelah pendeta atau pegawai kantor catatan sipil mengatakan bagian tugasnya, perkawinan telah disahkan. Karakteristik yang menentukan dari kelas ini adalah bahwa pelaksanaannya mengakibatkan kecocokan antara kata-kata dan fakta. Kelompok ini paling dekat dengan pengertian asli dari Austin (1962) tentang suatu performatif, suatu tindakan melakukan sesuatu dalam fakta, dan bukan hanya berkata-kata belaka.

KATA KERJA PERFORMATIF

Dari pengertian asli Austin tentang suatu performatif timbul istilah-istilah yang baru dan penting, seperti kata keja performatif dan performatif eksplisit (kalimat atau ujaran). Ini adalah kata kerja-kata kerja (kalimat atau ujaran) yang dengan jelas menyebutkan tindakan-tindakan yang sedang dilakukan, misalnya, I promise to be there (Saya berjanji akan berada disana), sebuah performatif eksplisit yang dapat dibandingkan dengan yang implisit tersirat I’ll be there (Saya akan berada disana). Ada persyaratan-persyaratan sintaksis tertentu yang secara umum dianggap berlaku untuk suatu kata kerja agar berfungsi secara performatif, seperti persyaratan bahwa subjek (jika diekspresikan) harus orang pertama, teman bicara (jika diekspresikan) harus orang kedua dan persyaratan bahwa kata kerja harus dalam bentuk/waktu sekarang (present tense). Jadi I promise you that I’ll be there (Saya berjanji kepadamu bahwa saya akan berada disana) adalah performatif eksplisit, sedangkan He promised that he’d be there  (Ia berjanji bahwa ia akan berada disana) sama sekali bukan janji (komisif) tetapi suatu bentuk laporan (representatif). Meskipun kebanyakan pengarang menganggap performatif sebagai jenis kalimat dengan persyaratan sintaksis seperti itu, Fraser (1975) meragukan hal ini dan ia berargumentasi bahwa persyaratan sintaksis yang ketat tidak dapat dibuktikan dan lebih menyukai perbedaan contoh-contoh performatif kuat (Contoh yang sangat mudah bisa dilihat seperti tindakan yang ditunjukkan oleh kata kerjanya) dan contoh-contoh performatif lemah.

Reference

Dra. Ismari. 1995. Tentang Percakapan, (page: 6-11, 76-81). Surabaya: Airlangga University Press.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar