Minggu, 30 Maret 2014

ANALISIS PSIKOLOGIS TOKOH DALAM NOVEL BELENGGU KARYA ARNIJN PANE

ANALISIS PSIKOLOGIS TOKOH DALAM NOVEL BELENGGU
 KARYA ARNIJN PANE
Mida Hidayatul Aisyiyah (112110109), Sarif Hidayat (112110111),
Endang Widyastuty Pratiwi (112110115), Nurul Hidayati (112110118),
Supri Hartini (122110045), Khusnul Khotimah (122100159)
Kelas IV C
Universitas Muhammadiyah Purworejo

PENDAHULUAN
Armijn Pane adalah seorang sastrawan angkatan Pujangga Baru. Ia juga merupakan salah satu tokoh pendiri majalah Pujangga Baru (1933). Armijn dilahirkan di Muara Sipongi (Sumatera Utara), 18 Agustus 1908 dan meninggal di Jakarta, 16 Februari 1970. Armijn mengenyam pendidikan di HIS dan ELS (Tanjung Balai, Sibolga dan Bukit Tinggi), STOVIA Jakarta (1923), NIAS Surabaya (1927), dan AMS-A Solo (tamat 1931). Armijn Pane adalah seorang romantikus yang suka mengembara dalam jiwanya, melompat, dengan tiada memperdulikan logika dan kausalitet kejadian.
Novel Belenggu karya Armijn Pane merupakan salah satu novel yang termasuk roman psikologis karena menitikberatkan pada analisis jiwa dari masing-masing pelakunya, Belenggu (1940), banyak mengundang perdebatan di kalangan pengamat dan penelaah sastra Indonesia. Pada novelnya yang bertajuk Belenggu itulah ia memperlihatkan gaya romantisme, membangkitkan suasana dan perasaan yang mengalun dan bergantian dalam ritme yang terpola dengan suasana lain yang sendu bahkan cenderung sedih. Dalam novel Belenggu, Armijn Pane sedikit meneceritakan sosok dirinya dalam tokoh Sukartono.
Kelebihan dari novel Belenggu adalah novel yang mengankat potret kehidupan rumah tangga yang tidak harmonis. Tokoh dalam novel itu sama- sama mengedepankan ego sehingga banyak perdebatan yang muncul. Armijn Pane mampu menggambarkan kondisi dan keadaan jiwa para tokoh yang begitu nyawa lewat deskripsi dan dialog – dialog para tokoh di dalam novel.
Berdasarkan kenyataan di atas, penulis tertarik untuk menganalisis sebuah novel yang berjudul Belenggu karya Armijn Pane. Pembahasan tersebut penulis wujudkan dalam sebuah makalah yang berjudul “Analisis Psikologis Novel Belenggu karya Armijn Pane.

TEORI  ANALISIS  PSIKOLOGIS 
            Psikologi sastra merupakan cabang ilmu sastra yang mendekati sastra dari sudut psikologi. Perhatiaanya dapat diarahkan pada pengarang, pembaca, atau kepada teks itu sendiri. Pendekatan psikologi terhadap teks berlangsung secara deskriptif. Ahli psikologi menafsirkan kejiwaan seseorang melalui ucapan – ucapannya dan imajinasinya, demikian juga ahli sastra menafsirkan ungkapan bahasa yang ada di dalam teks (Hartoko dan Rahmanto, 1986 : 126-127).
            Mengenai keterkaitan antara psikologi dengan sastra Wellek dan Werren (Terjemahan Melani Buanta, 1991 : 90) mengatakan psikologi dalam sastra terdapat empat kategori yaitu : studi psikologi pengarang sebagai tipe atau pribadi, studi tipe hukum – hukum psikologi yang diterapkan dalam karya sastra, proses kreatif, dan mempelajari dampak sastra pembaca atau psikologi karya sastra.
            Plato (dalam Dirgagunarsa, 1983 : 13) mengatakan pada manusia terdapat 3 aspek, yaitu : berfikir , kehendak dan keinginan. Ketiga aspek ini memiliki lokalisasi tersendiri di tubuh manusia, berfikir dikatakan memiliki lokalisasi di otak, kehendak memiliki lokalisasi di dada, dan keinginan memiliki lokalisasi di perut. Di dalam istilah plato, berfikir disebut logisicion , kehendak disebut thumeticon , dan keinginan disebut abdomen. Ketiga aspek ini disebut sebagai trichotomi, yang menurut Plato mendasari aktivitas – aktivitas kejiwaan manusia atau dengan perkataan lain semua tingkah laku manusia mempunyai dasar pada ketiga hal tersebut. Sejajar dengan trichotomi.
menurut Plato dalam dunia terdapat tiga kebijaksanaan bila akal menguasai manusia, keberanian bila kehendak menguasai manusia dan penguasaan diri bila keinginan patuh pada akal. Keinginan – keinginan manusia di bentuk oleh dorongan – dorongan jiwa dan pengamatan , sedangkan akal berfungsi mengendalikan setiap keinginan manusia. Proses kejiwaan ini membentuk karakter atau kepribadian manusia.  

Psikologi sastra memandang karya sastra sebagai aktivitas kejiwaan. Pengarang dalam berkarya akan menangkap gejala jiwa dan melengkapi karyanya dalam kejiwaannya. Senada dengan yang diungkapkan oleh Edraswara (2003 :96) bahwa pengalaman pengarang sendiri dan pengalaman hidup dengan lingkungan sekitar terproyeksi ke dalam teks yang dihasilkan pengarang.
Konflik – konflik yang dialami oleh tokoh dan cara – cara penyelesaiannya dapat menjadi petunjuk adanya unsur psikologi dalam sebuah karya sastra.  Konflik – konflik yang dialami tokoh dapat berupa konflik tokoh dengan dirinya sendiri, dengan lingkungan, maupaun antar tokoh. Seperti yang dikemukakan Hardjana (1994:66) bahwa orang dapat mengamati tingkah laku para tokoh dalam karya sastra dengan memanfaatkan pertolongan ilnu psikologi. Ajaran Frued dalam dunia psikologi lazim disebut sebagai psikoanalisis yang menekan pada penyelidikannya pada proses kejiwaan dalam ketidaksadaran. Psikoanalisis dapat diartikan sebagai pemahaman tentang kehidupan psikis yang disadari dalam kaitan yang lebih tinggi dalam kehidupan psikis yang tidak disadari.
Teori psikoanalisis menurut Sigmud Freud terdiri dari tiga aspek, yaitu :
1.      Das Es (the Id)
Id atau aspek biologis dari kepribadian ini adalah aspek yang orisinil. Berfungsi dengan berpegang pada prinsip “kenikmatan”, yaitu mencari keenakan dan menghindarkan diri dari ketidakenakan. (Suryabrata, 1995:104)
Id dan Es adalah Reservior atau wadah dalam jiwa seseorang yang berisikan dorongan – dorongan primitif yang disebabkan primitive drives atau inner forces atau inner urges. Dorongan – dorongan primitif ini merupakan dorongan – dorongan yang menghendaki agar segera dipenuhi atau dilaksanakan. Kalau dorongan ini dipenuhi dengan segera maka tercapai perasaan senang, puas. Salah satu dorongan primitif dalam Id adalah dorongan seksuil yang dikenal dengan libido (Dirgagunarsa, 1983 : 63). Dari pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa Id adalah aspek biologis kepribadian yang berhubungan dengan prinsip kesenangan atau pemuasan dorongan seksual.
2.      Das Ich (the Ego)
Atau aspek psikologis kepribadian ini timbul dari kebutuhan organisasi untuk dapat berhubungan dengan dunia luar secara realistis. Tujuannya masih dalam garis kepentingan organisme , yaitu mendapat keenakan dan menghindarkan dirir dari ketidakenakan , tetapi dalam bentuk dan sesuai kondisi – kondisi dubnia riil. Sesuai dengan kenyataan baik itu kenyataan benda – benda mauapun kenyataan nilai – nilai sosial. (Suryabrata , 1995 : 104)
Firdaus mengatakan ego adalah lapisan psikis yang terbentuk karena hubungan id dengan dunia luar. Ego biasanya mengawal dan menekan dorongan id yang kuat. Sebaian ego yang muncul bersifat sadar , seperti persepsi lahiriah, persepsi batiniah dan proses intelektual. Aktifitas prasadarnya dapat berupa fungsi ingatan. Ego seluruhnya dikuasai oleh prinsip realitas , seperti tampak dalam pemikiran yang objektif, yang sesuai dengan tuntutan sosial dan mengungkapkan melalui bahasa. (1986 : 43).
Dapat disimpulkan bahwa ego  adalah aspek psikilogis dari kepribadian  yang muncul setelah adanya hubungan dengan dunia luar atau lingkungan. Ego bersifat menekan id  yang kuat dalam bentuk aktivitas sadar dan prasadar dengan berpengang pada prinsip kenyataan atau reality principle.
3.      Das Ueber Ich (the superego)
Atau aspek sosiologis kepribadian ini merupakan wakil nilai – nilai tradisional serta cita – cita masyarakat sebagaimana ditafsirkan orangtua kepada anak – anaknya , yang diajarakn (dimasukkan) dengan berbagai perintah dan larangan.  Superego lebih merupakan hal yang “ideal” dari pada hal yang “riil” , lebih merupakan kesempurnaan daripada kesenangan. Oleh karena itu dapat disebut juga dengan aspek moral dari kepribadian.
Berfungsinya Das Ueber Ich (the superego) iti dapat dilihat dalam hubungan dengan ketiga aspek kepribadian , yaitu :
a.       Merintangi implus – implus das Es , terutama implus – implus seksual agresif yang pertanyaannya sangat ditentang oleh masyarakat.
b.      Mendorong das Ich untuk lebih mengejar hal – hal yang moralitas dari pada realitas.
c.       Mengejar kesempurnaan  (Suryabrata , 1995 : 104 – 105)
Firdaus (1986 :84) mengatakan Superego dibentuk dari perintah dan larangan yang datang dari luar (norma, ajaran, orang tuan ) yang diolah sedemikian rupa sehingga terpancar kembali dari diri seseorang. Superego merupakan lapisan menolak sesuatu yang melanggar prinsip norma . Superegolah yang menyebabkan seseorang merasa malu atau memuji sesuatu yang dianggap baik. Aktivitasnya menyatakan rasa bersalah dan rasa menyesal. Sikap seperti observasi diri dan kritik diri berasal dari Superego. Superego merupakan dasar hati nurani yang menyangkut masalah moral.
Dari pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan superego adalah aspek sosiologis kepribadian yang merupakan hal yang “ideal” daripada yang “rill” lebih menekankan kesempurnaan daripada kesenangan. Superego merupakan lapisan yang menolak sesuatu yeng melanggar norma. Superego dapat dikatakan sebagai dasar hati nurani yang erat hubungannya dengan moral.
Kendatipun ketiga aspek itu masing – masing mempunyai fungsi, prinsip kerja, sifat dan dinamika sendiri – sendiri namun, ketiganya berhubungan dengan rapat sehingga tidak dapat memisah – misahkan pengaruhnya terhadap tingkah laku manusia.
Teori yang dikemukakan oleh Sigmund Freud tentang psikoanalisisnya memiliki kelemahan yaitu tidak membicarakan masalah keimanan tetapi hanya terfokus pada tabir mimpi.
Teori Fruet tidak hanya sebatas untuk menganalisis asal usul proses kreatif seorang pengarang.   Namun, seperti halnya psikolog ketika menghadapi pasien untuk mengobati penyakitnya, tidak menguraikan asal usul penyakitnya, meinkan dengan bercakap – cakap dan berdialog sehingga terungkap semua depresi mentalnya, yaitu melalui pernyataan ketidaksadaran bahasanya. Bahasa inilah yang kemudian dianalisis sehingga menghasilkan kesimpula dalam pengobatannya. Hal yang sama juga dilakukan dalam analisis bahasa sebuah karya sastra (Ratna, 2004:62).
Davidoff (1991:19) mengemukakan bahwa teori psikoanalisis adalah satu teori  penelitian Freud mengenai kepribadian, abnormalitas, dan perawatan penderita. Lebih lanjut dijelaskan bahwa Frued (dalam Davidoff, 1991:144) mendasarkan teori kepribadiannya pada dua ide yang sangat mendasar:
1.    Tingkah laku manusia terutama tidak dikuasai oleh akal, tetapi oleh naluri irrasional, naluri menyerang, terutama naluri seks.
2.    Sebagian kecil dari pikiran kegiatan manusia muncul dari proses mental yang disadari dan yang paling besar mempengaruhi tingkah laku manusia adalah ketidaksadaran (suatu tempat penyimpanan keinginan – keinginan dan ingatan) yang tidak pernah timbul mencapai kesadaran atau telah tertekan, yaitu terdorong keluar kesadaran sebab menimbulkan rasa takut dan memalikan dalam diri.
Freud (dalam Kartono, 1990:129) membaedakan beberapa daerah kesadaran dan ketidaksadaran. Pertama, kesadaran yaitu melalui  pengamatan, maka kehidupan psikis itu bisa disadari. Kedua, prakesadaran atau bawah sadar, yaitu berupa isi – isi psikis yang laten dan tanggapan – tanggapan yang tenggelam yang sewaktu – waktu bisa disadari dengan bantuan ingatan, pengamatan atau reproduksi. Ketiga, konteks – kompleks  terdasar, yaitu kompleks terdasar disadari, tetapi akibat – akibatnya tidak nyata. Keempat, ketidaksadaran yaitu ketidaksadaran yang tidak mungkin disadarkan.
Adapun faktor – faktor  penyebab terjadinya perceraian dalam rumah tangga:
1.      Kesetian dan Kepercayaan : Didalam hal ini yang sering kali menjadi pasangan rumah tanggabercerai, dalam hal ini baik pria ataupun wanita sering kalimengabaikan peranan kesetiaan dan kepercayaan yang diberikan pada tiappasangan, hingga timbul sebuah perselingkuhan.
2.      Seks : Didalam melakukan hubungan seks dengan pasangan kerap kali pasangan mengalami tidak puas dalambersetubuh dengan pasangannya, sehingga menimbulkan kejenuhan tiapmelakukan hal tersebut, dan tentunya anda harus mensiasati bagaimanapasangan anda mendapatkan kepuasan setiap melakukan hubungan seks.
3.      Ekonomi : Tingkat kebutuhan ekonomi di jaman sekarang ini memaksa keduapasangan harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga,sehingga seringkali perbedaan dalam pendapatan atau gaji membuat tiappasangan berselisih, terlebih apabila sang suami yang tidak memilikipekerjaan.
4.      Pernikahan Tidak Dilandasi rasa Cinta : Untuk kasus yang satu ini biasanya terjadi karna faktor tuntutanorang tua yang mengharuskan anaknya menikah dengan pasangan yang sudahditentukan, sehingga setelah menjalani bahtera rumah tangga sering kalipasangan tersebut tidak mengalami kecocokan.

ANALISIS PSIKOLOGIS TOKOH DALAM NOVEL BELENGGU
ARYA ARNIJN PANE
Tokoh dr. Sukartono merupakan tokoh sentral cerita ini. Kondisi psikologi Sukartono sangat terlihahat dari setiap alur cerita di dalam novel Belenggu. Di samping itu, tokoh lain, Nyonya Eni atau Rohayah dan Tini juga memiliki kondisi psikologi yang tergambar sangat nyata.
Cerita ini berawal dari pernikahan dr. Sukartono dan Sumartini yang tidak harmonis. Dingin dan penuh dengan ketegangan. Tono dan Tini mengedepankan ego masing-masing dalam berperilaku. Hal ini terlihat pada kutipan cerita berikut.
“Tiba-tiba kedengaran suara mobil berhenti di pekarangan muka. Boleh jadi orang memanggil .... Badannya sudah siap akan berdiri, maka kedengaran langkah isterinya menuju pintu muka. Sukartono memandang kepada halaman bukunya dengan asyiknya. Isterinya sudah hampir disampingnya, sebentar lagi tentu akan terdengar suaranya menabik, duduk di sandaran kerosi .... ah, bukan, dia membelok hendak menuju ke kamar tidur, tiba-tiba perpaling, lalu dibukanya tasnya, kemudian tiba-tiba jautuh terlempar bloc-note ke atas meja di hadapan Sukartono.”
“Sukartono terkejut, memandang ke arah istrinya, tetapi ia sudah berpaling lagi, menuju ke kamar tidur. Menyala-nyala dalam hatinya, hendak terhambur kata marah dari mulutnya.” (Belenggu:19)
Dari kutipan di atas, terlihat jelas ketegangan antara kedua jiwa tokoh suami istri tersebut, yang menjadi titik awal konflik dalam novel Belenggu ini.
Berangkat dari ketidaksadaran mereka berdua atas sebab yang menimbulkan konflik batin di antara mereka, konflik-konflik selanjutnya terus timbul. Sukartono merasa tidak nyaman dengan kondisi rumah yang dingin dan sikap istrinya yang tidak menyenangkan. Hal ini membuat Sukartono selingkung dengan salah satu pasienya (Nyonya Eni yang belakangan diketahui sebagai Rohayah, teman lamanya) yang dapat menentramkan hatinya.
Rohayah merupakan potret wanita idamannya. Terlihat dari sikap Rohayah yang dapat melayani laki-laki sesuai kodratnya. Hal ini terlihat pada kutipan cerita berikut.
“Dokter, tiadakah panas hari ini? Bolehkah saya tanggalkan baju tuan dokter?” Dia tiada menunggu jawaban dokter Sukartono, dengan segera ditanggalkannya. Sesudah disangkutkannya baju itu dia kembali, lalu berlutut dihadapan sukartono, terus ditanggalkannya sepatunya, dipasangkannya sandal yang diambilnya dari bawah kerosi Sukartono.
“Sudah sedia,” katanya dengan senyum simpul.
Kartono merasa seolah-olah tercapai cita-citanya, merasa bahagia di dalam hatinya karena dipelihara demikian. Yang demikian sudah lama dinanti-nantinya. (Belenggu: 33)

Sosok wanita seperti Rohayah lah yang diidam-idamkan Sukartono selama ini untuk mengisi kekosongan jiwanya sebagai seorang laki-laki. Sedangkan istrinya, Tini, seolah menuntut sebuah emansipasi. Keras kepala dan ingin hidup bebas. Hal ini tergambar pada potongan cerita berikut.
“Duduklah Ibu, katakanlah. Nanti saya dengarkan dengan asyik. Diturut tidaknya lain perkara.”
“memang Tini, kita berlainan paham.........”
“Seperti langit dan bumu, Ibu!”
“Aku bukan terlalu kolot.”
Tini tertawa: “Saya yang terlalu modern!”
“Memang, Tini!” Kemudian disambungnya dengan sungguh-sungguh: “kalau di mata kami, tiada baik kalau seorang isteri banyak-banyak keluar malam, tidak ditemani suaminya!” Matanya memandang muka Tini dengan tajam.
Tini melompat berdiri sebagai digigit kalajengking: “Bukankah lakiku juga pergi sendirian? Mengapa aku tiada boleh? Apakah bedanya?” (Belenggu:53)
Padahal Tini bersikap demikian sebagai bentuk protes, karena Tono dalam pandangannya terlalu mementingkan pekerjaan. Jiwanya tersiksa dengan sikap dan tingkah laku suaminya, Tono.
“Ya, tutuplah mulut. Biar istrimu tertunggu-tunggu. Tidakkah dapat ditunda satu patient, buat menjemput isteri?”
Dada Sukartono merasa lega. Bukan karena ketahuan karena dijemput malah.
“Bukan kau bilang, tiada usah dijemput?”
“Siapa bilang? Bukan kau yang mengatakan hendak menjemput aku?”
Tini memandangnya dengan marah.
“Bukan kau diam saja?” kata dokter Sukartono akan  mempertahankan diri.
“Perlulah lagi aku buka mulut? Mestikah aku menyembah-nymebah lagi? Mesti berlutut dimukamu?
Patient, patient, selamanya patient, istrinya terlantar, tidak malu engkau istrimu sendirian pulang?”
Tini masuk ke kamat tidur, pintu ditutupnya keras-keras, kedengaran dikunci dari dalam, sebentar lagi kedengaran badan terempas dalam tempat tidur.
Sukartono terduduk. Malam itu dia tidur di sofa.”
Dari kutipan di atas kita dapat melihat begitu kentalnya konflik psikologis yang menimbulkan konflik nyata di dalam rumah tangga mereka berdua.
Tono dan Tini sebenarnya terbelenggu dengan kondisi jiwa mereka masing-masing. Namun, mereka tidak menyadarinya, mereka terlalu menuntut dengan pesangan masing-masing untuk mengerti kondisi mereka.
Tini sendiri terperangkap pada dua jiwa. Ia ingin menjadi wanita modern yang bebas dengan segala keliaran daya pikirnya. Namun, di sisi lain ia juga ingin menjadi istri sejati yang melayani suami.
“Ratu pesta kata orang. Tini senang mengingatkan waktu itu.
Ratu pesta........ air mukanya menjadi muram, teringat pula akan pesta di rumah Ningsih, sehabis berdansa, jauh malam, ingin hatinya makan angin, keinginan itu terbit dalam hatinya di tengah jalan hendak pulang, dia dibawa.... ah dia melompat dari sofa, pergi mengambil buku. Lalu baring lagi, dicarinya halaman tempat dia berhenti membaca tadi pagi. Dipaksanya perhatiannya kepada bacaan itu saja. .........
Sejurus kemudian hatinya lega. Dimulainya dari membaca. Jangan diketahuinya nanti aku menunggu dia.... pikiranya terhenti sebentar berhadap-hadapan dengan hati kecilnya. Lama benar dia pergi. Di waktu belakangan ini dia seolah-olah rusuh, seolah-olah bimbang. Tiada tetap hat seperti dulu...... Lama benar dia pergi. Di dalah matinya mulai tenang. Sebentar lagi datang. Tergambar dalam hatinya kartono masuk, letih, menjinjing valiesnya. Dia berdiri menyambut suaminya, diambilnya valies itu, disuruhnya duduk Kartono di kerosi. Disimpanya valies itu. Dia kembali lagi akan membukakan sepatu suaminya, sambil bertanya tentang orang-orang sakit yang baru dikunjunginya. (Belenggu: 55-56)
Tini mulai rindu dengan Tono, ketika jiwanya telah disadarkan oleh Nyonya Rusdio. Namun, keras kepalanya masih terus bercokol di dalam jiwanya. Tidak ada sejarah dalam hidupnya untuk tunduk kepada seseorang.
“Kadang-kadang sepulangnya di rumah, terbit rasa kasihan dalam hati Tini melihat kartono lagi membaca, menanti, kalau-kalau ada lagi patient datang. Adakah di dalam hatinya sepi juga seperti dalam hatiku? Rusuh gelisah kadang-kadang? Terbitlah keinginannya hendak bercumbu-cumbu dengan dia, hendak meriangkan melalaikan hatinya, tetapi selalu tertahan oleh perasaan segan. Terbitlah pikirannya: “Mengapakah mesti aku yang dahulu menghampirinya? Mengapa bukan dia?” Maka terasa pula perasaan seperti malam itu, seolah-olah kehilangan tempat pegangan bagi jiwanya. Tono tiada memberi sandaran lagi. Maka dicobanya memberanikan, menegakkan jiwanya.” (Belenggu: 65)


Tini terlihat sedikit berubah, membuat keheranan pada diri Tono. Tono mulai menyelidiki apa sebenarnya yang tersebunya dalam jiwa Tini yang memiliki sebuah pagar kokoh yang begitu terlihadat dalam kasat mata.
“Tini menunggu, berharapkan dia hampir, tetapi tinggal tertunggu-tunggu. Diliriknya, Tono lagi membaca, ketia dia hendal lalu, hendak keluar, tampak dari sikap tangan Tono memegang buku, dari keadaan buku itu melandai, Tono sedang memperhatikannya. Hatinya tertunggu-tunggu, menantikan tabik Tono, menanti sapanya: “Kemana Tini? Mari kuantarkan.” Tetapi tiada ia berkata, dia diam saja. Di dalam hati Tini seolah-oalh merentak, ah laki-laki, kalau sudah dapat, tiada peduli lagi, kalau belum, langkah manisnya budinya, manis sapanya, mau dia meninggalkan pelajarannya.” (Belenggu: 68)

Tidak dapat dipungkiri, Tono selingkuh dengan Rohayah karena Tini yang tidak dapat memuaskan jiwanya. Jiwanya malah terpuaskan ketika berada di sisi Rohayah. Namun, terbersit sebuah kegalauan yang teramat sangat yang dirasakan oleh Sukartono. Ia bingung, disorientasi di dalam hidupnya. Ini sangat terlihat pada penggalan cerita pada halalam 91-93. Ada sebuah kutiap kalimat yang benar-benar menggambarkan kondisi kejiwaan Sukartono pada saat itu.
“Maksudku...., Maksudku, tahukah kita dasar hati kita sendiri, apa yang mengalun, bersuara, menangis dalam hati jiwa kita?” (Belenggu: 93)

Sebuah bangkai disembunyikan serapat apa pun pasti terbongkar. Begitu pula dengan perselingkuhan Sukartono dengan Rohayah. Tini akhirnya tahu, karena berita itu terus menyebar hingga sampai ke telingannya ketika ada acara di Solo.
“Tini tertawa kecil, katanya dengan masam: “Mengapa tidak? Bukankah kami sudah lama bukan suami isteri?” Kemudian katanya dengan termenung: “Aneh, saya sendiri tiada tahu, sedang orang di solo sudah maklum. Pamanku, bibiku ada bertanya. Rupanya orang lain di kota ini suudah tahu pula, aku saja yang belum.” Lalu katanya pula dengan keras: “Aku mesti menang, Tini tidak mau kalah. Nanti kucari dia, maduku itu.” (Belenggu: 113)
Tini benar adanya, ia mendatangi Rohayah disuatu hari. Ia ingin mencaci maki wanita jalang itu. Namun, wanita seperti apa yang ia temukan? Rohayah dihadapannya adalah wanita lembut yang pandai menghormati orang lain. Hatinya ciut, nyalinya surut.
Akhirnya Tini menginginkan sebuah perpisahan. Walaupun berat dalam hatinya, tapi mungkin itu yang terbaik untuk rumah tangganya. Ia ingin mengabdi disebuah lembaga sosial di Surabaya.
“Tidak Tono, jangan bicarakan perkara yang sudah-sudah. Aku tidak hendak mengulangi cerita. Mari kita memandang kehadapan.” Tini berhenti sejurus, kemudian katanya: “Tidakkah baik kalau......, kalau aku pergi saja.” (Belenggu: 137)

Biar pun Tono sudah selingkuh, tapi ia tetap ingin mempertahankan rumah tangganya dengan Tini. Biar bagaimana pun jiwanya terkoyak dengan apa yang terjadi di dalam rumah tangganya. Ia terobang-ambing oleh keadaan jiwa yang berimbas pada kehidupannya.
“Besok?” Tono terkejut juga mendengar Tini akan selekas itu berangkat. “Mengapa besok, Tini?”
“Besok atau lusa sama saja.”
“Kirimlah surat dulu ke Surabaya, tunggulah di sini balasannya. Aku belum tenang, kalau belum ada putusan, belum pasti bagaimana nasibmu. (Belenggu: 139)

Dari kutipan di atas, Tono terlihat masih mencintai Tini. Terlihat dengan kehawatiran yang ia tampakkan.
Tini dan Tono akhirnya benar-benar berpisah. Menempuh jalan hidup masing-masing. Mengoyakkan jiwa-jiwa mereka, yang sebenarnya tidak menginginkannya.

“Mereka tiada tahu, sedang melambai-lambai, sudah jauh dari padangan, air mata Tini mulai menitik, satu-satu, kemudian mengalir, membasahi pipinya, tangannya berangsur-angsur perlahan-lahan melambai-lambai, lalu terhenti. Pandanganya masuh menuju ke stasion, kemudia dia terduduk di tempat duduk, menangis merenung. Di dalam hatinya, seolah-olah ada yang mengisap hawa keras-keras, seolah-olah angin puyuh.”
Di dalam hati Tono terasa sedih, bercampur duka, seolah-olah baru membaca buku yang sedih penghabisannya, kemudian ditutup. Hendak di simpan atau dikembalikan, seperti baru mendengar  lagu yang sedih-sedih, kemudian knop diputar lagi ke stasion lain, karena stasion dulunya sudah berhenti. (Belenggu: 142-143)

Jiwa Tono terguncang dengan perpisahannya. Ia berharap bisa mendapatkan ketenangan di rumah Rohayah. Namun, setelah sampai rumah Rohayah, rumah tersebut telah dikosongkan. Royang memilih untuk pergi juga.
“Kemana?”
“mana Nyonya?” tanyanya dengan cepat.
“Sudah pergi, Tuan.” (Belenggu: 144)

Hati Tono berkeping. Namun, segala belenggu jiwa itu seakan terlepas memberikan kebebasan kepada semuanya untuk menjalani kehidupan masing-masing sesuka kehendak jiwanya.
Nurhayati (melalui Suryabrata 2003 : 125 128) mendiskripsikan proses kejiwaan manusia yang disebut id, ego, dan superego. Id mengarah pada sistem biologis yang merupakan sistem original kepribadian. Id terletak dalam ketidaksadaran dan berisi nafsu – nafsu, insting, dan sebagaimana yang tidak disadari yang bersamanya menuntut kepuasan. Id dalam novel ini terlihat pada keinginan dr. Sukartono untuk mendapatkan perlakuan baik dari Tini, istrinya. Ia ingin istrinya seperti istri-istri orang kebanyakan. Berikut kutipannya:
“Apa katanya tadi? Tentang perempuan sekarang? Perempuan sekarang hendak sama haknya dengan kaum laki-laki. apa yang hendak disamakan. Hal perempuan ialah mengurus anak suaminya, mengurus ruma tangga. perempuan sekarang Cuma meminta hak saja pandai. Kalau sumainya pulang kerja, benar dia suka menyambutnya, tetapi ia lupa mengajak suaminya duduk, biar ditanggalkannya sepatunya. Tak tahukah perempuan sekarang, kalau dia bersimpuh dihadapan suaminya akan menanggalkan sepatunya, bukankah itu tanda kasih, tanda setia? Apa lagi hak perempuan, lain dari memberi hati laki-laki.
Dokter sukartono memandang sepatunya. Dia tersenyum, lucu rasanya membayang-bayangkan Tini duduk bersimpuh di hadapannya sedang asyik menanggalkan sepatunya. Mengurus bloc-note saja dia tiada hendak. Tiada hendak ..... Betulkah karena tidak hendak? Tini pelalai diwaktu belakangan ini, sampai barang sulamannya ditaruhnya di meja itu. Tini tahu, dia tiada suka ada barang di sana, biar bloc-note itu jangan tersembunyi. dia tidak suka membiarkan orang sakit menunggu tidak perlu. (Belenggu: 16)

Ego merupakan aspek spikologis dari kepribadian yang timbul karena kebutuhan organisme untuk berhubungan baik dengan dunia kenyataan dan menjalankan fungsinya berdasarkan prinsip kenyataan. Di dunia ini kenyataan tidak selamanya sesuai dengan harapan. Begitu juga yang dialami oleh dr. Sukartono. Ia berharap Tini istrinya bisa berperilaku seperti orang kebanyakan, menghormatinya, melayaninya. Namun, apa yang tejadi? Kenyataan yang terjadi, Tini berperilaku sebaliknya. Tini bersikap dingin terhadap suaminya (Tono), keras kepala, tidak melayani suami, juga tidak menghormatinya.
“Tiba-tiba kedengaran suara mobil berhenti di pekarangan muka. Boleh jadi orang memanggil .... Badannya sudah siap akan berdiri, maka kedengaran langkah isterinya menuju pintu muka. Sukartono memandang kepada halaman bukunya dengan asyiknya. Isterinya sudah hampir disampingnya, sebentar lagi tentu akan terdengar suaranya menabik, duduk di sandaran kerosi .... ah, bukan, dia membelok hendak menuju ke kamar tidur, tiba-tiba perpaling, lalu dibukanya tasnya, kemudian tiba-tiba jautuh terlempar bloc-note ke atas meja di hadapan Sukartono.”
Sukartono terkejut, memandang ke arah istrinya, tetapi ia sudah berpaling lagi, menuju ke kamar tidur. Menyala-nyala dalam hatinya, hendak terhambur kata marah dari mulutnya. (Belenggu: 19)

Superego merupakan sistem kepribadian yang berisikan nilai-nilai dan aturan-aturan yang bersifat evaluati (menyangkut baik-buruk). Setiap tokoh sebenarnya memiliki superego di dalam diri mereka masing-masing. Namun, seolah jiwa mereka ingin memanipulasi mengenai superego yang ada di dalam dasar hati mereka masing masing. Di dasar hatinya sebenarnya Tini menyadari bahwa perilakukan tidak wajar sebagai seorang istri. Ia ingin juga menjadi istri sebagai orang kebanyakan. Namun, gengsunya terlalu tinggi, sehingga ia bersikap sebaliknya. Juga dengan Sukartono, ia tahu bahwa perbuatan selingkuhnya salah. Namun, ia mencoba memanipulasi hatinya, bahwa tindakannya benar karena ia tidak mendapatkan apa yang ia inginkan dari istrinya. Begitu juga denga Rohayah, di dasar hatinya yang paling dasar ia tahu bahwa menjadi selingkuhan orang itu salah, tapi hatinya terus memanipulasi untuk mendapatkan kesenangan-kesenangan duniawi.

PENUTUP
Unsur ketidak sadaran  tokoh – tokoh dalam novel Belenggun karya Armijn Pene, menunjukkan bahwa mereka mengalami sejumlah konflik, baik konflik batin maupun konflik antar tokoh. Misalnya konflik yang dialami oleh tokoh utama dalam novel tersebut yaitu Tono. konflik muncul karena ego masing – masing natara Tono dengan istrinya Tini. Ego kedua tokoh tersebut menyebabkan pertengkaran dalah rumah tangga mereka. Si Kartini yang dingin terhadap Sukartono, membuat Sukartono jenuh dan berselingkuh dengan patiennya yaitu Rokhayah yang tidak lain adalah teman lamanya.
Makna ketidak sadaran yang muncul dalam novel Belenggu bersumber pada konflik pribadi. Keegosian yang muncul dalam diri masing – masing ternyata menimbulkan kesengsaraan pada pihak lain. sehingga menimbulkan perselingkuhan dan keretakan rumah tangga yang telah mereka bina.
Dalam novel tersebut terlihat jelas bawa tokoh Tono memiliki sikap  dingin dan  sangat tertindas dengan sikap Tini yang sangat egois. Hal itulah yang mengnyebabkan ia melakukan perselingkuhan.

DAFTAR PUSTAKA
Ginanjar, Nurhayati dkk. 2012. Pengkajian Prosa Fiksi Teori dan Praktik. Surakarta.
Pane, Amrijn. 2008. Belenggu. Jakarta: Dian Karya.
Wijaya, Heru dan Sri Hartingtyas. 2009. Pengkajian Prosa Fiksi. Purworejo: Prodi Pendidikan bahasa dan Sastra Indonesia FKIP  Universitas Muhammadiayah Purworejo
(diunduh pada hari Jum’at, 26 April 2013 pukul 13.00)

(diunduh pada hari Sabtu, 27 April 2013 pukul 09.00)














LAMPIRAN
Sinopsis novel

Dokter Sukartono adalah suami dari Sumartini atau panggilannya Tini. Sebenarnya Dokter Sukartono atau Tono tidak mencintai Sumartini. Demikian pula sebaliknya, Tini juga tidak mencintai Dokter Sukartono.
Mereka berdua menikah dengan alasan masing-masing. Dokter Sukartono menikahi Sumartini karena kecantian, kecerdasan, serta mendampinginya sebagai seorang dokter adalah Sumartini. Sedangkan Sumartini menikahi Dokter Sukartono karena hendak melupakan masa silamnya. Menurutnya dengan menikahi seorang dokter, maka besar kemungkinan bagi dirinya untuk melupakan masa lalunya yang kelam. Jadi, keduanya tidak saling mencintai.
Karena keduanya tidak saling mencintai, mereka tidak pernah akur. Mereka tidak saling berbicara dan saling bertukar pikiran. Masalah yang mereka hadapi tidak pernah dipecahkan bersama-sama sebagaimana layaknya suami istri. Masing-masing memecahkan masalahnya sendiri-sendiri. Itulah sebabnya keluarga mereka tampak hambar dan tidak harmonis. Mereka sering salah paham dan suka bertengakar.
Ketidakharmonisan keluarga mereka semakin menjadi karena Dokter Sukartono sangat mencintai dan bertanggung jawab penuh terhadap pekerjaannya. Suatu hari Sukartono bertemu dengan pasiennya yang tidak lain adalah teman masa kecilnya yaitu Rokayah atau Yah.  Pertemuan tersebut membuat mereka berdua dakat kembali dan mengakibatkan sebuah perselingkuhan antara Sukartono dengan Yah.  Istri dari Sukartono, yaitu Sukartini lama – lama mengetahui perseligkuhan tersebut dan intu membuat Sukartini geram dan membuat keputusan untuk bercerai dari Sukartono.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar