TINDAK TUTUR
Prinsip-prinsip tingkah laku kerjasama mengilustrasikan beberapa asumsi-asumsi yang
diajukan ke dalam suatu percakapan. Namun untuk tujuan apakah sebenarnya
percakapan dilakukan? Lane memerikan beberapa hal tentang percakapan sebagai
pertukaran informasi, penjagaan tali persahabatan sosial, kekerabatan dan
sebagainya, negosiasi status dan peranan, pengambilan keputusan serta
pelaksanaan tindak bersama. Dengan demikian percakapan dapat memenuhi fungsi
yang berbeda-beda. Salah satu pendekatan analisa fungsi bahasa dalam percakapan
adalah melalui teori tindak tutur.
Tindak tutur dapat diperikan
sebagai sesuatu yang sebenarnya kita lakukan ketika kita berbicara. Ketika kita
terlibat dalam percakapan, kita melakukan beberapa tindakan seperti melaporkan,
menyatakan, memperingatkan, menjanjikan, mengusulkan, menyarankan, mengkritik,
meminta dan lain-lain. Suatu tindak tutur dapat didefinisikan sebagai unit
terkecil aktifitas berbicara yang dapat dikatakan memiliki fungsi. Seorang
filsuf yang bernama Austin (1962) menyatakan bahwa ada ribuan kata kerja dalam
bahasa Inggris seperti ask
(bertanya), request (meminta), direct (memimpin), require (membutuhkan), order
(menyuruh), command (memerintah), sugget (menyarankan), beg (memohon), plead (menuntut), yang kesemuanya menandai tindak tutur. Tetapi
tindak tutur tidak sekedar setara dengan kata kerja yang menggambarkan mereka.
Perhatikan percakapan berikut:
A : ’Isn’t it hot in here.’
(Terasa panas sekali disini
B : ’Let me turn on the air conditioner.’
(Saya akan
nyalakan pendingin ruangannya)
Ujaran A berfungsi sebagai permintaan, sama seperti: ‘tolong
nyalakan pendingin ruangannya.’ Hal tersebut sama dengan jika saya ingin lawan
bicara saya mengambilkan segelas air. Saya mungkin menyatakan permintaan saya
dalam bentuk pernyataan mengenai keadaan tubuh saya; ‘Saya merasa haus’. Dalam
membahas tindak tutur, perlu dibedakan antara makna lahir yang biasanya juga
disebut makna proposisi dengan makna ilokusioner, yaitu makna yang dimiliki
karena fungsinya dalam percakapan. Pernyataan atau proposisi tentang keadaan
tubu kita, misalnya, dapat memiliki makna ilokusioner berupa permintaan, saran
dan lain-lain.
Searle (1976) mengklasifikasikan
tindak tutur dengan berdasarkan pada maksud penutur ketika berbicara ke dalam
lima kelompok besar.
a.
Representatif
: Tindak tutur ini mempunyai fungsi memberitahu orang-orang mengenai sesuatu.
Tindak tutur ini mencakup mempertahankan, meminta, mengatakan, menyatakan dan
melaporkan.
b.
Komisif
:Tindak tutur ini menyatakan bahwa penutur akan melakukan sesuatu, misalnya
janji dan ancaman.
c.
Direktif
: Tindak tutur ini berfungsi untuk membuat petutur melakukan sesuatu seperti:
saran, permintaan, dan perintah.
d.
Ekspresif
: Tindak tutur ini berfungsi untuk mengekspresikan perasaan dan sikap mengenai
keadaan hubungan, misalnya permintaan maaf, penyesalan dan ungkapan terima
kasih.
e.
Deklaratif
: Tindak tutur ini menggambarkan perubahan dalam suatu keadaan hubungan
misalnya ketika kita mengundurkan diri dengan mengatakan ‘Saya mengundurkan
diri’, memecat seseorang dengan mengatakan ‘Anda dipecat’, atau menikahi
seseorang dengan mengatakan ‘Saya bersedia’.
Banyak percakapan tidak terdiri dari tindak tutur tunggal,
tetapi biasanya terdiri dari tindak tutur yang multiguna. Labov dan Fanshel
(1977:29) menyatakan bahwa sebagian besar ujaran dapat dipahami sebagai
pernyataan beberapa tindak tutur sekaligus. Masing-masing peserta tutur
tampaknya memahami dan menanggapi tindak tutur tersebut pada berbagai tingkat
abstraksi. Sebagaimana kita ketahui, percakapan bukanlah merupakan untaian
ujaran-ujaran tetapi lebih menyerupai matriks ujaran dan tindakan yang bersama
terikat dengan rakaian pengertian dan tanggapan. Oleh karena itu, seorang murid
yang bertanya pada gurunya: ‘Tolong berbicara lebih lambat.’ Juga meminta
tindakan sekaligus, dengan menyatakan bahwa guru berbicara terlalu cepat dan
melaporkan adanya kesulitan.
Oleh sebab itu fungsi utama
percakapan adalah pernyataan tindak tutur. Ketika orang-orang bercakap-cakap,
mereka mungkin membuat janji-janji, memberikan pujian, sanjungan, mengkritik,
atau mengundang dan memperingatkan. Tujuan utama peserta percakapan adalah
untuk menginterpretasikan tindak tutur yang dimaksudkan seara tepat. Contoh
berikut adalah percakapan melalui telepon antara seorang profesor dengan siswa
asing yang menunjukan kegagalan seorang siswa dalam menginterpretasikan tindak
tutur yang dimaksudkan.
A : ’Hello, is Mr. Simatupang there please?’
(Halo, apakah pak Simatupang
ada?)’
B : ’Yes.’
(Ya)
A : ’Oh…may I speak to him please?’
(Oh, bisakah saya berbicara
dengannya?)
B : ’Yes.’
(Ya)
A : ’Oh…are you Mr. Simatupang?’
(Oh, apakah anda pak
Simatupang?)
B : ’Yes, this is Mr. Simatupang.’
(Ya, saya pak Simatupang.)
Disini B menjawab pertanyaan A, seolah-olah pertanyaan
tersebut adalah sekedar menanyakan keberadaan dan bukan permintaan untuk
memanggil yang bersangkutan. Contoh percakapan berikut adalah antara seorang
pelanggan sebuah restoran dan si pelayan restoran yang tidak lancar berbicara
bahasa Inggris. Percakapan tersebut menunjukan bagaimana percakapa berlangsung
sampai tindak tutur yang dimaksud dapat tersampaikan.
A : ’Here you meal sir.’
(Ini makanannya, Pak.)
B : ’Oh. Is the cook new here?’
(Apakah kokinya baru?)
A : ’Cook long time working here sir.’
(Kokinya sudah lama bekerja
disini, Pak.)
B : ’This is not the proper way to serve a steak.’
(Tapi ini bukanlah cara yang
lazim dalam menyajikan steak.)
Maksud ujaran B ‘apakah kokinya baru?’ adalah suatu kritikan.
Namun setelah gagal menyampaikan makna ilokusioner yang dimaksudkan, pelanggan
tersebut kembali menyampaikan kritikan secara langsung.
Prinsip-prinsip kerjasama
percakapan adalah bagian dari proses agar para peserta tutur dapat mencapai
makna ilokusioner percakapan yang benar. Namun, nampaknya kasus-kasus terjadi
karena pemakai bahasa yang tidak lancar cenderung terlalu memperhatikan makna
lahir suatu ujaran, dan sebagai akibatnya mereka sering kehilangan makna
ilokusioner yang dimaksud, bahkan pada kasus dimana ekspresi makna ilokusioner
mengikuti konvensi-konvensi idiomatik yang serupa dengan bahasa mereka sendiri.
Seorang pemakai bahasa yang tidak lancar akan tampak lebih bergantung pada
tanda-tanda kontekstual dan linguistik dalam memahami makna ilokusioner.
Sebaliknya hal tersebut membentuk wacana yang ditujukan oleh penutur asli
kepada mereka. Perkataan orang asing (tipe bahasa yang ditujukan oleh penutur
asli kepada orang-orang asing) akan tampak mengandung penanda makna ilokusioner
yang lebih eksplisit daripada yang ditujukan kepada pemakai bahasa yang lancar.
Oleh sebab itu, seorang guru yang akan memberikan lelucon kepada murid-murid
yang mengikuti kelas bahasa kedua selalu mengatakan ‘Saya akan menceritakan
sebuah lelucon kepada anda.’ Sebelum mulai menceritakannya.
Saat beranjak dari suatu bahasa ke
bahasa lain, seorang pembelajar bahasa kedua mungkin juga mendapati bahwa
konvensi-konvensi yang berkaitan dengan tindak tutur dalam bahasa tersebut
berbeda, dengan cara-cara begitu samar yang mana mengakibatkan percakapan
menjadi lebih sulit dalam proses penguasaan bahasa kedua. Pada beberapa budaya,
misalnya, permintaan, penolakan dan pertidaksetujuan mungkin lebih sering diungkapkan
secara tidak langsung. Sedangkan sapaan pada beberapa budaya mungkin berupa
pertanyaan tentang keadaan kesehatan lawan bicara, ataupun pertanyaan mengenai
bagaimana lawan bicara menikmati makanannya akhir-akhir ini. Suatu budaya
mungkin menempatkan beberapa penekanan khusus pada kesederhanaan dan
kehati-hatian saat mengekspresikan kepercayaan pribadi, sedangkan pada budaya
lainnya, permintaan atau kritikan dianggap sebagai ancaman (Schmidt dan
Richards, 1980). Konvensi-konvensi linguistik yang berkaitan dengan realisasi
tindak tutur mungkin juga bervariasi antar bahasa. Pada bahasa Inggris,
misalnya, seseorang dapat membuat permintaan dengan mengarah pada kemampuan
lawan bicara untuk melakukan tindakan.
A : ’Can you open the window?’
(Dapatkah anda membuka
jendela?)
B : ’Sure.’
(Tentu)
Tetapi jika B menawab pertanyaan tersebut sebagai berikut:
A : ’Can you open the window?’’
(Dapatkah anda membuka
jendela?)
B : ’Yes, I can.’
(Saya dapat.)
Hal tersebut berarti B gagl dalam memahami makna ilokusioner
yang dimaksud A, yang merupakan tindak tutur yang dimaksud. Ketika konvensi
linguistik tersebut berlaku untuk basasa Inggris, ternyata ia tidak belaku
untuk semua bahasa. Oleh sebab itu, terjemahan dari ‘Can you hand me that book’
(Dapatkah anda memberikan buku itu pada saya) ke dalam bahasa-bahasa lain,
tidak akan menghasilkan kalimat yang sesuai dengan maksud yang diinginkan.
Brown dan Levinson (1978) dalam
makalah terbarunya menyajikan bagaimana realisasi tindak tutur mempengaruhi
bentuk interaksi percakapan. Mereka mengawalinya dengan premis bahwa untuk
tidak tutur, ketika dua pembicara berinteraksi, bemacam-macam tipe tantangan
ditujukan baik untuk ‘face’ penutur maupun ’face’ petutur. Posisi dasar mereka
adalah bahwa penutur memperkirakan ‘harga’ tindak tutur tertentu bagi penutur
dan petutur berdasarkan jarak sosial dan tingkat kekuasaan pembicara dan
kemudian memilih strategi percakapan yang sesuai. Dua strategi penting yang
dibahas oleh Brown dan Levinson adalah apa yang mereka sebut strategi kesopanan
positif dan negatif. Strategi-strategi kesopanan positif menekankan pada
solidaritas, hubungan baik, dan persamaan antara penutur dan petutur.
Contoh-contoh pilihan pembicara melakui strategi ini adalah:
Strategi kesopanan positif
1.
Menarik
perhatian, keinginan dan kebutuhan petutur
Contoh: ’Goodness. You cut yur hair! By the way, I
came to borrow some flour.’
(Amboi anda baru
potong rambut ya? Omong-omong, saya mau pinjam tepung)
2.
Melebih-lebihkan
rasa ketertarikan, persetujuan, simpati pada petutur
Contoh: ‘Yes, isn’t it just ghastly, the way it
always seems to rain when you’ve hung your laundry out.’
(Ya hebat bukan,
selalu tampak seperti hujan jika anda akan menjemur pakaian)
3.
Menekankan
rasa ketertarikan kepada pendengar
Contoh: Gunakan cara
penyampaian kejadian secara historis
‘I come down stairs and
what do I see.’
(Saya turun ke
lantai bwah dan apa yang saya lihat)
4.
Menggunakan
penanda identitas kelompok
Contoh: ‘Help me with this bag, will you mate.’
(Tolong bawakan tas ini
kawan)
(Brown dan Levinson, 96-135)
Brown dan Levinson membahas 15 tipe strategi kesopanan. Tipe
kedua strategi kesopanan disebut kesopanan negatif. Tipe kesopanan ini tidak
menekankan pada solidaritas atau persamaan antara penutur dengan petutur, tetapi
petutur berhak untuk bebas dari pembebanan. Tipe kesopanan ini berfungsi
sebagai upaya untuk meminimalkan pembebanan tertentu yang mana … (tindak tutur)
… menimbulkan dampak yang tak terhindarkan (Brown dan Levinson, 134). Oleh
sebab itu, hal tersebut sifatnya benar-benar menghormati dan tak langsung.
Beberapa strategi yang termasuk kesopanan negatif adalah:
Strategi kesopanan negatif
1.
Meminta
secara tidak langsung menurut kebiasaan
Contoh: ‘Can you please pass me the salt.’
(Tolong ambilkan
garam tersebut)
‘I would like a cup of coffee.’
(Saya ingin
secangkir kopi) (diucapkan di restoran)
2.
Bersikap
pesimis
Contoh: ‘I don’t suppose you could lend me &10’
(Saya tidak yakin
anda akan meminjami saya sesaat saja)
3.
Meminimalkan
pembebanan
Contoh: ‘Could I see you for a second?’
(Dapatkah saya
menemui anda sebentar saya?)
4.
Memohon
maaf
Contoh: ‘I hope you don’t mind a second.’
(Saya harap anda tidak keberatan bila saya mampir)
(Brown dan Levinson, 135-215)
Di sini kita tidak akan mengadili kekayaan dan kekuatan
analisa Brown dan Levinson, yang patut diperhatikan adalah bahwa berbagai
strategi yang mereka bahas untuk merealisasikan percakapan tampak beroperasi
secara serupa dalam 3 bahasa yang tidak berkaitan.
APAKAH
TINDAK TUTUR ITU?
Teori tindak tutur meliputi fungsi
dan pemakaian bahasa, jadi dalam arti yang paling luas, kita dapat mengatakan
bahwa tindak tutur adalah segala tindak yang kita lakukan melalui berbicara,
segala yang kita lakukan ketika kita berbicara. Akan tetapi, definisi seperti
ini terlalu luas untuk sebagian besar tujuan, karena manfaat berbicara tersebut
mencakup sebagian besar kegiatan manusia. Kita menggunakan bahasa untuk
menyatakan argumentasi, untuk menyampaikan informasi kepada sesama, untuk
menghibur, singkatnya untuk berkomunikasi. Kita berbicara dalam berbagai
upacara, permaian, resep, dan kuliah. Dalam beberapa kesempatan, misalnya
pertemuan-pertemuan sosial, kita terus-menerus menggunakan bahasa untuk
memperkenalkan seseorang kepada yang lain, untuk bercakap-cakap, bergurau,
mengkritik dan memuji orang ketiga, baik yang hadir maupun yang tidak,
menerangkan topik-topik yang disenangi, merayu atau berusaha merayu, dan
mengucapakan selamat tinggal. Kita dapat memperpanjang daftar ini sampai tak
terbatas, tetapi seperti yang ditunjukan oleh Halliday (1973: 18,28)
daftar-daftar ini sendiri tidak menerangkan banyak hal kepada kita, karena
bahasa yang dipakai orang dewasa untuk menyatakan tujuan-tujuan sosial yang tak
terhingga banyaknya tidak dinyatakan secara langsung, satu demi satu, dalam
sistem bahasa.
Hymes (1972) telah mengusulkan
perbedaan yang berguna diantara situasi tutur, peristiwa tutur dan tindak
tutur. Di dalam suatu masyarakat, seseorang menemukan banyak situasi yang
terkait dengan pembicaraan, seperti perkelahian, perburuan, makan, pesta dan
lain-lain. Tetapi hal ini tidak menguntungkan untuk mengubah situasi-situasi
seperti itu menjadi bagian dari pemerian sosiolinguistik semata-mata hanya
dengan memberi nama baru dalam kaitannya dengan pembicaraan, kaena
situasi-situasi semacam ini sendiri tidak terkontrol seluruhnya oleh
kaidah-kaidah yang tetap. Istilah peristiwa tutur bisa diartikan dengan
kegiatan-kegiatan yang secara langsung terkontrol oleh kaidah-kaidah atau
norma-norma yang dipakai untuk berbicara, yakni untuk peristiwa-peristiwa
seperti percakapan antara dua pihak (dengan bertatap muka atau di telepon),
kuliah-kuliah, perkenalan-perkenalan, upacara-upacara keagamaan, dan lain-lain.
Pengertian peristiwa tutur tersebut dihubungkan dengan konsep tradisional gaya,
meskipun Hymes berpendapat bahwa keduanya harus diperlakukan bebas secara
analitis, dan banyak penelitian empiris diperlukan untuk menjelaskan hubungan
antara kedua istilah ini. Tindak tutur (dalam arti yang sempit sekarang) adalah
istilah minimal dari pemakaian: situasi tutur/peristiwa tutur/tindak tutur.
Ketika kita berbicara, kita melakukan tindakan-tindakan seperti memberi
laporan, membuat pernyataan-pernyataan, mengajukan pertanyaan, memberi
peringatan, memberi janji, menyetujui, menyesal dan meminta maaf.
Sinclair dan Coulthard (1975), yang
telah menganalisa transkrip ruang belajar juga mengusulkan suatu analisa
menyeluruh, mulai dengan peristiwa sosial (pelajaran) sebagai kerangka analitis
yang berada paling luar dan selanjutnya berturut-turut membagi-bagi urutan
wacana sampai kepada unit yang paling kecil, yakni ‘tindak’, yang mereka
definisikan sebagai unit berbicara yang paling kecil yang bisa dikatakan
mempunyai suatu fungsi. Berbagai tindak diberi nama sesuai dengan fungsi wacana,
misalnya mencari keterangan, bertanya dan sebagainya.
Dalam makalah ini kita akan
memusatkan perhatian kita terutama pada tindak tutur perorangan. Akan tetapi
penting untuk melihat sedikit diluar ‘tindak’ yang tersendiri yang dinyatakan
oleh sebuah kalimat, terutama kata kerjanya. Austin (1962) menunjukan bahwa ada
banyak tindak tutur (ia mengistilahkannya dengan tindak ilokusioner) dan dalam
bahasa Inggris ada banyak kata kerja yang mengacu pada mereka. Sebagai contoh,
perhatikan seperangkat kata kerja berikut: ask
(bertanya), request (memohon), direct (menunjukan), require (memerlukan), order (memerintahkan), suggest (menyarankan), beg (memohon dengan sangat), plead, implore, pray (yang
artinya hampir sama dengan ‘beg’).
Ausitin menyatakan bahwa ada lebih dari 1000 kata kerja semacam itu dalam
bahasa Inggris. Tetapi walaupun kata kerja-kata kerja dalam bahasa Inggris
dilengkapi dengan taksonomi awal yang berguna untuk tindak tutur, ‘tindak’ itu
sebenarnya tidak sama dengan nama-nama kata kerja yang ada. Searle (1976)
menunjukan bahwa banyak kata kerja tidak merupakan tanda-tanda dari daya
ilokusioner, tetapi ia merupakan tanda-tanda dari ciri-ciri lain tindak tutur
tersebut, misalnya ‘insist’ (berkeras
hati), menandai tingkat intensitas, tetapi tidak menandai fungsi-fungsi tindak
tutur atau pokok-pokok ilokusioner yang terpisah. Keduanya boleh dipakai dengan
fungsi yang menunjukan arah misalnya dalam kalimat ‘I suggest/insist that we go to the movies’ (Saya sarankan/berkeras
hati kita pergi menonton film) atau dengan fungsi representatif seperti dalam
kalimat ‘I suggest/insist that the answer
is found on page 16’ (Saya sarankan/berkeras hati bahwa jawaannya ada di
halaman 16). Kita juga perlu mengetahui bahwa tindak tutur tidak dapat
didefinisikan dengan kalimat atau tingkatan pemerian tata bahasa yang lain.
Pemikiran Hymes (1972) ialah bahwa tingkatan tindak tutur menjadi perantara
antara tingkatan tata bahasa yang biasa dengan peristiwa tutur lainnya dalam
hal bahwa tingkatan itu melibatkan bentuk linguistik serta norma sosial. Apakah
suatu ujaran tertentu mempunyai status sebagai permohonan atau tidak, misalnya,
mungkin tergantung pada bentuk linguistik konvensional. ‘How about picking me up early this afternoon?’ (Bagaimana kalau
kamu menjemput saya agak awal nanti sore?) tetapi mungkin juga tergantung pada
hubungan sosial antara penutur dan petutur.
Perlu diketahui juga bahwa tindak
tutur terdapat dalam wacana dan bahwa interpretasi dan negosiasi penekanan
tindak tutur seringkali tergantung pada konteks wacana atau konteks
transaksional. Paling sedikit, kita perlu mempertimbangkan kenyataan bahwa
percakapan terdiri dari 2 bagian yang saling bergantian. Seperti yang
ditunjukan oleh Goffman (1976), dasar pengaturan ini berasal dari persyaratan
yang sangat sederhana dari suatu percakapan sebagai sistem komunikasi. Seorang
penutur harus mengetahui apakah pesannya telah diterima dan dimengerti, yang
menerima berita harus menunjukan bahwa ia telah menerima dan mengerti pesan
tersebut. Karena itu kita harus mengenali pasangan-pasangan yang berdampingan
tersebut sebagai perintah-jawaban (Schegloff, 1968), pernyataan-jawaban
(Goffman, 1976), dan pertanyaan-jawaban, permohonan-penolakan permohonan, dan
sebagainya.
Karena itu suatu penyelidikan
tentang tindak tutur dengan sendirinya mengarah kepada pertanyaan-pertanyaan
tentang urutan tindakan (peristiwa) dan konteks (tempat dan situasi
percakapan). Rehbein dan Enlich dikutip dari Candlin (1978) mendaftar berbagai
macam hal yang mungkin terjadi di dalam sebuah rumah makan ketika aktifitasnya
adalah memesan makanan, masuk, menoleh ke sekeliling, mempertimbangkan, duduk,
meminta menu, meminta informasi, mencari informasi, berkonsultasi, memutuskan,
memesan, menyampaikan, menghasilkan, mengantarkan, melayani, makan, hendak
membayar, menanyakan rekening, menghitung, mengambil/menyampaikan rekening,
menerima rekening, membayar, meninggalkan tempat. Norma-norma perilaku bahasa
mengenali berbagai macam bagian dari urutan macam percakapan, dan berbagai
macam topik untuk dibicarakan. Dalam peristiwa-peristiwa tutur ada norma-norma
untuk mengawali dan mengakhiri urutan-urutan ini, kaidah-kaidah urutan,
frekuensi pembagian dan kemungkinan-kemungkinan untuk tindak tutur tertentu.
Memberi nilai ‘command’ (perintah)
untuk serangkaian ujaran yang mungkin diutarakan (‘hotdog’, ‘yang itu’, ‘tolong
bawakan/ambilkan X, gerak isyarat deiktis) adalah suatu fungsi untuk mengenal
dunia sosial rumah makan dengan hak-hak, tugas-tugas dan hubungan sosial
diantara peserta tutur, dan juga fungsi dari kesadaran akan kedudukan di dalam
wacana dan tindakan memberi perintah di dalam proses transaksi (Cadlin, 1978:
17).
REPRESENTATIF
Salah satu pemakaian bahasa yang
mendasar ialah untuk memberitahu suatu keadaan, kita menyatakan, menuntut, melaporkan,
dan lain-lain. Tujuan dari kelompok representatif ini ialah untuk menyertakan
si pembicara dalam berbagai tingkatan (menyarankan, meragukan, dan menyangkal
adalah bagian dari kelas ini juga) untuk membenarkan sesuatu. Salah satu cara
untuk menguji suatu representatif ialah dengan pertanyaan apakah ia dapat
dinyatakan sebagai suatu yang benar atau salah.
DIREKTIF
Ketika kita memakai bahasa, kita
tidak hanya mengacu kepada fakta dan membuat pernyataan-pernyataan tentang itu.
Di antara manfaat bahasa yang paling penting adalah berusaha menyuruh orang
melakukan sesuatu. Kelompok direktif meliputi semua tindak tutur yang tujuan
utamanya ialah sebagai usaha si penutur untuk menyuruh si petutur melakukan
sesuatu. Saran-saran, permohonan-permohonan, dan perintah-perintah semuanya
adalah direktif. Mereka berbeda dalam kekuatan usahanya, tetapi semuanya
merupakan usaha si penutur agar si petutur melakukan sesuatu.
KOMISIF
Komisif adalah ‘tindak ilokusioner’
yagn tujuannya adalah mewajibkan si penutur melakukan sesuatu. Janji-janji dan
ancaman-ancaman keduanya termasuk ke dalam kategori ini, perbedaannya ada pada
asumsi penutur apakah yang dijanjikan itu disenangi atau tidak oleh si petutur.
Searle menunjukan sesuatu yang
menarik, yakni ada perbedaan dalam arah kecocokan antara kata-kata dari suatu
tindak tutur dan kondisi fakta yang ada ketika kita bandingkan representatif
dengan direktif dan komisif. Pada representatif, arah kecocokan adalah ‘kata ke
fakta’ yakni apakah kata-kata yang diucapkan (misalnya, Dunia itu datar) sesuai
dengan fakta. Pada representatif dan komisif, arah kecocokan ialah ‘fakta ke
kata’. Tindakan-tindakan yang dilakukan kemudian harus sesuai dengan kata-kata
yan diucapkan sebelumnya. Perbedaan dasar antara permohonan dan komisif adalah
apakah tindakan si petutur adalah tujuan dari permohonan-permohonan dan
direktif lainnya, sedangkan perbuatan-perbuatan si penutur adalah berkenaan
dengan masalah janji-janji dan komisif lainnya.
EKSPRESIF
Tujuan dari kelompok ini ialah menyatakan
perasaan dan sikap tentang sesuatu keadaan. Kita minta maaf untuk apa yang
telah kita lakukan, menyesali perbuatan orang lain, menyesal, berterimakasih,
menyambut dan lain-lain. Dengan ekspresif tidak ada arah kecocokan, tetapi
keadaan yang dijelaskan dalam proposisi berikutnya dianggap benar. Perhatikan
juga bahwa meskipun representatif, direktif dan komisif semuanya berhubungan
dengan suatu dimensi psikologis yang konsisten (kepercayaan, keinginan dan
maksud), keadaan psikologis yang dinyatakan oleh ekspresif adalah sangat
beragam.
DEKLARATIF
Beberapa tindak tutur mengakibatkan
perubahan-perubahan fakta hanya melalui keberhasilan pelaksanaan. ‘Anda
dipecat’, kata seorang majikan, dan karyawan itu harus mulai mencari pekerjaan
baru. ‘Ya, saya berjanji’, kata seorang
mempelai laki-laki dan perempuan, dan setelah pendeta atau pegawai kantor
catatan sipil mengatakan bagian tugasnya, perkawinan telah disahkan.
Karakteristik yang menentukan dari kelas ini adalah bahwa pelaksanaannya
mengakibatkan kecocokan antara kata-kata dan fakta. Kelompok ini paling dekat
dengan pengertian asli dari Austin (1962) tentang suatu performatif, suatu
tindakan melakukan sesuatu dalam fakta, dan bukan hanya berkata-kata belaka.
KATA
KERJA PERFORMATIF
Dari pengertian asli Austin tentang suatu performatif timbul
istilah-istilah yang baru dan penting, seperti kata keja performatif dan
performatif eksplisit (kalimat atau ujaran). Ini adalah kata kerja-kata kerja
(kalimat atau ujaran) yang dengan jelas menyebutkan tindakan-tindakan yang
sedang dilakukan, misalnya, I promise to
be there (Saya berjanji akan berada disana), sebuah performatif eksplisit
yang dapat dibandingkan dengan yang implisit tersirat I’ll be there (Saya akan berada disana). Ada
persyaratan-persyaratan sintaksis tertentu yang secara umum dianggap berlaku
untuk suatu kata kerja agar berfungsi secara performatif, seperti persyaratan
bahwa subjek (jika diekspresikan) harus orang pertama, teman bicara (jika
diekspresikan) harus orang kedua dan persyaratan bahwa kata kerja harus dalam
bentuk/waktu sekarang (present tense).
Jadi I promise you that I’ll be there
(Saya berjanji kepadamu bahwa saya akan berada disana) adalah performatif
eksplisit, sedangkan He promised that
he’d be there (Ia berjanji bahwa ia
akan berada disana) sama sekali bukan janji (komisif) tetapi suatu bentuk
laporan (representatif). Meskipun kebanyakan pengarang menganggap performatif
sebagai jenis kalimat dengan persyaratan sintaksis seperti itu, Fraser (1975)
meragukan hal ini dan ia berargumentasi bahwa persyaratan sintaksis yang ketat
tidak dapat dibuktikan dan lebih menyukai perbedaan contoh-contoh performatif
kuat (Contoh yang sangat mudah bisa dilihat seperti tindakan yang ditunjukkan
oleh kata kerjanya) dan contoh-contoh performatif lemah.
Reference
Dra. Ismari. 1995. Tentang
Percakapan, (page: 6-11, 76-81). Surabaya: Airlangga University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar