PERUBAHAN
BENTUK MAKNA
Telah
kita maklumi bahwa bahasa, terutama bahasa Indonesia, selalu tumbuh dan
berkembang. Dalam proses pertumbuhan dan perkembangan itu, wajarlah bila selalu
terdapat peristiwa perubahan, terutama perubahan bentuk kata. Pada umumnya,
perubahan bentuk kata itu disebabkan oleh adanya beberapa perubahan bentuk kata
asli karena pertumbuhan dalam bahasa itu sendiri, atau karena memang adanya
perubahan bentuk dari kata-kata pinjaman.
Perubahan-perubahan
bentuk kata apapun kalimat dalam suatu bahasa lazim disebut gejala bahasa. Apa gejala bahasa itu?
Dr. J.S. Badudu dalam bukunya, Pelik-pelik
Bahasa Indonesia (cet. XVIII, 1981, hal 47), menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan gejala bahasa ialah “peristiwa yang menyangkut
bentukan-bentukan kata atau kalimat dengan gejala proses pembentukannya”.
Adapun
macam-macam gejala bahasa dapat diuraikan sebagai berikut.
1.
Analogi
Analogi
merupakan salah satu cara pembentukan kata baru. Dalam suatu bahasa, yang
disedut analogi adalah suatu bentukan bahasa dengan meniru contoh yang sudah
ada. Dalam suatu bahasa yang sedang tumbuh dan berkembang, pembentukan
kata-kata baru (analogi) sangat penting sebab bentukan kata baru dapat
memperkaya pembendaharaan bahasa.
Kita
sering mendengan ataupun membaca kata-kata seperti dewi-dewi, putra-putri. Kedua bentuk kata itu terdapat perbedaan
fonem, yaitu fonem /a/ dan /i/ pada akhir kata. Fonem /a/ dan /i/ mempunyai
fungsi menyatakan perbedaan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Karena
bentukan-bentukan seperti itulah, dalam bahasa Indonesia terdapat bentukan
baru, misalnya berikut ini.
Menyatakan laki-laki
|
Menyatakan perempuan
|
Saudara /a/
Pemuda /a/
Siswa /a/
Mahasiswa /a/
|
Saudari /i/
Pemudi /i/
Siswi /i/
Mahasiswi /i/
|
Selain
bentukan bentuk baru seperti di atas, ada pula deretan yang sudah lama kita
jumpai, misalnya: sastrawan, hartawan,
wartawan, rupawan, dan bangsawan. Dari bentukan-bentukan itu, timbul pula
bentukan-bentukan seperti: olahragawan,
olahragawati; negarawan, negarawati; sosiawan, sosiawati; dan karyawan,
karyawati. Fonem /a/ dan /i/ pada bentukan kata si atas tidak ubahnya
berfungsi menyatakan perbedaan jenis kelamin.
Di
samping bentukan-bentukan baru yang menyatakan perbedaan jenis kelamin,
terdapat bentukan yang dibentuk dari kata-kata asli, misalnya bentuk-bentuk
seperti: sosialisme, sosialis, dan hedonisme. Analog dengan itu,
terbentuklah kata-kata seperti marhaenisme,
marhaenis, pancasialis (Gorys keraf, 1980: 133).
2.
Adaptasi
Dalam
perkembangannya, bahasa Indonesia selalu dipengaruhi oleh bahasa-bahasa asing
dan bahasa-bahasa daerah. Dari pengaruh itu bahasa Indonesia diperkaya oleh
kata-kata asing dan daerah untuk melengkapi perkembangannya. Kata-kata yang
diambil dari bahasa asing selalu mengalami penyesuaian (adaptasi) dengan
penerimaan pendengaran, ucapan lidah bangsa pemakai bahasa yang dimasukinya,
dan struktur bahasa. Oleh sebab itu, yang disebut adaptasi adalah
perubahanbunyi dan struktur bahasa asing menjadi bunyi dan struktur yang sesuai
dengan penerimaan pendengaran atau ucapan lidah bangsa pemakai bahasa yang
dimasukinya.
Adaptasi
atau penyesuaian dapat dibedakan menjadi dua, yaitu adaptasi fonologis dan
adaptasi morfologis.
a)
Adaptasi
fonologis adalah penyesuaian perubahan bunyi
bahasa asing menjadi bunyi yang sesuai dengan ucapan lidah bangsa pemakai
bahasa yang dimasukinya. Adaptasi ini
menekankan pada lafal bunyi, misalnya.
Bahasa
asing atau daerah
|
Bahasa
yang dimasukinya
|
Zonder
(Belanda)
Fadhuli
(Arab)
Zaal
(Belanda)
Dhahir
(Arab)
Voorsehot
(Belanda)
Vooloper
(Belanda)
Chauffeur
(Belanda)
Vacantie
(belanda)
|
Sonder
Peduli
Sal
lahir
Persekot
Pelopor
Sopir
pakansi
|
b)
Adaptasi
morfologis adalah penyasuaian struktur bentuk
kata. Tentu saja, perubahan struktur bentuk kata ini pasti berpengaruh pada
perubahan bunyi, misalnya berikut ini.
Bahasa
asing
|
Bahasa
yang dimasukinya
|
Schildwacht
(Belanda)
Parameswari
(Sansekerta)
Prahara
(sansakerta)
|
Sekilwak
Permaisuri
perkara
|
3.
Kontaminasi
Dalam
bahasa Indonesia, kontaminasi sama
dengan keracunan. Kata rancu berarti ‘campur aduk’, ‘kacau’.
Dalam bidang bahasa, kata rancu (keracunan) dipakai sebagai istilah yang
berkaitan dengan pencampuran dua unsur bahasa (inmuhan, kata, frasa, atau
kalimat) yang tidak wajar. Ketidakwajaran yang menunjukkan bentuk rancu itu
(khususnya bentukan kata) dapat diuraikan sebagai berikut.
Perhatikan
kata-kata berikut.
1) dinasionalisirkan,
2) diplubisirkan!
Pada contoh di atas, kita melihat
kerancuan akhiran {-ir} (Belanda) dengan akhiran {-kan}. Baik akhiran {-ir}
maupun {-kan} berfungsi membentuk kata kerja. Pada bentuk rancu dinasionalisirkan dan dipublisirkan, terjadi duakali proses
pembentukan kata kerja itu; pertama, dengan akhiran {-ir}, dan kedua, dengan
akhiran {-kan}. Hal tersebut tentunya tidak wajar. Bentuk kata kerja diatas
dalam pemakaian bahasa Indonesia bersaing dengan kata-kata dinasioalisasikan dan dipublikasikan,
yang hanya terjadi satu kali proses pembentukannya, yaitu dari kata benda nasional, dan kata benda publikasi. Peristiwa di atas disebut kontaminasi bentuk kata. Contoh lain: direalisasikan, dipertinggikan,
diperluaskan, dll.
4.
Hiperkorek
Gejala
hiperkorek merupakan proses bentukan betul
di balik betul. Maksudnya, sesuatu yang sudah betul dibetulkan lagi, yang
akhirnya malah menjadisalah.
Gejala
hiperkorek dapat kita perhatikan dalam uraian berikut:
a) Fonem
/s/ menjadi /sy/;
Sehat
menjadi syehat;
Insaf
menjadi insyaf;
Saraf menjadi syaraf;
b) Fonem
/h/ menjadi /kh/:
Ahli
menjadi akhli;
Hewan
menjadi khewan;
Rahim
menjadi rakhim;
c) Fonem
/p/ menjadi /f/:
Pasal
menjadi fasal;
Paham
menjadi famah;
d) Fonem
/j/ menjadi /z/:
Ijazah
menjadi izazah;
Jenazah
menjadi zenazah;
Gejala hiperkorek ini juga melanda
ragam bahasa pergaulan remaja kita. Misalnya kofi, mefet, padahal semestinya kopi,
mepet.
5.
Varian
Gejala
varian sering kita jumpai dalam ceramah dan pembicaraan resmi. Vocal /a/ pada
sufiks –kan menjadi /ə/. Misalnya:
direncakan menjadi direncanaken
digalakkan menjadi digalakkaen;
diambilkan menjadi diambilken;
membacakan menjadi membacaken;
membanggakan menjadi membaggaken;
berdasarkan menjadi berdasarken;
dan lain-lain.
6.
Asimiliasi
Gejala
asimiliasi berarti proses penyamaan atau penghampirsamaan bunyi yang tidak
sama. Misalnya
alsalam
> assalam > asalam;
inmoral
> immoral > imoral;
mertua
> mentua.
7.
Desimiliasi
Desimiliasi
adalah proses berubahnya dua buah fonem yang sama menjadi tidak sama. Misalnya:
vanantara
(sansekerta) > belantara;
citta
(sansekerta) > cipta;
sajjana
(sansekerta) > sarjana;
rapport
(Belanda) > lapor;
lalita
(sansekerta) > jelita;
lauk-lauk
>
lauk-pauk.
8.
Adisi
Gejala
adisi adalah perubahan yang terjadi dalam suatu tuturan yang ditandai oleh
penambahan fonem. Gejala adisi dapat dibedakan atas: protesis, epentesis, dan
paragog.
a) Protesis
ialah penambahan fonem pada awal kata. Contoh:
lang
> elang;
mas
> emas;
stri
> istri;
smara > asmara.
b) Epentesis
ialah proses penambahan suatu fonem di tengah kata. Contoh:
general
> jenderal;
gopala
>
gembala;
racana >
rencana;
upama >
umpama;
kapak >
kampak.
c) Paragog
ialah proses penambahan fonem pada akhir kata. Contohnya:
lamp >
lampu
hulubala >
hulubalang;
ina >
inang;
adi >
adik
boek >
buku.
9.
Reduksi
Gejala
reduksi adalah peristiwa pengurangan fonem dalam suatukata. Gejala reduksi
dapat dibedakan atas: aferesis, sinkop. Apokop.
a) Afersia
ialah proses penghilangan fonem pada awal kata, contoh:
upawasa > puasa;
velocipede > sepeda;
telentang >
tentang;
tahtapi >
tetapi > tapi;
adhayaksa > jaksa.
b) Sinkop
ialah penghilangan fonem di tengah-tengah kata. Contohn:
utpati
>
upeti;
listuhayu >
lituhayu;
sahaya >
saya.
c) Apokop
ialah proses penghilangan fonem pada akhir kata. Contoh:
pelangit >
pelangi;
possesiva >
posesif;
import >
impor;
mpulaut >
pulau.
10. Metatesis
Metatesis
suatu pertukaran, adalah perubahan kata yang fonem-fonemnya bertukar tempatnya.
Contoh:
rontal > lontar;
beting > tebing;
kelikir > kerikil;
banteras
> berantas;
almari > lemari;
apus >
usap – sapu.
11. Diftongisasi
Diftongisasi
adalah perubahan suatu menodtong menjadi diftong. Contoh:
sodara > saudara;
suro >
surau;
pete >
petai;
polu >
pulau;
12. Monoftongisasi
Monoftongisasi
adalah proses perubahan suatu diftong menjadi monoftong. Contoh:
gurau > guro;
bakau > bako;
sungai > sunge;
tunai >
tune.
13. Gejala Anaptiksis
Anaptikis
adalah proses penambahan suatu bunyi dalam suatu kata guna melancarkan
ucapannya. Contoh:
putra > putera;
putri > puteri;
candra > candera;
srigala > serigala.
14. Haplologi
Haplologi
adalah proses penghilangan suku kata yang ada di tengah-tengah kata. Contoh:
samanantara > sementara;
mahardhika > merdeka;
budhidaya > budidaya.
15. Kontraksi
Kontraksi
adalah gejala yang memperlihatkan adanya satu atau lebih fonem yang
dihilangkan. Kadang-kadang, ada perubahan atau penggantian fonem. Contoh:
perlahan-lahan > pelan-pelan;
bahagianda > baginda;
tidak
ada > tiada;
Tapian
na uli > Tapanuli.
PROBLEMA
MORFOLOGIS DALAM
BAHASA
INDONESIA
Setiap
bahasa, ternasuk bahasa Indonesia, walaupun dikatakan mempunyai sistem, dalam
pemakaiannya selalu timbul masalah-masalah, baik masalah yang berhubungan
dengan bunyi, bentuk kata, penulisan, maupun pemakian kalimat. Hal itu
disebabkan oleh sifat bahasa yang selalu berkembang dalam perkembangan pikiran
dan budaya pemakai bahasa yang bersangkutan. Oleh sebab itu, timbulnya masalah
kebahasaan pada bahasa tertentu, misalnya dalam bahasa Indonesia tidak berarti
bahasa itu kurang maju, kurang mapan, dan sebagainya.
Pemakaian
kata dalam bahasa Indonesia juga menimbulkan problema-problema. Setelah
dikelompokkan, paling tidak ada tujuh problema, yaitu (1) problema akibat
bentukan baru, (2) problema akibat kontaminasi, (3) problema akibat adanya
unsur serapan, (4) problema akibat analisis, (5) problema akibat perlakuan
kluster, (6) problema akibat proses morfologis bentuk serapan, dan (7) problema
akibat perlakuan bentuk msjemuk. Berturut-turut, jenis problema di atas
dibicarakan berikut ini.
1.
Problema
Akibat Bentukan Baru
Pada
akhir-akhir ini, banyak sekali bentukan baru sebagai hasil kreasi pemakaian
bahasa Indonesia. Misalnya bentukan memberhentikan,
memberlakukan, keberhasilan, keterbelakangan, dikesanakan, dikekirikan,
turinisasi, lelenisasi, duniawi, dan badani,
misalnya dalam kalimat:
1)
Direktur CV “Marga”
telah memberhentikan karyawannya.
2)
Apakah Saudara tidak
tahu bahwa Pak Ketua RT telah memberlakukan
keputusan rapat warga minggu lalu?
3)
Keberhasilan yang Anda capai selama ini harus Anda
pertahankan.
4)
kita harus belajar giat
agar keterbelakangan kita tidak
terulang.
5)
Agar tidak semrawut,
barang-barang ini perlu dikesanakan.
6)
Supaya lapang, letak
tiang ini sebaiknya dikekirikan saja.
7)
Program turinisasi di daerah Probolinggo telah
berhasil.
8)
Program lelenisasi sangat tepat dilaksanakan di daerah-daerah
rawa.
9)
Sebagai manusia sosial,
kita harus manusiawi terhadap sesama.
10)
Menurut cerita, barang siapa minum air surgawi akan awet muda.
Bentuk
memberhentikan dan memberlakukan tergolong bentuk baru yang
berkontruksi demikian (yaitu prefiks + prefiks
+ bentuk dasar + sufiks) sebelumnya tidak dikemukakan. Dari kenyataan itu, lalu
timbul pertanyaan: “Apakah dibenarkan suatu kontruksiyang dibentuk dengan dua
prefiks?”. Pertanyaan itu akibat ketidaktahuannya atas proses pembentukan
konstruksi di atas. Konstruksi itu memang terdiri atas empat morfem, tetapi
pembentukannya tidak secaraq serentak. Kontruksi itu dibentuk secara bertahap.
Pertama, konstruksi itu dibentuk dari gabungan –ber dan henti. Lalu,
konstruksi berhenti dibentuk dengan
penambahan meN- dan _kan (sebagai simulfiks), sehingga
berkontruksi memberhentikan. Begitu
juga konstruksi memberlakukan. Pertama-tama,
kontruksi itu dibentuk dari ber- dan laku. Dari bentuk berlaku, dibentuklah memberlakukan,
dengan menambahkan meN- dan –kan (sebagai simulfiks). Kalau
divisualkan, itu terlihat pada diagram berikut.


Dari
diagram itu juga trlihat bahwa bentuk dasar konstruksi memberhentikan adalah berhenti,
sedangkan bentuk dasar konstruksi memberlakukan
adalah berlaku, dan bukan henti dan laku. Bentuk henti dan laku adalah asal dari konstruksi itu.
Dengan demikian, walaupun konstruksi itu terdapat dua prefiks, konstruksi itu
tetap dibenarkan selain menghentikan dan memberlakukan. Begitu juga diberhentikan, diberlakukan, dimengerti,
diberangkatkan, dan sebagainya.
Bagaimana
dengan konstruksi keberhasilan dan keterbelakangan? Proses pembentukan
konstruksi ini sama dengan proses pembentukan konstruksi memberhentikan, yaitu secara bertahap. Dengan demikian, bentuk
dasarnya adalah berhasil dan terbelakang, bukan hasil dan belakang.
Konstruksi
dikesanakan dan dikekirikan merupakan bentuk baru sebagai hasil dari analogi bentuk
dikemukakan dan dikesampingkan.
Konstruksi ini berbentu frasa, yaitu ke
sana, ke kiri, ke samping, dan kemuka.
Konstruksi ini dibenarkan sebab bentuk dasar tidak selalu monomorfemis, tetapi
ada yang polimorfemis, bisa dua morfem, tiga morfem, empat morfem, dan
sebagainya. Begitu juga bentuk dasar dari suatu konstruksi dapat berbentuk
morfem terikat, morfem bebas, baik kata maurun frasa. (Sebagai pengecekan,
silakan diteliti kata-kata yang telah mengalami proses morfologis!)
Konstruksi
turinisasi dan lelenisasi juga merupakan bentuk baru sebagai akibat perlakuan
afiks asing dalam proses morfologis bahasa Indonesia. Kita tahu bahwa afiks –(n)siasi berasal bahasa Inggris
“-(n)ization”. Bentuk afiks ini apabila menempel pada bentuk dasar bahasa yang
bersangkutan, misalnya modernisasi (modernization),
standarisasi (standardization), mekanisasi (mechanization), berarti hal
yang berhubungan dengan bentuk dasarnyayang berfungsi pembedaan secara abstrak.
Setelah terserap kedalam bahasa Indonesia, afiks –(n)isasi dicoba digabungkan
dengan kata dasar bahasa Indonesia untuk arti dan fungsi yang sama, misalnya
dengan bentuk dasar turi, lele,
pompanisasi. Bahkan, tidak menutup kemungkinan apabila timbulkonstruksi
baru selain ketiga konstruksi di atas.
Konstruksi
ini yang tergolong bentukan baru adalah konstruksi manusiawi dan surgawi. Konstruksi itu mengalami proses
morfologis dengan jalan menambahkan morfem afiks –wi pada bentukan manusia dan
surga. Kita tahu bahwa morfem afiks –wi (atau –i apabila bentuk dasarnya
bereakhir dengan konsonan) berasal dari bahasa Arab, sedangkan bentuk manusia
dan surga bukan dari bahasa Arab.
Konstruksi yang bentuk dasarnya berasal dari bahasa Arab ialah duniawi, ukhrawi, insane, dan alami (yang masing-masing diadaptasi
dari “diniyawiyyun”, “ukhrawiyyun”, “insaniyyun”, dan “alamiyyun”).
Ternyata
akhiran –wi (-i) yang berasal dari bahasa Arab itu setelah terserap ke dalam
bahasa Indonesia diperlakukan sebagai afiks baha Indonesia. Oleh karena itu,
afiks –wi (-i) sekarang mampu bergandeng dengan bentuk dasar selain bahasa
aslinya (bahasa Arab) sebagaiman contoh di atas. Sehubungan dengan itu, yang
perlu diperhatikan adalah perbedaan pemakaian afiks –wi dan –i. Afiks –wi
dipakai pada bentuk dasar yang berakhiran dengan vocal, sedangkan afiks –i
dipakai pada bentuk dasar yang akhiran dengan konsonan. Oleh sebab itu,
konstruksi gerejani dianggap sebagai
konstruksi yang salahsebab afisk –ni tidak ada.
Konstruksi itu diduga sebagai hasil analogi yang salah terhadap bentuk badani, insani.
2.
Problem
Akibat Kontaminasi
Kontamisasi
merupakan gejala bahasa yang mengacaukan konstruksi kebahasaan, dua konstruksi,
yaitu mestinya harus berdiri sendiri, dipadukan menjadi satu konstruksi.
Akibatnya, konstruksi itu menjadi kacau atau rancau artinya. Kontaminasi dalam
konstruksi kata, misalnya diperlebarkan,
mengenyampingkan, dipelajarkan.
Konstruksi
diperlebarkan merupakan hasil
pencampuradukan konstruksi diperlebar dan
dilebarkan yang masing-masing berarti
‘dibuat menjadi lebih lebar’ dan ‘dibuat menjadi lebar’. Oleh sebab itu,
konstruksi diperlebarkan merupakan
konstruksi yang salah.
Konstruksi
mengenyampingkan juga dianggap sebagai konstruksi yang salah
sebab merupakan hasil pemaduan konstruksi mengesampingkan
dan menyampingkan. Yang
dikacaukan bukan artinya; tetapi
morfofonemisnya, yaitu meluluhkan bunyi [s] pada bentuk dasar ke samping. Peluluhan seperti itu salah
sebab bunyi [s] bukan sebagai bunyi awal bentuk dasar. Bunyi awal bentuk dasar ke samping adalah [k]. oleh sebab itu,
bunyi [k] –lah yang diluluhkan apabila bergabung dengan morfem meN-(kan). Jadi,
yang benar adalah mengesampingkan.
Bagaimana
cara pemecahannya? Tidak ada jalan lain kecuali pemakaian baha Indonesia harus
mengetahui konstruksi yang mestinya untuk arti tertentu. Di samping itu, ia
harus juga mengetahui konstruksi-konstruksi yang tergolong salah dan mengetahui
juga alasannya. Dengan cara itu, ia akan elebih jeli dan cermat menerangkan
setiap bentuk kata.
3.
Problem
Akibat Unsur Serapan
Adanya
unsur bahasa asing yang terserap ke dalam bahasa Indonesia jjuga membuat
problem tersendiri. Hal itu terliha pada kekacauan dan keraguan pemakaian
bentuk data-data, datum-datum, data,
datum; fakta-fakta, faktum-faktum, fakta, faktum; alumni, alumnus, para alumni,
para alumnus, dan alumnus. Kita tahu bahwa kata data, datum; fakta, faktum; alumni, alumnu bersal dari bahasa
latin, yang masing-masing pasangan kata ‘jamak’ dan ‘tunggal’. Ternyata, dari
pasangan itu yang terserap ke dalam bahasa Indonesia hanyalah bentukjamaknya,
yaitu data, fakta dan alumni; sedangkan,
bentuk tunggalnya, yaitu datum, faktum
dan alumnus, tidak tersrerap ke dalam bahasa Indonesia.
Masalah
selanjutnya adalah: “Apa bentuk tunggalnya apabila yang terserap hanya bentuk
jamaknya?” Bagi orang awam, pertanyaan itu memang logis, tetapi bagi pengamat
bahasa pertanyaan itu terasa janggal. Mengapa? Kita tahu bahwa unsur asing yang
terserap ke dalam bahasa Indonesia sianggap sebagai satu kesatuan bentuk dan
berarti tunggal. Akibatnya, walaupun diserap bentuk jamaknya, setelah terserap
ke dalam bahasa Indonesia, ia dianggap sebagai satu kesatuan bentuk dan berarti
tunggal. Oleh karena itu, bentuk data,
fakta dan alumni dianggap sebagai bentuk tunggal. Dengan demikian,
konstruksi data-data, fakta-fakta, dan
para alumni, banyak data, dan banyak fakta dianggap benar; sedangkan
konstruksi datum-datum, faktum-faktum dan
para alumnus dianggap salah.
Sehubungan
dengan itu, konstruksi para hadirin,
hadirin sekalian, para ulama, para arwah (pahlawan) dianggap benar walaupun
dalam bahasa asing (bahasa Arab) bantuk hadirin,
ulama, arwah berarti jamak. Bagaimana konstruksi termaktub, menghadiri, mengorganisasi, mengorganisir, memproklamirkan,
mendominir, dan melegalisir? (silakan disiasati!)
4.
Problem
Akibat Analogi
Sebagai
istilah bahasa, analogi adalah bentukan bahasa dengan menurut contoh yang sudah
ada. Gejala analogi ini sangat penting dalam pemakaian bahasa Indonesia sebab pada dasarnya pemakaian bahasa dalam
kalimat, frasa, dan kata yang beranalogi dalam contoh yang sudah ada atau
contoh yang sudah diketahuinya. Sebagai contoh, dengan adanya bentuk ketidakadilan, kita dapat membentuk
kontruksi ketidakberesan, ketidakbaikan, dan
seterusnya; dengan adanya bentuk yang dikesampingkan,
kita membentuk konstruksi dikekenankan, dikemanakan, dikesinikan, dan
seterusnya; dengan adanya bentuk pemersatu
yang berarti ‘yang mempersatukan’, kita dapat membentuk konstruksi pemerhati ‘yang memperhatikan’; dan,
dengan adanya pasangan bentuk penyuruh dan
pesuruh, kita dapat membentuk
pasangan konstruksi penatar dan petatar, pendaftar, Idan pedaftar.
Masalah
berikutnya, dengan adanya gejala analogi ini, adalah banyak pemakai bahasa
Indonesia yang salah analogi. Hal itu disebabkan oleh ketidakpahaman pemakaian
bahasa Indonesia terhadap bentuk-bentuk yang dicontohkan dan yang dibuatnya.
Misalnya, kata pihak menjadi fihak, kata anggota menjadi anggauta, dan
kata serapan alternatif dijadikan alternasi.
Kata
pihak dijadika fihak didasarkan contoh bahwa bunyi [P] pada unsur serapan
dikembalikan ke bunyi aslinya, yaitu [f]. Dengan demikian, kata pikir, paham, dan pasal dapat
dikembalikan menjadi fikir, faham, dan fasal. Pengembalian yang terakhir ini benar sebab kata pikir, paham, dan pasal berasal
dari bahasa Arab. Kata pihak disangkanya juga berasal dari bahasa Arab sehingga
juga dikembalikan menjadi fihak.
Padahal, kata pihak bukan berasal
daribahasa Arab, tetapi berasal dari bahasa Indonesia asli. Oleh sebab itu,
kata fihak dianggap sebagai analogi
secara salah. Dengan demikian, kata pihak-lah
yang benar.
Begitu
juga dengan kata anggota yang
dijadikan anggauta. Orang menganggap
bahwa anggota sebagai hasil sandi
kata anggauta sebagaimana kata topan dan tobat sebagai hasil sandi dari kata taufan dan taubat.
Padahal ia tidak demikian. Kata anggota
bukan sebagai hasil sandi kata anggauta,
tetapi kata itu memang asli. Oleh sebab itu, kata anggauta dianggap sebagai hasil analogi yang salah, yang benar
adalah anggota.
Kata
serapanpun ada juga yang dianalogikan secara dalah. Kata alternatif dijadikan alternasi
sebagai hasil analogi yang yang salah terhadap bentuk produktif dan produksi; kompetitif dan kompetisi; edukatif dan edukasi. Bentuk yang berakhiran –if biasanya berkelas kata sifat,
sedangkan yang berakhit dengan –si
biasanya berkelas kata benda. Dia juga mengira bahwa bentuk alternatif berkelas kata sifat karena
berkahiran –if, sehinggan apabila
dibentuk menjadi kata benda akan menjadi alternasi.
Padahal, tidak demikian. Kata alternatif,
yang berarti pilihan, sudah berkelas kata benda. Oleh sebab itu, tidak perlu
dibendakan menjadi allternasi. Dengan
demikian, pemakaian kata alternatif
pada kalimat. Untuk mengatasi persoalan
itu diperlukan sejumlah alternatif teknik. Adalah benar.
5.
Problema
Akibat Perlakuan Kluster
Kluster
atau konsonan rangkap mengundang problema tersendiri dalam pembentukan kata
baha Indonesia. Hal ini disebabkan bahwa kata bahasa Indonesia asli tidak
mengenal kluster. Kata yang berkluster (yang dipakai dalam bahasa Indonesia)
sel itu besrasal dari unsur serapan, misalnya program, proklamasi, prakarsa, traktir, transfer, transkripsi, sponsor;
standar, skala; klasifikasi, kritik, kronologi. Kata-kata ini, apabila
dibentuk dengan afiks yang bernasal, misalnya {meN-(kan/i)} dan {peN-(an)},
akan menimbulkan problem: “Apakah konsonan awalnya diluluhkan sebagaimana
konsep k, p, t, s dalam bahasa Indonesia asli”
Manakah yang benar dari deretan
berikut ini?
I II
memprogramkan memrogramkan
pemrograman pemrograman
memproklamasikan memroklamasikan
pemproklamasian pemroklamasian
mentraktir menraktir
pentraktiran penraktiran
mentransfer menransfer
mensponsori menyponsori
menstandarkan menytandarkan
Apabila menurut sistem bahasa
Indonesia, kita cenderung memilih/menggunakan deretan II, tetapi, ada beberapa
keberatan/kelemahannya, antara lain:
a) Bentuk
serapan di atas berbeda sifatnya dengan bentuk dasar bahasa Indonesia asli,
yaitu konsonan rangkap dan tidak (walaupun keduanya berawal dengan konsonan k,
p, t, s);
b) Apabila
diluluhkan kemungkinan besar akan menyulitkan penelusuran kembali bentuk
aslinya;
c) Ada
beberapa bentuk yang dapat menimbulkan kesalahan-kesalahan arti.
Oleh sebab itu, kita sebaiknya
memilih deretan I, yaitu tidak meluluhkan bunyi awal bentuk srapan yang
berkluster.
6.
Problem
Akibat Proses Morfologis Unsur Serapan
Masalah
ini ada kesamaan dengan masalah sebelumnya, yaitu berkenan dengan perlakuan
unsur asing. Hanya saja, yyang menjadi tekanan di sini adalah proses
morfologisnya.
Kita
tahu bahwa hampir semua bentuk serapan dalam bahasa Indonesai dapat dibentuk
dengan penambahan afiks atau pengulangan. Yang menjadi pertanyaan adalah:
“Apakah semua bentuk serapan mengikuti sistem pembentukan kata yang selama ini
diterapkan dalam bentuk-bentuk bahasa Indonesai asli?”. Masalah itu timbul
karena selama ini terdapat persaingan pemakaian pasangan konstruksi, misalnya menterjemahkan, dan menerjemahkan, mensuplai,
dan menyuplai, memparkir, dan memarkir.
Mana yang benar? Konstruksi yang telah diasimilasikan ataukah yang tidak
diasimilasikan?
Sebelum
menjawab persoalan itu kiranya perlu diketahui sifat atau kondisi bentuk
serapan. Pada dasarnya, bentuk serapan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
(1) bentuk serapan yang sudah lama menjadi bahasa Indonesia sehingga sudah
tidak terasa lagi keasingannya, dan (2) bentuk serapan yang masih baru dan
masih terasa keasingannya. Bentuk serapan kelompok pertama dapat diperlakukan
secara penuh mengikuti sistem bahasa Indonesia, termasuk proses morfologinya;
sedangkan, kelompok kedua belum dapat diperlakukan secara utuh mengikuti sistem
bahasa Indonesia. Berdasarkan rambu-rambu ini kiranya kita dapat menyikapi
apakah bentuk terjemah sudah lama diserap kedalam bahasa Indonesia atau belum.
Kalau sudah lama, berarti bentuk serapan itu patut diperlakukan secara penuh
mengikuti sistem bahasa Indonesia. Dengan demikian, apabila bentuk terjemahan digabung dengan {meN-kan} akan
menjadi menerjemahkan sebab,
berdasarkan bahasa Indonesia, fonem /p/ yang mengawali bentuk dasar akan luluh
apabila bergabung afiks {meN-(kan-i)} dan {peN-(an)}. Bagaimana dengan bentuk suplai, parker, dan kalkulasi?
7.
Problema
Akibat Perlakuan Bentuk Majemuk
Problem
morfologis tarakhir yang berhasi dicatat di sini adalah problema akibat
perlakuan bentuk majemuk. Problema itu terlihat pada persaingan pemakaian
bentuk pertanggungjawaban dan pertanggungan jawab, kewarganegaraan
dan kewagaan negara. Dari contoh itu terlihat dua perlakuan bentuk majemuk,
yaitu bentuk majemuk yang unsur unsurnya sebagai satu kesatuan, dan bentuk
majemuk dan unsur-unsurnya dianggap renggang. Pendapat pertama menganggap
unsur-unsur bentuk tanggung jawab, warga negara padu
sehingga tidak disisipi bentuk lain di antaranya. Apabila ditempeli awalan atau
akhiran, misalnya, itu harus diletakkan di awal unsur pertama atau akhir unsur
kedua.
Mana
yang tepat dari kedua itu? Kita tahu bahwa suatu bentuk dikatakan bentuk
majemukapabila unsur-unsurnya pekat dan padu. Sebaliknya, apabila
unsur-unsurnya longgar tidak lagi dikatakan sebagai bentuk majemuk, tetapi
frasa. Dengan demkian, pendapat pertamalah yang tepat, yaitu pendapat yang
memperlakukan unsur-unsur bentuk majemuk sebagai kesatuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar