Rabu, 02 April 2014

PERUBAHAN BENTUK MAKNA

PERUBAHAN BENTUK MAKNA

Telah kita maklumi bahwa bahasa, terutama bahasa Indonesia, selalu tumbuh dan berkembang. Dalam proses pertumbuhan dan perkembangan itu, wajarlah bila selalu terdapat peristiwa perubahan, terutama perubahan bentuk kata. Pada umumnya, perubahan bentuk kata itu disebabkan oleh adanya beberapa perubahan bentuk kata asli karena pertumbuhan dalam bahasa itu sendiri, atau karena memang adanya perubahan bentuk dari kata-kata pinjaman.
Perubahan-perubahan bentuk kata apapun kalimat dalam suatu bahasa lazim disebut gejala bahasa. Apa gejala bahasa itu? Dr. J.S. Badudu dalam bukunya, Pelik-pelik Bahasa Indonesia (cet. XVIII, 1981, hal 47), menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan gejala bahasa ialah “peristiwa yang menyangkut bentukan-bentukan kata atau kalimat dengan gejala proses pembentukannya”.
Adapun macam-macam gejala bahasa dapat diuraikan sebagai berikut.

1.    Analogi
Analogi merupakan salah satu cara pembentukan kata baru. Dalam suatu bahasa, yang disedut analogi adalah suatu bentukan bahasa dengan meniru contoh yang sudah ada. Dalam suatu bahasa yang sedang tumbuh dan berkembang, pembentukan kata-kata baru (analogi) sangat penting sebab bentukan kata baru dapat memperkaya pembendaharaan bahasa.
Kita sering mendengan ataupun membaca kata-kata seperti dewi-dewi, putra-putri. Kedua bentuk kata itu terdapat perbedaan fonem, yaitu fonem /a/ dan /i/ pada akhir kata. Fonem /a/ dan /i/ mempunyai fungsi menyatakan perbedaan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Karena bentukan-bentukan seperti itulah, dalam bahasa Indonesia terdapat bentukan baru, misalnya berikut ini.
Menyatakan laki-laki
Menyatakan perempuan
Saudara /a/
Pemuda /a/
Siswa /a/
Mahasiswa /a/
Saudari /i/
Pemudi /i/
Siswi /i/
Mahasiswi /i/

Selain bentukan bentuk baru seperti di atas, ada pula deretan yang sudah lama kita jumpai, misalnya: sastrawan, hartawan, wartawan, rupawan, dan bangsawan. Dari bentukan-bentukan itu, timbul pula bentukan-bentukan seperti: olahragawan, olahragawati; negarawan, negarawati; sosiawan, sosiawati; dan karyawan, karyawati. Fonem /a/ dan /i/ pada bentukan kata si atas tidak ubahnya berfungsi menyatakan perbedaan jenis kelamin.
Di samping bentukan-bentukan baru yang menyatakan perbedaan jenis kelamin, terdapat bentukan yang dibentuk dari kata-kata asli, misalnya bentuk-bentuk seperti: sosialisme, sosialis, dan hedonisme. Analog dengan itu, terbentuklah kata-kata seperti marhaenisme, marhaenis, pancasialis (Gorys keraf, 1980: 133).

2.    Adaptasi
Dalam perkembangannya, bahasa Indonesia selalu dipengaruhi oleh bahasa-bahasa asing dan bahasa-bahasa daerah. Dari pengaruh itu bahasa Indonesia diperkaya oleh kata-kata asing dan daerah untuk melengkapi perkembangannya. Kata-kata yang diambil dari bahasa asing selalu mengalami penyesuaian (adaptasi) dengan penerimaan pendengaran, ucapan lidah bangsa pemakai bahasa yang dimasukinya, dan struktur bahasa. Oleh sebab itu, yang disebut adaptasi adalah perubahanbunyi dan struktur bahasa asing menjadi bunyi dan struktur yang sesuai dengan penerimaan pendengaran atau ucapan lidah bangsa pemakai bahasa yang dimasukinya.
Adaptasi atau penyesuaian dapat dibedakan menjadi dua, yaitu adaptasi fonologis dan adaptasi morfologis.
a)   Adaptasi fonologis adalah penyesuaian perubahan bunyi bahasa asing menjadi bunyi yang sesuai dengan ucapan lidah bangsa pemakai bahasa  yang dimasukinya. Adaptasi ini menekankan pada lafal bunyi, misalnya.
Bahasa asing atau daerah
Bahasa yang dimasukinya
Zonder (Belanda)
Fadhuli (Arab)
Zaal (Belanda)
Dhahir (Arab)
Voorsehot (Belanda)
Vooloper (Belanda)
Chauffeur (Belanda)
Vacantie (belanda)
Sonder
Peduli
Sal
lahir
Persekot
Pelopor
Sopir
pakansi

b)   Adaptasi morfologis adalah penyasuaian struktur bentuk kata. Tentu saja, perubahan struktur bentuk kata ini pasti berpengaruh pada perubahan bunyi, misalnya berikut ini.
Bahasa asing
Bahasa yang dimasukinya
Schildwacht (Belanda)
Parameswari (Sansekerta)
Prahara (sansakerta)
Sekilwak
Permaisuri
perkara

3.    Kontaminasi
Dalam bahasa Indonesia, kontaminasi sama dengan keracunan. Kata rancu berarti ‘campur aduk’, ‘kacau’. Dalam bidang bahasa, kata rancu (keracunan) dipakai sebagai istilah yang berkaitan dengan pencampuran dua unsur bahasa (inmuhan, kata, frasa, atau kalimat) yang tidak wajar. Ketidakwajaran yang menunjukkan bentuk rancu itu (khususnya bentukan kata) dapat diuraikan sebagai berikut.
Perhatikan kata-kata berikut.
1)   dinasionalisirkan,
2)   diplubisirkan!
Pada contoh di atas, kita melihat kerancuan akhiran {-ir} (Belanda) dengan akhiran {-kan}. Baik akhiran {-ir} maupun {-kan} berfungsi membentuk kata kerja. Pada bentuk rancu dinasionalisirkan dan dipublisirkan, terjadi duakali proses pembentukan kata kerja itu; pertama, dengan akhiran {-ir}, dan kedua, dengan akhiran {-kan}. Hal tersebut tentunya tidak wajar. Bentuk kata kerja diatas dalam pemakaian bahasa Indonesia bersaing dengan kata-kata dinasioalisasikan dan dipublikasikan, yang hanya terjadi satu kali proses pembentukannya, yaitu dari kata benda nasional, dan kata benda publikasi. Peristiwa di atas disebut kontaminasi bentuk kata. Contoh lain: direalisasikan, dipertinggikan, diperluaskan, dll.

4.     Hiperkorek
Gejala hiperkorek merupakan proses bentukan betul di balik betul. Maksudnya, sesuatu yang sudah betul dibetulkan lagi, yang akhirnya malah menjadisalah.
Gejala hiperkorek dapat kita perhatikan dalam uraian berikut:
a)    Fonem /s/ menjadi /sy/;
Sehat menjadi syehat;
Insaf menjadi insyaf;
Saraf  menjadi syaraf;
b)   Fonem /h/ menjadi /kh/:
Ahli menjadi akhli;
Hewan menjadi khewan;
Rahim menjadi rakhim;
c)    Fonem /p/ menjadi /f/:
Pasal menjadi fasal;
Paham menjadi famah;
d)   Fonem /j/ menjadi /z/:
Ijazah menjadi izazah;
Jenazah menjadi zenazah;
Gejala hiperkorek ini juga melanda ragam bahasa pergaulan remaja kita. Misalnya kofi, mefet, padahal semestinya kopi, mepet.

5.    Varian
Gejala varian sering kita jumpai dalam ceramah dan pembicaraan resmi. Vocal /a/ pada sufiks –kan menjadi /ə/. Misalnya:
direncakan menjadi direncanaken
digalakkan menjadi digalakkaen;
diambilkan menjadi diambilken;
membacakan menjadi membacaken;
membanggakan menjadi membaggaken;
berdasarkan menjadi berdasarken;
dan lain-lain.

6.    Asimiliasi
Gejala asimiliasi berarti proses penyamaan atau penghampirsamaan bunyi yang tidak sama. Misalnya
alsalam > assalam > asalam;
inmoral > immoral > imoral;
mertua > mentua.

7.    Desimiliasi
Desimiliasi adalah proses berubahnya dua buah fonem yang sama menjadi tidak sama. Misalnya:
vanantara (sansekerta)            > belantara;
citta (sansekerta)                     > cipta;
sajjana (sansekerta)                 > sarjana;
rapport (Belanda)                   >  lapor;
lalita (sansekerta)                    > jelita;
lauk-lauk                                 > lauk-pauk.

8.    Adisi
Gejala adisi adalah perubahan yang terjadi dalam suatu tuturan yang ditandai oleh penambahan fonem. Gejala adisi dapat dibedakan atas: protesis, epentesis, dan paragog.
a)    Protesis ialah penambahan fonem pada awal kata. Contoh:
lang            > elang;
mas             > emas;
stri              > istri;
smara         > asmara.
b)   Epentesis ialah proses penambahan suatu fonem di tengah kata. Contoh:
general       > jenderal;
gopala        > gembala;
racana        > rencana;
upama        > umpama;
kapak          > kampak.
c)    Paragog ialah proses penambahan fonem pada akhir kata. Contohnya:
lamp           > lampu
hulubala     > hulubalang;
ina              > inang;
adi              > adik
boek            > buku.

9.    Reduksi
Gejala reduksi adalah peristiwa pengurangan fonem dalam suatukata. Gejala reduksi dapat dibedakan atas: aferesis, sinkop. Apokop.
a)    Afersia ialah proses penghilangan fonem pada awal kata, contoh:
upawasa     >  puasa;
velocipede   > sepeda;
telentang     > tentang;
tahtapi        > tetapi > tapi;
adhayaksa  > jaksa.
b)   Sinkop ialah penghilangan fonem di tengah-tengah kata. Contohn:
utpati          > upeti;
listuhayu     > lituhayu;
sahaya        > saya.
c)    Apokop ialah proses penghilangan fonem pada akhir kata. Contoh:
pelangit       > pelangi;
possesiva    > posesif;
import         > impor;
mpulaut      > pulau.

10.    Metatesis
Metatesis suatu pertukaran, adalah perubahan kata yang fonem-fonemnya bertukar tempatnya. Contoh:
rontal   > lontar;
beting  > tebing;
kelikir  > kerikil;
banteras > berantas;
almari  > lemari;
apus     > usap – sapu.

11.    Diftongisasi
Diftongisasi adalah perubahan suatu menodtong menjadi diftong. Contoh:
sodara   > saudara;
suro       > surau;
pete        > petai;
polu       > pulau;

12.    Monoftongisasi
Monoftongisasi adalah proses perubahan suatu diftong menjadi monoftong. Contoh:
gurau   > guro;
bakau  > bako;
sungai  > sunge;
tunai    > tune.



13.    Gejala Anaptiksis
Anaptikis adalah proses penambahan suatu bunyi dalam suatu kata guna melancarkan ucapannya. Contoh:
putra    > putera;
putri     > puteri;
candra > candera;
srigala > serigala.

14.    Haplologi
Haplologi adalah proses penghilangan suku kata yang ada di tengah-tengah kata. Contoh:
samanantara   > sementara;
mahardhika     > merdeka;
budhidaya       > budidaya.

15.    Kontraksi
Kontraksi adalah gejala yang memperlihatkan adanya satu atau lebih fonem yang dihilangkan. Kadang-kadang, ada perubahan atau penggantian fonem. Contoh:
perlahan-lahan            > pelan-pelan;
bahagianda                 > baginda;
tidak ada                     > tiada;
 Tapian na uli              > Tapanuli.









PROBLEMA MORFOLOGIS DALAM
BAHASA INDONESIA
Setiap bahasa, ternasuk bahasa Indonesia, walaupun dikatakan mempunyai sistem, dalam pemakaiannya selalu timbul masalah-masalah, baik masalah yang berhubungan dengan bunyi, bentuk kata, penulisan, maupun pemakian kalimat. Hal itu disebabkan oleh sifat bahasa yang selalu berkembang dalam perkembangan pikiran dan budaya pemakai bahasa yang bersangkutan. Oleh sebab itu, timbulnya masalah kebahasaan pada bahasa tertentu, misalnya dalam bahasa Indonesia tidak berarti bahasa itu kurang maju, kurang mapan, dan sebagainya.
Pemakaian kata dalam bahasa Indonesia juga menimbulkan problema-problema. Setelah dikelompokkan, paling tidak ada tujuh problema, yaitu (1) problema akibat bentukan baru, (2) problema akibat kontaminasi, (3) problema akibat adanya unsur serapan, (4) problema akibat analisis, (5) problema akibat perlakuan kluster, (6) problema akibat proses morfologis bentuk serapan, dan (7) problema akibat perlakuan bentuk msjemuk. Berturut-turut, jenis problema di atas dibicarakan berikut ini.



1.    Problema Akibat Bentukan Baru
Pada akhir-akhir ini, banyak sekali bentukan baru sebagai hasil kreasi pemakaian bahasa Indonesia. Misalnya bentukan memberhentikan, memberlakukan, keberhasilan, keterbelakangan, dikesanakan, dikekirikan, turinisasi, lelenisasi, duniawi, dan badani, misalnya dalam kalimat:
1)        Direktur CV “Marga” telah memberhentikan karyawannya.
2)        Apakah Saudara tidak tahu bahwa Pak Ketua RT telah memberlakukan keputusan rapat warga minggu lalu?
3)        Keberhasilan yang Anda capai selama ini harus Anda pertahankan.
4)        kita harus belajar giat agar keterbelakangan kita tidak terulang.
5)        Agar tidak semrawut, barang-barang ini perlu dikesanakan.
6)        Supaya lapang, letak tiang ini sebaiknya dikekirikan saja.
7)        Program turinisasi di daerah Probolinggo telah berhasil.
8)        Program lelenisasi  sangat tepat dilaksanakan di daerah-daerah rawa.
9)        Sebagai manusia sosial, kita harus manusiawi terhadap sesama.
10)  Menurut cerita, barang siapa minum air surgawi akan awet muda.
Bentuk memberhentikan dan memberlakukan tergolong bentuk baru yang berkontruksi demikian (yaitu prefiks + prefiks + bentuk dasar + sufiks) sebelumnya tidak dikemukakan. Dari kenyataan itu, lalu timbul pertanyaan: “Apakah dibenarkan suatu kontruksiyang dibentuk dengan dua prefiks?”. Pertanyaan itu akibat ketidaktahuannya atas proses pembentukan konstruksi di atas. Konstruksi itu memang terdiri atas empat morfem, tetapi pembentukannya tidak secaraq serentak. Kontruksi itu dibentuk secara bertahap. Pertama, konstruksi itu dibentuk dari gabungan –ber ­dan henti. Lalu, konstruksi berhenti dibentuk dengan penambahan ­meN- dan _kan (sebagai simulfiks), sehingga berkontruksi memberhentikan. Begitu juga konstruksi memberlakukan. Pertama-tama, kontruksi itu dibentuk dari ber- dan laku. Dari bentuk berlaku, dibentuklah memberlakukan, dengan menambahkan meN- dan –kan (sebagai simulfiks). Kalau divisualkan, itu terlihat pada diagram berikut.
Dari diagram itu juga trlihat bahwa bentuk dasar konstruksi memberhentikan adalah berhenti, sedangkan bentuk dasar konstruksi memberlakukan adalah berlaku, dan bukan henti dan laku. Bentuk henti dan laku adalah asal dari konstruksi itu. Dengan demikian, walaupun konstruksi itu terdapat dua prefiks, konstruksi itu tetap dibenarkan selain menghentikan dan memberlakukan. Begitu juga diberhentikan, diberlakukan, dimengerti, diberangkatkan, dan sebagainya.
Bagaimana dengan konstruksi keberhasilan dan keterbelakangan? Proses pembentukan konstruksi ini sama dengan proses pembentukan konstruksi memberhentikan, yaitu secara bertahap. Dengan demikian, bentuk dasarnya adalah berhasil dan terbelakang, bukan hasil dan belakang.
Konstruksi dikesanakan dan dikekirikan merupakan bentuk baru sebagai hasil dari analogi bentuk dikemukakan  dan dikesampingkan. Konstruksi ini berbentu frasa, yaitu ke sana, ke kiri, ke samping, dan kemuka. Konstruksi ini dibenarkan sebab bentuk dasar tidak selalu monomorfemis, tetapi ada yang polimorfemis, bisa dua morfem, tiga morfem, empat morfem, dan sebagainya. Begitu juga bentuk dasar dari suatu konstruksi dapat berbentuk morfem terikat, morfem bebas, baik kata maurun frasa. (Sebagai pengecekan, silakan diteliti kata-kata yang telah mengalami proses morfologis!)
Konstruksi turinisasi dan lelenisasi juga merupakan bentuk baru sebagai akibat perlakuan afiks asing dalam proses morfologis bahasa Indonesia. Kita tahu bahwa afiks –(n)siasi berasal bahasa Inggris “-(n)ization”. Bentuk afiks ini apabila menempel pada bentuk dasar bahasa yang bersangkutan, misalnya modernisasi (modernization), standarisasi (standardization), mekanisasi (mechanization), berarti hal yang berhubungan dengan bentuk dasarnyayang berfungsi pembedaan secara abstrak. Setelah terserap kedalam bahasa Indonesia, afiks –(n)isasi dicoba digabungkan dengan kata dasar bahasa Indonesia untuk arti dan fungsi yang sama, misalnya dengan bentuk dasar turi, lele, pompanisasi. Bahkan, tidak menutup kemungkinan apabila timbulkonstruksi baru selain ketiga konstruksi di atas.
Konstruksi ini yang tergolong bentukan baru adalah konstruksi manusiawi  dan surgawi. Konstruksi itu mengalami proses morfologis dengan jalan menambahkan morfem afiks –wi pada bentukan manusia dan surga. Kita tahu bahwa morfem afiks ­–wi (atau –i apabila bentuk dasarnya bereakhir dengan konsonan) berasal dari bahasa Arab, sedangkan  bentuk manusia dan surga bukan dari bahasa Arab. Konstruksi yang bentuk dasarnya berasal dari bahasa Arab ialah duniawi, ukhrawi, insane, dan alami (yang masing-masing diadaptasi dari “diniyawiyyun”, “ukhrawiyyun”, “insaniyyun”, dan “alamiyyun”).
Ternyata akhiran –wi (-i) yang berasal dari bahasa Arab itu setelah terserap ke dalam bahasa Indonesia diperlakukan sebagai afiks baha Indonesia. Oleh karena itu, afiks –wi (-i) sekarang mampu bergandeng dengan bentuk dasar selain bahasa aslinya (bahasa Arab) sebagaiman contoh di atas. Sehubungan dengan itu, yang perlu diperhatikan adalah perbedaan pemakaian afiks –wi dan –i. Afiks –wi dipakai pada bentuk dasar yang berakhiran dengan vocal, sedangkan afiks –i dipakai pada bentuk dasar yang akhiran dengan konsonan. Oleh sebab itu, konstruksi gerejani dianggap sebagai konstruksi yang salahsebab afisk –ni tidak ada.  Konstruksi itu diduga sebagai hasil analogi yang salah terhadap bentuk badani, insani.
      
2.    Problem Akibat Kontaminasi
Kontamisasi merupakan gejala bahasa yang mengacaukan konstruksi kebahasaan, dua konstruksi, yaitu mestinya harus berdiri sendiri, dipadukan menjadi satu konstruksi. Akibatnya, konstruksi itu menjadi kacau atau rancau artinya. Kontaminasi dalam konstruksi kata, misalnya diperlebarkan, mengenyampingkan, dipelajarkan.
Konstruksi diperlebarkan merupakan hasil pencampuradukan konstruksi diperlebar dan dilebarkan yang masing-masing berarti ‘dibuat menjadi lebih lebar’ dan ‘dibuat menjadi lebar’. Oleh sebab itu, konstruksi diperlebarkan merupakan konstruksi yang salah.
Konstruksi mengenyampingkan  juga dianggap sebagai konstruksi yang salah sebab merupakan hasil pemaduan konstruksi mengesampingkan dan menyampingkan. Yang dikacaukan bukan artinya;  tetapi morfofonemisnya, yaitu meluluhkan bunyi [s] pada bentuk dasar ke samping. Peluluhan seperti itu salah sebab bunyi [s] bukan sebagai bunyi awal bentuk dasar. Bunyi awal bentuk dasar ke samping adalah [k]. oleh sebab itu, bunyi [k] –lah yang diluluhkan apabila bergabung dengan morfem meN-(kan). Jadi, yang benar adalah mengesampingkan.
Bagaimana cara pemecahannya? Tidak ada jalan lain kecuali pemakaian baha Indonesia harus mengetahui konstruksi yang mestinya untuk arti tertentu. Di samping itu, ia harus juga mengetahui konstruksi-konstruksi yang tergolong salah dan mengetahui juga alasannya. Dengan cara itu, ia akan elebih jeli dan cermat menerangkan setiap bentuk kata.

3.    Problem Akibat Unsur Serapan
Adanya unsur bahasa asing yang terserap ke dalam bahasa Indonesia jjuga membuat problem tersendiri. Hal itu terliha pada kekacauan dan keraguan pemakaian bentuk data-data, datum-datum, data, datum; fakta-fakta, faktum-faktum, fakta, faktum; alumni, alumnus, para alumni, para alumnus, dan alumnus. Kita tahu bahwa kata data, datum; fakta, faktum; alumni, alumnu bersal dari bahasa latin, yang masing-masing pasangan kata ‘jamak’ dan ‘tunggal’. Ternyata, dari pasangan itu yang terserap ke dalam bahasa Indonesia hanyalah bentukjamaknya, yaitu data, fakta dan alumni; sedangkan, bentuk tunggalnya, yaitu datum, faktum dan alumnus, tidak tersrerap ke dalam bahasa Indonesia.
Masalah selanjutnya adalah: “Apa bentuk tunggalnya apabila yang terserap hanya bentuk jamaknya?” Bagi orang awam, pertanyaan itu memang logis, tetapi bagi pengamat bahasa pertanyaan itu terasa janggal. Mengapa? Kita tahu bahwa unsur asing yang terserap ke dalam bahasa Indonesia sianggap sebagai satu kesatuan bentuk dan berarti tunggal. Akibatnya, walaupun diserap bentuk jamaknya, setelah terserap ke dalam bahasa Indonesia, ia dianggap sebagai satu kesatuan bentuk dan berarti tunggal. Oleh karena itu, bentuk data, fakta dan alumni dianggap sebagai bentuk tunggal. Dengan demikian, konstruksi data-data, fakta-fakta, dan para alumni, banyak data, dan banyak fakta dianggap benar; sedangkan konstruksi datum-datum, faktum-faktum dan para alumnus dianggap salah.
Sehubungan dengan itu, konstruksi para hadirin, hadirin sekalian, para ulama, para arwah (pahlawan) dianggap benar walaupun dalam bahasa asing (bahasa Arab) bantuk hadirin, ulama, arwah berarti jamak. Bagaimana konstruksi termaktub, menghadiri, mengorganisasi, mengorganisir, memproklamirkan, mendominir, dan melegalisir? (silakan disiasati!)

4.    Problem Akibat Analogi
     Sebagai istilah bahasa, analogi adalah bentukan bahasa dengan menurut contoh yang sudah ada. Gejala analogi ini sangat penting dalam pemakaian bahasa Indonesia  sebab pada dasarnya pemakaian bahasa dalam kalimat, frasa, dan kata yang beranalogi dalam contoh yang sudah ada atau contoh yang sudah diketahuinya. Sebagai contoh, dengan adanya bentuk ketidakadilan, kita dapat membentuk kontruksi ketidakberesan, ketidakbaikan, dan seterusnya; dengan adanya bentuk yang dikesampingkan,  kita membentuk konstruksi dikekenankan, dikemanakan, dikesinikan, dan seterusnya; dengan adanya bentuk pemersatu yang berarti ‘yang mempersatukan’, kita dapat membentuk konstruksi pemerhati ‘yang memperhatikan’; dan, dengan adanya pasangan bentuk penyuruh dan pesuruh, kita dapat membentuk pasangan konstruksi penatar dan petatar, pendaftar, Idan pedaftar.
Masalah berikutnya, dengan adanya gejala analogi ini, adalah banyak pemakai bahasa Indonesia yang salah analogi. Hal itu disebabkan oleh ketidakpahaman pemakaian bahasa Indonesia terhadap bentuk-bentuk yang dicontohkan dan yang dibuatnya. Misalnya, kata pihak menjadi fihak, kata anggota menjadi anggauta, dan kata serapan alternatif dijadikan alternasi.
Kata pihak dijadika fihak didasarkan contoh bahwa bunyi [P] pada unsur serapan dikembalikan ke bunyi aslinya, yaitu [f]. Dengan demikian, kata pikir, paham, dan pasal dapat dikembalikan menjadi fikir, faham, dan fasal. Pengembalian yang terakhir ini benar sebab kata pikir, paham, dan pasal berasal dari bahasa Arab. Kata pihak disangkanya juga berasal dari bahasa Arab sehingga juga dikembalikan menjadi fihak. Padahal, kata pihak bukan berasal daribahasa Arab, tetapi berasal dari bahasa Indonesia asli. Oleh sebab itu, kata fihak dianggap sebagai analogi secara salah. Dengan demikian, kata pihak-lah yang benar.
Begitu juga dengan kata anggota yang dijadikan anggauta. Orang menganggap bahwa anggota sebagai hasil sandi kata anggauta sebagaimana kata topan dan tobat sebagai hasil sandi dari kata taufan dan taubat. Padahal ia tidak demikian. Kata anggota bukan sebagai hasil sandi kata anggauta, tetapi kata itu memang asli. Oleh sebab itu, kata anggauta dianggap sebagai hasil analogi yang salah, yang benar adalah anggota.
Kata serapanpun ada juga yang dianalogikan secara dalah. Kata alternatif dijadikan alternasi sebagai hasil analogi yang yang salah terhadap bentuk produktif dan produksi; kompetitif dan kompetisi; edukatif dan edukasi. Bentuk yang berakhiran –if biasanya berkelas kata sifat, sedangkan yang berakhit dengan –si biasanya berkelas kata benda. Dia juga mengira bahwa bentuk alternatif berkelas kata sifat karena berkahiran –if, sehinggan apabila dibentuk menjadi kata benda akan menjadi alternasi. Padahal, tidak demikian. Kata alternatif, yang berarti pilihan, sudah berkelas kata benda. Oleh sebab itu, tidak perlu dibendakan menjadi allternasi. Dengan demikian, pemakaian kata alternatif pada kalimat. Untuk mengatasi persoalan itu diperlukan sejumlah alternatif teknik. Adalah benar.

5.    Problema Akibat Perlakuan Kluster
Kluster atau konsonan rangkap mengundang problema tersendiri dalam pembentukan kata baha Indonesia. Hal ini disebabkan bahwa kata bahasa Indonesia asli tidak mengenal kluster. Kata yang berkluster (yang dipakai dalam bahasa Indonesia) sel itu besrasal dari unsur serapan, misalnya program, proklamasi, prakarsa, traktir, transfer, transkripsi, sponsor; standar, skala; klasifikasi, kritik, kronologi. Kata-kata ini, apabila dibentuk dengan afiks yang bernasal, misalnya {meN-(kan/i)} dan {peN-(an)}, akan menimbulkan problem: “Apakah konsonan awalnya diluluhkan sebagaimana konsep k, p, t, s dalam bahasa Indonesia asli”
Manakah yang benar dari deretan berikut ini?
I                                                           II
memprogramkan                                 memrogramkan
pemrograman                                      pemrograman
memproklamasikan                             memroklamasikan
pemproklamasian                                pemroklamasian
mentraktir                                            menraktir
pentraktiran                                         penraktiran
mentransfer                                         menransfer
mensponsori                                        menyponsori
menstandarkan                                    menytandarkan

Apabila menurut sistem bahasa Indonesia, kita cenderung memilih/menggunakan deretan II, tetapi, ada beberapa keberatan/kelemahannya, antara lain:
a)    Bentuk serapan di atas berbeda sifatnya dengan bentuk dasar bahasa Indonesia asli, yaitu konsonan rangkap dan tidak (walaupun keduanya berawal dengan konsonan k, p, t, s);
b)   Apabila diluluhkan kemungkinan besar akan menyulitkan penelusuran kembali bentuk aslinya;
c)    Ada beberapa bentuk yang dapat menimbulkan kesalahan-kesalahan arti.
Oleh sebab itu, kita sebaiknya memilih deretan I, yaitu tidak meluluhkan bunyi awal bentuk srapan yang berkluster.

6.    Problem Akibat Proses Morfologis Unsur Serapan
Masalah ini ada kesamaan dengan masalah sebelumnya, yaitu berkenan dengan perlakuan unsur asing. Hanya saja, yyang menjadi tekanan di sini adalah proses morfologisnya.
Kita tahu bahwa hampir semua bentuk serapan dalam bahasa Indonesai dapat dibentuk dengan penambahan afiks atau pengulangan. Yang menjadi pertanyaan adalah: “Apakah semua bentuk serapan mengikuti sistem pembentukan kata yang selama ini diterapkan dalam bentuk-bentuk bahasa Indonesai asli?”. Masalah itu timbul karena selama ini terdapat persaingan pemakaian pasangan konstruksi, misalnya menterjemahkan, dan menerjemahkan, mensuplai, dan menyuplai, memparkir, dan memarkir. Mana yang benar? Konstruksi yang telah diasimilasikan ataukah yang tidak diasimilasikan?
Sebelum menjawab persoalan itu kiranya perlu diketahui sifat atau kondisi bentuk serapan. Pada dasarnya, bentuk serapan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: (1) bentuk serapan yang sudah lama menjadi bahasa Indonesia sehingga sudah tidak terasa lagi keasingannya, dan (2) bentuk serapan yang masih baru dan masih terasa keasingannya. Bentuk serapan kelompok pertama dapat diperlakukan secara penuh mengikuti sistem bahasa Indonesia, termasuk proses morfologinya; sedangkan, kelompok kedua belum dapat diperlakukan secara utuh mengikuti sistem bahasa Indonesia. Berdasarkan rambu-rambu ini kiranya kita dapat menyikapi apakah bentuk terjemah sudah lama diserap kedalam bahasa Indonesia atau belum. Kalau sudah lama, berarti bentuk serapan itu patut diperlakukan secara penuh mengikuti sistem bahasa Indonesia. Dengan demikian, apabila bentuk terjemahan digabung dengan {meN-kan} akan menjadi menerjemahkan sebab, berdasarkan bahasa Indonesia, fonem /p/ yang mengawali bentuk dasar akan luluh apabila bergabung afiks {meN-(kan-i)} dan {peN-(an)}. Bagaimana dengan bentuk suplai, parker, dan kalkulasi?

7.    Problema Akibat Perlakuan Bentuk Majemuk
Problem morfologis tarakhir yang berhasi dicatat di sini adalah problema akibat perlakuan bentuk majemuk. Problema itu terlihat pada persaingan pemakaian bentuk pertanggungjawaban dan pertanggungan jawab, kewarganegaraan dan kewagaan negara. Dari contoh itu terlihat dua perlakuan bentuk majemuk, yaitu bentuk majemuk yang unsur unsurnya sebagai satu kesatuan, dan bentuk majemuk dan unsur-unsurnya dianggap renggang. Pendapat pertama menganggap unsur-unsur bentuk tanggung jawab, warga negara padu sehingga tidak disisipi bentuk lain di antaranya. Apabila ditempeli awalan atau akhiran, misalnya, itu harus diletakkan di awal unsur pertama atau akhir unsur kedua.

Mana yang tepat dari kedua itu? Kita tahu bahwa suatu bentuk dikatakan bentuk majemukapabila unsur-unsurnya pekat dan padu. Sebaliknya, apabila unsur-unsurnya longgar tidak lagi dikatakan sebagai bentuk majemuk, tetapi frasa. Dengan demkian, pendapat pertamalah yang tepat, yaitu pendapat yang memperlakukan unsur-unsur bentuk majemuk sebagai kesatuan.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar