ANALISIS PSIKOLOGIS TOKOH DALAM
NOVEL BELENGGU
KARYA ARNIJN PANE
Mida Hidayatul
Aisyiyah (112110109), Sarif Hidayat (112110111),
Endang
Widyastuty Pratiwi (112110115), Nurul Hidayati (112110118),
Supri Hartini
(122110045), Khusnul Khotimah (122100159)
Kelas IV C
Universitas Muhammadiyah Purworejo
PENDAHULUAN
Armijn Pane adalah seorang sastrawan
angkatan Pujangga Baru. Ia juga merupakan salah satu tokoh pendiri majalah
Pujangga Baru (1933). Armijn dilahirkan di Muara Sipongi (Sumatera Utara), 18 Agustus
1908 dan meninggal di Jakarta, 16 Februari 1970. Armijn mengenyam pendidikan di
HIS dan ELS (Tanjung Balai, Sibolga dan Bukit Tinggi), STOVIA Jakarta (1923),
NIAS Surabaya (1927), dan AMS-A Solo (tamat 1931). Armijn Pane adalah seorang romantikus yang suka
mengembara dalam jiwanya, melompat, dengan tiada memperdulikan logika dan
kausalitet kejadian.
Novel Belenggu karya Armijn Pane merupakan salah satu novel yang termasuk roman psikologis
karena menitikberatkan pada analisis jiwa dari masing-masing pelakunya, Belenggu
(1940), banyak mengundang perdebatan di kalangan pengamat dan penelaah sastra
Indonesia. Pada novelnya yang bertajuk Belenggu itulah ia memperlihatkan gaya
romantisme, membangkitkan suasana dan perasaan yang mengalun dan bergantian dalam
ritme yang terpola dengan suasana lain yang sendu bahkan cenderung sedih. Dalam
novel Belenggu, Armijn Pane sedikit meneceritakan sosok dirinya dalam tokoh
Sukartono.
Kelebihan dari novel Belenggu adalah novel
yang mengankat potret kehidupan rumah tangga yang tidak harmonis. Tokoh dalam
novel itu sama- sama mengedepankan ego sehingga banyak perdebatan yang muncul. Armijn
Pane mampu menggambarkan kondisi dan keadaan jiwa para tokoh yang begitu nyawa
lewat deskripsi dan dialog – dialog para tokoh di dalam novel.
Berdasarkan kenyataan di atas, penulis tertarik untuk menganalisis
sebuah novel yang
berjudul Belenggu karya Armijn Pane. Pembahasan tersebut penulis wujudkan dalam
sebuah makalah yang berjudul “Analisis Psikologis Novel Belenggu karya Armijn Pane.
TEORI ANALISIS PSIKOLOGIS
Psikologi sastra
merupakan cabang ilmu sastra yang mendekati sastra dari sudut psikologi.
Perhatiaanya dapat diarahkan pada pengarang, pembaca, atau kepada teks itu
sendiri. Pendekatan psikologi terhadap teks berlangsung secara deskriptif. Ahli
psikologi menafsirkan kejiwaan seseorang melalui ucapan – ucapannya dan
imajinasinya, demikian juga ahli sastra menafsirkan ungkapan bahasa yang ada di
dalam teks (Hartoko dan Rahmanto, 1986 : 126-127).
Mengenai
keterkaitan antara psikologi dengan sastra Wellek dan Werren (Terjemahan Melani
Buanta, 1991 : 90) mengatakan psikologi dalam sastra terdapat empat kategori
yaitu : studi psikologi pengarang sebagai tipe atau pribadi, studi tipe hukum –
hukum psikologi yang diterapkan dalam karya sastra, proses kreatif, dan mempelajari
dampak sastra pembaca atau psikologi karya sastra.
Plato (dalam
Dirgagunarsa, 1983 : 13) mengatakan pada manusia terdapat 3 aspek, yaitu :
berfikir , kehendak dan keinginan. Ketiga aspek ini memiliki lokalisasi
tersendiri di tubuh manusia, berfikir dikatakan memiliki lokalisasi di otak,
kehendak memiliki lokalisasi di dada, dan keinginan memiliki lokalisasi di perut.
Di dalam istilah plato, berfikir disebut logisicion , kehendak disebut thumeticon
, dan keinginan disebut abdomen. Ketiga aspek ini disebut sebagai trichotomi,
yang menurut Plato mendasari aktivitas – aktivitas kejiwaan manusia atau
dengan perkataan lain semua tingkah laku manusia mempunyai dasar pada ketiga
hal tersebut. Sejajar dengan trichotomi.
menurut Plato dalam dunia terdapat tiga kebijaksanaan bila akal
menguasai manusia, keberanian bila kehendak menguasai manusia dan penguasaan
diri bila keinginan patuh pada akal. Keinginan – keinginan manusia di bentuk
oleh dorongan – dorongan jiwa dan pengamatan , sedangkan akal berfungsi
mengendalikan setiap keinginan manusia. Proses kejiwaan ini membentuk karakter
atau kepribadian manusia.
Psikologi sastra memandang karya sastra sebagai aktivitas kejiwaan.
Pengarang dalam berkarya akan menangkap gejala jiwa dan melengkapi karyanya
dalam kejiwaannya. Senada dengan yang diungkapkan oleh Edraswara (2003 :96)
bahwa pengalaman pengarang sendiri dan pengalaman hidup dengan lingkungan
sekitar terproyeksi ke dalam teks yang dihasilkan pengarang.
Konflik – konflik yang dialami oleh tokoh dan cara – cara
penyelesaiannya dapat menjadi petunjuk adanya unsur psikologi dalam sebuah
karya sastra. Konflik – konflik yang dialami
tokoh dapat berupa konflik tokoh dengan dirinya sendiri, dengan lingkungan,
maupaun antar tokoh. Seperti yang dikemukakan Hardjana (1994:66) bahwa orang
dapat mengamati tingkah laku para tokoh dalam karya sastra dengan memanfaatkan
pertolongan ilnu psikologi. Ajaran Frued dalam dunia psikologi lazim disebut
sebagai psikoanalisis yang menekan pada penyelidikannya pada proses kejiwaan
dalam ketidaksadaran. Psikoanalisis dapat diartikan sebagai pemahaman tentang
kehidupan psikis yang disadari dalam kaitan yang lebih tinggi dalam kehidupan
psikis yang tidak disadari.
Teori psikoanalisis menurut Sigmud Freud terdiri dari tiga aspek,
yaitu :
1.
Das Es (the
Id)
Id atau aspek biologis dari kepribadian ini adalah aspek yang
orisinil. Berfungsi dengan berpegang pada prinsip “kenikmatan”, yaitu mencari
keenakan dan menghindarkan diri dari ketidakenakan. (Suryabrata, 1995:104)
Id dan Es adalah Reservior atau wadah dalam jiwa seseorang yang
berisikan dorongan – dorongan primitif yang disebabkan primitive drives atau
inner forces atau inner urges. Dorongan – dorongan primitif ini
merupakan dorongan – dorongan yang menghendaki agar segera dipenuhi atau
dilaksanakan. Kalau dorongan ini dipenuhi dengan segera maka tercapai perasaan
senang, puas. Salah satu dorongan primitif dalam Id adalah dorongan
seksuil yang dikenal dengan libido (Dirgagunarsa, 1983 : 63). Dari pendapat
para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa Id adalah aspek biologis
kepribadian yang berhubungan dengan prinsip kesenangan atau pemuasan dorongan
seksual.
2.
Das Ich (the
Ego)
Atau aspek psikologis kepribadian ini timbul dari kebutuhan
organisasi untuk dapat berhubungan dengan dunia luar secara realistis. Tujuannya
masih dalam garis kepentingan organisme , yaitu mendapat keenakan dan
menghindarkan dirir dari ketidakenakan , tetapi dalam bentuk dan sesuai kondisi
– kondisi dubnia riil. Sesuai dengan kenyataan baik itu kenyataan benda – benda
mauapun kenyataan nilai – nilai sosial. (Suryabrata , 1995 : 104)
Firdaus mengatakan ego adalah lapisan psikis yang terbentuk
karena hubungan id dengan dunia luar. Ego biasanya mengawal dan
menekan dorongan id yang kuat. Sebaian ego yang muncul bersifat
sadar , seperti persepsi lahiriah, persepsi batiniah dan proses intelektual.
Aktifitas prasadarnya dapat berupa fungsi ingatan. Ego seluruhnya
dikuasai oleh prinsip realitas , seperti tampak dalam pemikiran yang objektif,
yang sesuai dengan tuntutan sosial dan mengungkapkan melalui bahasa. (1986 :
43).
Dapat disimpulkan bahwa ego adalah aspek psikilogis dari kepribadian yang muncul setelah adanya hubungan dengan
dunia luar atau lingkungan. Ego bersifat menekan id yang kuat dalam bentuk aktivitas sadar dan
prasadar dengan berpengang pada prinsip kenyataan atau reality principle.
3.
Das Ueber Ich (the
superego)
Atau aspek sosiologis kepribadian ini merupakan wakil nilai – nilai
tradisional serta cita – cita masyarakat sebagaimana ditafsirkan orangtua
kepada anak – anaknya , yang diajarakn (dimasukkan) dengan berbagai perintah
dan larangan. Superego lebih
merupakan hal yang “ideal” dari pada hal yang “riil” , lebih merupakan
kesempurnaan daripada kesenangan. Oleh karena itu dapat disebut juga dengan
aspek moral dari kepribadian.
Berfungsinya Das Ueber Ich (the superego) iti dapat dilihat
dalam hubungan dengan ketiga aspek kepribadian , yaitu :
a.
Merintangi
implus – implus das Es , terutama implus – implus seksual agresif yang
pertanyaannya sangat ditentang oleh masyarakat.
b.
Mendorong das
Ich untuk lebih mengejar hal – hal yang moralitas dari pada realitas.
c.
Mengejar
kesempurnaan (Suryabrata , 1995 : 104 –
105)
Firdaus (1986 :84) mengatakan Superego dibentuk dari
perintah dan larangan yang datang dari luar (norma, ajaran, orang tuan ) yang
diolah sedemikian rupa sehingga terpancar kembali dari diri seseorang. Superego
merupakan lapisan menolak sesuatu yang melanggar prinsip norma . Superegolah
yang menyebabkan seseorang merasa malu atau memuji sesuatu yang dianggap
baik. Aktivitasnya menyatakan rasa bersalah dan rasa menyesal. Sikap seperti
observasi diri dan kritik diri berasal dari Superego. Superego merupakan
dasar hati nurani yang menyangkut masalah moral.
Dari pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan superego
adalah aspek sosiologis kepribadian yang merupakan hal yang “ideal” daripada
yang “rill” lebih menekankan kesempurnaan daripada kesenangan. Superego
merupakan lapisan yang menolak sesuatu yeng melanggar norma. Superego dapat
dikatakan sebagai dasar hati nurani yang erat hubungannya dengan moral.
Kendatipun ketiga aspek itu masing – masing mempunyai fungsi,
prinsip kerja, sifat dan dinamika sendiri – sendiri namun, ketiganya
berhubungan dengan rapat sehingga tidak dapat memisah – misahkan pengaruhnya
terhadap tingkah laku manusia.
Teori yang dikemukakan oleh Sigmund Freud tentang psikoanalisisnya
memiliki kelemahan yaitu tidak membicarakan masalah keimanan tetapi hanya
terfokus pada tabir mimpi.
Teori Fruet tidak hanya sebatas untuk menganalisis asal usul proses
kreatif seorang pengarang. Namun, seperti halnya psikolog ketika
menghadapi pasien untuk mengobati penyakitnya, tidak menguraikan asal usul
penyakitnya, meinkan dengan bercakap – cakap dan berdialog sehingga terungkap
semua depresi mentalnya, yaitu melalui pernyataan ketidaksadaran bahasanya.
Bahasa inilah yang kemudian dianalisis sehingga menghasilkan kesimpula dalam
pengobatannya. Hal yang sama juga dilakukan dalam analisis bahasa sebuah karya
sastra (Ratna, 2004:62).
Davidoff (1991:19) mengemukakan bahwa teori psikoanalisis adalah
satu teori penelitian Freud mengenai
kepribadian, abnormalitas, dan perawatan penderita. Lebih lanjut dijelaskan
bahwa Frued (dalam Davidoff, 1991:144) mendasarkan teori kepribadiannya pada
dua ide yang sangat mendasar:
1.
Tingkah laku
manusia terutama tidak dikuasai oleh akal, tetapi oleh naluri irrasional,
naluri menyerang, terutama naluri seks.
2.
Sebagian kecil
dari pikiran kegiatan manusia muncul dari proses mental yang disadari dan yang
paling besar mempengaruhi tingkah laku manusia adalah ketidaksadaran (suatu
tempat penyimpanan keinginan – keinginan dan ingatan) yang tidak pernah timbul
mencapai kesadaran atau telah tertekan, yaitu terdorong keluar kesadaran sebab
menimbulkan rasa takut dan memalikan dalam diri.
Freud (dalam
Kartono, 1990:129) membaedakan beberapa daerah kesadaran dan ketidaksadaran.
Pertama, kesadaran yaitu melalui
pengamatan, maka kehidupan psikis itu bisa disadari. Kedua, prakesadaran
atau bawah sadar, yaitu berupa isi – isi psikis yang laten dan tanggapan –
tanggapan yang tenggelam yang sewaktu – waktu bisa disadari dengan bantuan
ingatan, pengamatan atau reproduksi. Ketiga, konteks – kompleks terdasar, yaitu kompleks terdasar disadari,
tetapi akibat – akibatnya tidak nyata. Keempat, ketidaksadaran yaitu
ketidaksadaran yang tidak mungkin disadarkan.
Adapun faktor – faktor
penyebab terjadinya perceraian dalam rumah tangga:
1.
Kesetian dan Kepercayaan : Didalam hal ini yang sering
kali menjadi pasangan rumah tanggabercerai, dalam hal ini baik pria ataupun
wanita sering kalimengabaikan peranan kesetiaan dan kepercayaan yang diberikan
pada tiappasangan, hingga timbul sebuah perselingkuhan.
2.
Seks : Didalam melakukan hubungan seks dengan pasangan
kerap kali pasangan mengalami tidak puas dalambersetubuh dengan pasangannya,
sehingga menimbulkan kejenuhan tiapmelakukan hal tersebut, dan tentunya anda
harus mensiasati bagaimanapasangan anda mendapatkan kepuasan setiap melakukan
hubungan seks.
3.
Ekonomi : Tingkat kebutuhan ekonomi di jaman sekarang
ini memaksa keduapasangan harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi
keluarga,sehingga seringkali perbedaan dalam pendapatan atau gaji membuat
tiappasangan berselisih, terlebih apabila sang suami yang tidak
memilikipekerjaan.
4.
Pernikahan Tidak Dilandasi rasa Cinta : Untuk kasus
yang satu ini biasanya terjadi karna faktor tuntutanorang tua yang mengharuskan
anaknya menikah dengan pasangan yang sudahditentukan, sehingga setelah
menjalani bahtera rumah tangga sering kalipasangan tersebut tidak mengalami
kecocokan.
ANALISIS
PSIKOLOGIS TOKOH DALAM NOVEL BELENGGU
ARYA ARNIJN PANE
Tokoh
dr. Sukartono merupakan tokoh sentral cerita ini. Kondisi psikologi Sukartono
sangat terlihahat dari setiap alur cerita di dalam novel Belenggu. Di samping
itu, tokoh lain, Nyonya Eni atau Rohayah dan Tini juga memiliki kondisi
psikologi yang tergambar sangat nyata.
Cerita
ini berawal dari pernikahan dr. Sukartono dan Sumartini yang tidak harmonis.
Dingin dan penuh dengan ketegangan. Tono dan Tini mengedepankan ego
masing-masing dalam berperilaku. Hal ini terlihat pada kutipan cerita berikut.
“Tiba-tiba
kedengaran suara mobil berhenti di pekarangan muka. Boleh jadi orang memanggil
.... Badannya sudah siap akan berdiri, maka kedengaran langkah isterinya menuju
pintu muka. Sukartono memandang kepada halaman bukunya dengan asyiknya.
Isterinya sudah hampir disampingnya, sebentar lagi tentu akan terdengar
suaranya menabik, duduk di sandaran kerosi .... ah, bukan, dia membelok hendak menuju
ke kamar tidur, tiba-tiba perpaling, lalu dibukanya tasnya, kemudian tiba-tiba
jautuh terlempar bloc-note ke atas meja di hadapan Sukartono.”
“Sukartono
terkejut, memandang ke arah istrinya, tetapi ia sudah berpaling lagi, menuju ke
kamar tidur. Menyala-nyala dalam hatinya, hendak terhambur kata marah dari
mulutnya.” (Belenggu:19)
Dari
kutipan di atas, terlihat jelas ketegangan antara kedua jiwa tokoh suami istri
tersebut, yang menjadi titik awal konflik dalam novel Belenggu ini.
Berangkat
dari ketidaksadaran mereka berdua atas sebab yang menimbulkan konflik batin di
antara mereka, konflik-konflik selanjutnya terus timbul. Sukartono merasa tidak
nyaman dengan kondisi rumah yang dingin dan sikap istrinya yang tidak
menyenangkan. Hal ini membuat Sukartono selingkung dengan salah satu pasienya
(Nyonya Eni yang belakangan diketahui sebagai Rohayah, teman lamanya) yang
dapat menentramkan hatinya.
Rohayah
merupakan potret wanita idamannya. Terlihat dari sikap Rohayah yang dapat
melayani laki-laki sesuai kodratnya. Hal ini terlihat pada kutipan cerita
berikut.
“Dokter,
tiadakah panas hari ini? Bolehkah saya tanggalkan baju tuan dokter?” Dia tiada
menunggu jawaban dokter Sukartono, dengan segera ditanggalkannya. Sesudah
disangkutkannya baju itu dia kembali, lalu berlutut dihadapan sukartono, terus
ditanggalkannya sepatunya, dipasangkannya sandal yang diambilnya dari bawah
kerosi Sukartono.
“Sudah
sedia,” katanya dengan senyum simpul.
Kartono merasa
seolah-olah tercapai cita-citanya, merasa bahagia di dalam hatinya karena
dipelihara demikian. Yang demikian sudah lama dinanti-nantinya. (Belenggu: 33)
Sosok
wanita seperti Rohayah lah yang diidam-idamkan Sukartono selama ini untuk
mengisi kekosongan jiwanya sebagai seorang laki-laki. Sedangkan istrinya, Tini,
seolah menuntut sebuah emansipasi. Keras kepala dan ingin hidup bebas. Hal ini
tergambar pada potongan cerita berikut.
“Duduklah Ibu,
katakanlah. Nanti saya dengarkan dengan asyik. Diturut tidaknya lain perkara.”
“memang
Tini, kita berlainan paham.........”
“Seperti
langit dan bumu, Ibu!”
“Aku
bukan terlalu kolot.”
Tini
tertawa: “Saya yang terlalu modern!”
“Memang, Tini!”
Kemudian disambungnya dengan sungguh-sungguh: “kalau di mata kami, tiada baik
kalau seorang isteri banyak-banyak keluar malam, tidak ditemani suaminya!”
Matanya memandang muka Tini dengan tajam.
Tini melompat
berdiri sebagai digigit kalajengking: “Bukankah lakiku juga pergi sendirian?
Mengapa aku tiada boleh? Apakah bedanya?”
(Belenggu:53)
Padahal
Tini bersikap demikian sebagai bentuk protes, karena Tono dalam pandangannya
terlalu mementingkan pekerjaan. Jiwanya tersiksa dengan sikap dan tingkah laku
suaminya, Tono.
“Ya, tutuplah
mulut. Biar istrimu tertunggu-tunggu. Tidakkah dapat ditunda satu patient, buat
menjemput isteri?”
Dada Sukartono merasa
lega. Bukan karena ketahuan karena dijemput malah.
“Bukan
kau bilang, tiada usah dijemput?”
“Siapa bilang? Bukan kau yang mengatakan
hendak menjemput aku?”
Tini memandangnya dengan marah.
“Bukan kau diam saja?” kata dokter
Sukartono akan mempertahankan diri.
“Perlulah lagi aku buka mulut? Mestikah
aku menyembah-nymebah lagi? Mesti berlutut dimukamu?
Patient, patient, selamanya patient,
istrinya terlantar, tidak malu engkau istrimu sendirian pulang?”
Tini masuk ke kamat tidur, pintu
ditutupnya keras-keras, kedengaran dikunci dari dalam, sebentar lagi kedengaran
badan terempas dalam tempat tidur.
Sukartono terduduk. Malam itu dia tidur
di sofa.”
Dari
kutipan di atas kita dapat melihat begitu kentalnya konflik psikologis yang
menimbulkan konflik nyata di dalam rumah tangga mereka berdua.
Tono
dan Tini sebenarnya terbelenggu dengan kondisi jiwa mereka masing-masing.
Namun, mereka tidak menyadarinya, mereka terlalu menuntut dengan pesangan
masing-masing untuk mengerti kondisi mereka.
Tini
sendiri terperangkap pada dua jiwa. Ia ingin menjadi wanita modern yang bebas
dengan segala keliaran daya pikirnya. Namun, di sisi lain ia juga ingin menjadi
istri sejati yang melayani suami.
“Ratu
pesta kata orang. Tini senang mengingatkan waktu itu.
Ratu
pesta........ air mukanya menjadi muram, teringat pula akan pesta di rumah
Ningsih, sehabis berdansa, jauh malam, ingin hatinya makan angin, keinginan itu
terbit dalam hatinya di tengah jalan hendak pulang, dia dibawa.... ah dia
melompat dari sofa, pergi mengambil buku. Lalu baring lagi, dicarinya halaman
tempat dia berhenti membaca tadi pagi. Dipaksanya perhatiannya kepada bacaan
itu saja. .........
Sejurus
kemudian hatinya lega. Dimulainya dari membaca. Jangan diketahuinya nanti aku
menunggu dia.... pikiranya terhenti sebentar berhadap-hadapan dengan hati
kecilnya. Lama benar dia pergi. Di waktu belakangan ini dia seolah-olah rusuh,
seolah-olah bimbang. Tiada tetap hat seperti dulu...... Lama benar dia pergi.
Di dalah matinya mulai tenang. Sebentar lagi datang. Tergambar dalam hatinya
kartono masuk, letih, menjinjing valiesnya. Dia berdiri menyambut suaminya,
diambilnya valies itu, disuruhnya duduk Kartono di kerosi. Disimpanya valies
itu. Dia kembali lagi akan membukakan sepatu suaminya, sambil bertanya tentang
orang-orang sakit yang baru dikunjunginya. (Belenggu: 55-56)
Tini
mulai rindu dengan Tono, ketika jiwanya telah disadarkan oleh Nyonya Rusdio.
Namun, keras kepalanya masih terus bercokol di dalam jiwanya. Tidak ada sejarah
dalam hidupnya untuk tunduk kepada seseorang.
“Kadang-kadang
sepulangnya di rumah, terbit rasa kasihan dalam hati Tini melihat kartono lagi
membaca, menanti, kalau-kalau ada lagi patient datang. Adakah di dalam hatinya
sepi juga seperti dalam hatiku? Rusuh gelisah kadang-kadang? Terbitlah keinginannya
hendak bercumbu-cumbu dengan dia, hendak meriangkan melalaikan hatinya, tetapi
selalu tertahan oleh perasaan segan. Terbitlah pikirannya: “Mengapakah mesti
aku yang dahulu menghampirinya? Mengapa bukan dia?” Maka terasa pula perasaan
seperti malam itu, seolah-olah kehilangan tempat pegangan bagi jiwanya. Tono
tiada memberi sandaran lagi. Maka dicobanya memberanikan, menegakkan jiwanya.”
(Belenggu: 65)
Tini
terlihat sedikit berubah, membuat keheranan pada diri Tono. Tono mulai
menyelidiki apa sebenarnya yang tersebunya dalam jiwa Tini yang memiliki sebuah
pagar kokoh yang begitu terlihadat dalam kasat mata.
“Tini menunggu,
berharapkan dia hampir, tetapi tinggal tertunggu-tunggu. Diliriknya, Tono lagi
membaca, ketia dia hendal lalu, hendak keluar, tampak dari sikap tangan Tono
memegang buku, dari keadaan buku itu melandai, Tono sedang memperhatikannya.
Hatinya tertunggu-tunggu, menantikan tabik Tono, menanti sapanya: “Kemana Tini?
Mari kuantarkan.” Tetapi tiada ia berkata, dia diam saja. Di dalam hati Tini
seolah-oalh merentak, ah laki-laki, kalau sudah dapat, tiada peduli lagi, kalau
belum, langkah manisnya budinya, manis sapanya, mau dia meninggalkan
pelajarannya.” (Belenggu: 68)
Tidak
dapat dipungkiri, Tono selingkuh dengan Rohayah karena Tini yang tidak dapat
memuaskan jiwanya. Jiwanya malah terpuaskan ketika berada di sisi Rohayah.
Namun, terbersit sebuah kegalauan yang teramat sangat yang dirasakan oleh
Sukartono. Ia bingung, disorientasi di dalam hidupnya. Ini sangat terlihat pada
penggalan cerita pada halalam 91-93. Ada sebuah kutiap kalimat yang benar-benar
menggambarkan kondisi kejiwaan Sukartono pada saat itu.
“Maksudku....,
Maksudku, tahukah kita dasar hati kita sendiri, apa yang mengalun, bersuara,
menangis dalam hati jiwa kita?” (Belenggu: 93)
Sebuah
bangkai disembunyikan serapat apa pun pasti terbongkar. Begitu pula dengan
perselingkuhan Sukartono dengan Rohayah. Tini akhirnya tahu, karena berita itu
terus menyebar hingga sampai ke telingannya ketika ada acara di Solo.
“Tini tertawa
kecil, katanya dengan masam: “Mengapa tidak? Bukankah kami sudah lama bukan
suami isteri?” Kemudian katanya dengan termenung: “Aneh, saya sendiri tiada
tahu, sedang orang di solo sudah maklum. Pamanku, bibiku ada bertanya. Rupanya
orang lain di kota ini suudah tahu pula, aku saja yang belum.” Lalu katanya
pula dengan keras: “Aku mesti menang, Tini tidak mau kalah. Nanti kucari dia,
maduku itu.” (Belenggu: 113)
Tini
benar adanya, ia mendatangi Rohayah disuatu hari. Ia ingin mencaci maki wanita
jalang itu. Namun, wanita seperti apa yang ia temukan? Rohayah dihadapannya
adalah wanita lembut yang pandai menghormati orang lain. Hatinya ciut, nyalinya
surut.
Akhirnya
Tini menginginkan sebuah perpisahan. Walaupun berat dalam hatinya, tapi mungkin
itu yang terbaik untuk rumah tangganya. Ia ingin mengabdi disebuah lembaga
sosial di Surabaya.
“Tidak Tono,
jangan bicarakan perkara yang sudah-sudah. Aku tidak hendak mengulangi cerita.
Mari kita memandang kehadapan.” Tini berhenti sejurus, kemudian katanya:
“Tidakkah baik kalau......, kalau aku pergi saja.” (Belenggu: 137)
Biar
pun Tono sudah selingkuh, tapi ia tetap ingin mempertahankan rumah tangganya
dengan Tini. Biar bagaimana pun jiwanya terkoyak dengan apa yang terjadi di
dalam rumah tangganya. Ia terobang-ambing oleh keadaan jiwa yang berimbas pada
kehidupannya.
“Besok?” Tono
terkejut juga mendengar Tini akan selekas itu berangkat. “Mengapa besok, Tini?”
“Besok
atau lusa sama saja.”
“Kirimlah surat
dulu ke Surabaya, tunggulah di sini balasannya. Aku belum tenang, kalau belum
ada putusan, belum pasti bagaimana nasibmu. (Belenggu: 139)
Dari
kutipan di atas, Tono terlihat masih mencintai Tini. Terlihat dengan
kehawatiran yang ia tampakkan.
Tini
dan Tono akhirnya benar-benar berpisah. Menempuh jalan hidup masing-masing.
Mengoyakkan jiwa-jiwa mereka, yang sebenarnya tidak menginginkannya.
“Mereka
tiada tahu, sedang melambai-lambai, sudah jauh dari padangan, air mata Tini
mulai menitik, satu-satu, kemudian mengalir, membasahi pipinya, tangannya
berangsur-angsur perlahan-lahan melambai-lambai, lalu terhenti. Pandanganya
masuh menuju ke stasion, kemudia dia terduduk di tempat duduk, menangis
merenung. Di dalam hatinya, seolah-olah ada yang mengisap hawa keras-keras,
seolah-olah angin puyuh.”
Di dalam hati
Tono terasa sedih, bercampur duka, seolah-olah baru membaca buku yang sedih
penghabisannya, kemudian ditutup. Hendak di simpan atau dikembalikan, seperti
baru mendengar lagu yang sedih-sedih, kemudian knop diputar
lagi ke stasion lain, karena stasion dulunya sudah berhenti. (Belenggu:
142-143)
Jiwa
Tono terguncang dengan perpisahannya. Ia berharap bisa mendapatkan ketenangan
di rumah Rohayah. Namun, setelah sampai rumah Rohayah, rumah tersebut telah
dikosongkan. Royang memilih untuk pergi juga.
“Kemana?”
“mana
Nyonya?” tanyanya dengan cepat.
“Sudah
pergi, Tuan.” (Belenggu: 144)
Hati
Tono berkeping. Namun, segala belenggu jiwa itu seakan terlepas memberikan
kebebasan kepada semuanya untuk menjalani kehidupan masing-masing sesuka
kehendak jiwanya.
Nurhayati
(melalui Suryabrata 2003 : 125 128) mendiskripsikan proses kejiwaan manusia
yang disebut id, ego, dan superego. Id mengarah pada sistem biologis yang merupakan sistem original
kepribadian. Id terletak dalam
ketidaksadaran dan berisi nafsu – nafsu, insting, dan sebagaimana yang tidak
disadari yang bersamanya menuntut kepuasan. Id
dalam novel ini terlihat pada keinginan dr. Sukartono untuk mendapatkan
perlakuan baik dari Tini, istrinya. Ia ingin istrinya seperti istri-istri orang
kebanyakan. Berikut kutipannya:
“Apa katanya
tadi? Tentang perempuan sekarang? Perempuan sekarang hendak sama haknya dengan
kaum laki-laki. apa yang hendak disamakan. Hal perempuan ialah mengurus anak
suaminya, mengurus ruma tangga. perempuan sekarang Cuma meminta hak saja
pandai. Kalau sumainya pulang kerja, benar dia suka menyambutnya, tetapi ia
lupa mengajak suaminya duduk, biar ditanggalkannya sepatunya. Tak tahukah
perempuan sekarang, kalau dia bersimpuh dihadapan suaminya akan menanggalkan
sepatunya, bukankah itu tanda kasih, tanda setia? Apa lagi hak perempuan, lain
dari memberi hati laki-laki.
Dokter sukartono
memandang sepatunya. Dia tersenyum, lucu rasanya membayang-bayangkan Tini duduk
bersimpuh di hadapannya sedang asyik menanggalkan sepatunya. Mengurus bloc-note
saja dia tiada hendak. Tiada hendak ..... Betulkah karena tidak hendak? Tini
pelalai diwaktu belakangan ini, sampai barang sulamannya ditaruhnya di meja
itu. Tini tahu, dia tiada suka ada barang di sana, biar bloc-note itu jangan
tersembunyi. dia tidak suka membiarkan orang sakit menunggu tidak perlu.
(Belenggu: 16)
Ego
merupakan aspek spikologis dari kepribadian yang timbul karena kebutuhan
organisme untuk berhubungan baik dengan dunia kenyataan dan menjalankan
fungsinya berdasarkan prinsip kenyataan. Di
dunia ini kenyataan tidak selamanya sesuai dengan harapan. Begitu juga yang
dialami oleh dr. Sukartono. Ia berharap Tini istrinya bisa berperilaku seperti
orang kebanyakan, menghormatinya, melayaninya. Namun, apa yang tejadi?
Kenyataan yang terjadi, Tini berperilaku sebaliknya. Tini bersikap dingin
terhadap suaminya (Tono), keras kepala, tidak melayani suami, juga tidak
menghormatinya.
“Tiba-tiba
kedengaran suara mobil berhenti di pekarangan muka. Boleh jadi orang memanggil
.... Badannya sudah siap akan berdiri, maka kedengaran langkah isterinya menuju
pintu muka. Sukartono memandang kepada halaman bukunya dengan asyiknya.
Isterinya sudah hampir disampingnya, sebentar lagi tentu akan terdengar
suaranya menabik, duduk di sandaran kerosi .... ah, bukan, dia membelok hendak
menuju ke kamar tidur, tiba-tiba perpaling, lalu dibukanya tasnya, kemudian
tiba-tiba jautuh terlempar bloc-note ke atas meja di hadapan Sukartono.”
Sukartono
terkejut, memandang ke arah istrinya, tetapi ia sudah berpaling lagi, menuju ke
kamar tidur. Menyala-nyala dalam hatinya, hendak terhambur kata marah dari
mulutnya. (Belenggu: 19)
Superego
merupakan sistem kepribadian yang berisikan nilai-nilai dan aturan-aturan yang
bersifat evaluati (menyangkut baik-buruk). Setiap tokoh sebenarnya memiliki
superego di dalam diri mereka masing-masing. Namun, seolah jiwa mereka ingin
memanipulasi mengenai superego yang ada di dalam dasar hati mereka masing
masing. Di dasar hatinya sebenarnya Tini menyadari bahwa perilakukan tidak
wajar sebagai seorang istri. Ia ingin juga menjadi istri sebagai orang
kebanyakan. Namun, gengsunya terlalu tinggi, sehingga ia bersikap sebaliknya.
Juga dengan Sukartono, ia tahu bahwa perbuatan selingkuhnya salah. Namun, ia mencoba
memanipulasi hatinya, bahwa tindakannya benar karena ia tidak mendapatkan apa
yang ia inginkan dari istrinya. Begitu juga denga Rohayah, di dasar hatinya
yang paling dasar ia tahu bahwa menjadi selingkuhan orang itu salah, tapi
hatinya terus memanipulasi untuk mendapatkan kesenangan-kesenangan duniawi.
PENUTUP
Unsur
ketidak sadaran tokoh – tokoh dalam
novel Belenggun karya Armijn Pene, menunjukkan bahwa mereka mengalami sejumlah
konflik, baik konflik batin maupun konflik antar tokoh. Misalnya konflik yang
dialami oleh tokoh utama dalam novel tersebut yaitu Tono. konflik muncul karena
ego masing – masing natara Tono dengan istrinya Tini. Ego kedua tokoh tersebut
menyebabkan pertengkaran dalah rumah tangga mereka. Si Kartini yang dingin
terhadap Sukartono, membuat Sukartono jenuh dan berselingkuh dengan patiennya yaitu
Rokhayah yang tidak lain adalah teman lamanya.
Makna
ketidak sadaran yang muncul dalam novel Belenggu bersumber pada konflik
pribadi. Keegosian yang muncul dalam diri masing – masing ternyata menimbulkan
kesengsaraan pada pihak lain. sehingga menimbulkan perselingkuhan dan keretakan
rumah tangga yang telah mereka bina.
Dalam
novel tersebut terlihat jelas bawa tokoh Tono memiliki sikap dingin dan
sangat tertindas dengan sikap Tini yang sangat egois. Hal itulah yang
mengnyebabkan ia melakukan perselingkuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Ginanjar, Nurhayati dkk. 2012. Pengkajian Prosa Fiksi Teori dan
Praktik. Surakarta.
Pane,
Amrijn. 2008. Belenggu. Jakarta: Dian
Karya.
Wijaya, Heru
dan Sri Hartingtyas. 2009. Pengkajian
Prosa Fiksi. Purworejo: Prodi Pendidikan bahasa dan Sastra Indonesia
FKIP Universitas Muhammadiayah Purworejo
(diunduh pada
hari Jum’at, 26 April 2013 pukul 13.00)
(diunduh pada
hari Sabtu, 27 April 2013 pukul 09.00)
LAMPIRAN
Sinopsis novel
Dokter Sukartono adalah suami dari Sumartini atau
panggilannya Tini. Sebenarnya Dokter Sukartono atau Tono tidak mencintai
Sumartini. Demikian pula sebaliknya, Tini juga tidak mencintai Dokter
Sukartono.
Mereka berdua menikah dengan alasan masing-masing. Dokter Sukartono menikahi Sumartini karena kecantian, kecerdasan, serta mendampinginya sebagai seorang dokter adalah Sumartini. Sedangkan Sumartini menikahi Dokter Sukartono karena hendak melupakan masa silamnya. Menurutnya dengan menikahi seorang dokter, maka besar kemungkinan bagi dirinya untuk melupakan masa lalunya yang kelam. Jadi, keduanya tidak saling mencintai.
Karena keduanya tidak saling mencintai, mereka tidak pernah akur. Mereka tidak saling berbicara dan saling bertukar pikiran. Masalah yang mereka hadapi tidak pernah dipecahkan bersama-sama sebagaimana layaknya suami istri. Masing-masing memecahkan masalahnya sendiri-sendiri. Itulah sebabnya keluarga mereka tampak hambar dan tidak harmonis. Mereka sering salah paham dan suka bertengakar.
Ketidakharmonisan keluarga mereka semakin menjadi karena Dokter Sukartono sangat mencintai dan bertanggung jawab penuh terhadap pekerjaannya. Suatu hari Sukartono bertemu dengan pasiennya yang tidak lain adalah teman masa kecilnya yaitu Rokayah atau Yah. Pertemuan tersebut membuat mereka berdua dakat kembali dan mengakibatkan sebuah perselingkuhan antara Sukartono dengan Yah. Istri dari Sukartono, yaitu Sukartini lama – lama mengetahui perseligkuhan tersebut dan intu membuat Sukartini geram dan membuat keputusan untuk bercerai dari Sukartono.
Mereka berdua menikah dengan alasan masing-masing. Dokter Sukartono menikahi Sumartini karena kecantian, kecerdasan, serta mendampinginya sebagai seorang dokter adalah Sumartini. Sedangkan Sumartini menikahi Dokter Sukartono karena hendak melupakan masa silamnya. Menurutnya dengan menikahi seorang dokter, maka besar kemungkinan bagi dirinya untuk melupakan masa lalunya yang kelam. Jadi, keduanya tidak saling mencintai.
Karena keduanya tidak saling mencintai, mereka tidak pernah akur. Mereka tidak saling berbicara dan saling bertukar pikiran. Masalah yang mereka hadapi tidak pernah dipecahkan bersama-sama sebagaimana layaknya suami istri. Masing-masing memecahkan masalahnya sendiri-sendiri. Itulah sebabnya keluarga mereka tampak hambar dan tidak harmonis. Mereka sering salah paham dan suka bertengakar.
Ketidakharmonisan keluarga mereka semakin menjadi karena Dokter Sukartono sangat mencintai dan bertanggung jawab penuh terhadap pekerjaannya. Suatu hari Sukartono bertemu dengan pasiennya yang tidak lain adalah teman masa kecilnya yaitu Rokayah atau Yah. Pertemuan tersebut membuat mereka berdua dakat kembali dan mengakibatkan sebuah perselingkuhan antara Sukartono dengan Yah. Istri dari Sukartono, yaitu Sukartini lama – lama mengetahui perseligkuhan tersebut dan intu membuat Sukartini geram dan membuat keputusan untuk bercerai dari Sukartono.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar