ANALISIS
SEMIOTIK CERPEN “SI LUGI DAN SI MALIN KUNDANG”
KARYA
HAMSAD RANGKUTI
Nurul
Hidayati
112110118
Kelas
IV C
Universitas
Muhammadiyah Purworejo
@nurul_mienyu
“Si Lugu Dan Si Malin
Kundang” Karya Hamsad Rangkuti
Sekuriti
kompleks perumahan mewah menghambat masuk orang tua dengan beban sepikul hasil
bumi. Pintu gerbang tidak dia buka. Orang tua itu mengatakan dia berjalan dari
stasiun kereta api mencari kompleks perumahan itu. Setandan pisang, dua ikat
jagung, satu buah nangka masak, dan seekor ayam. Polisi lalu lintas melihat
peristiwa itu dan menghentikan kendaraan roda duanya. Dia ingin tahu walau
sebenarnya hal semacam itu bukanlah tugasnya.
Ada apa ini?”
katanya sambil mendekat. Dia lihat orang tua itu meletakkan barang bawaannya di
sekitar dirinya yang sangat letih. Ayam jantan itu menjulurkan kepalanya dari
dalam sangkar anyaman daun kelapa menghirup udara segar.
Orang tua ini
mau masuk ke dalam. Dia berkeras kalau salah seorang penghuni rumah mewah yang
kujaga ini adalah anaknya. Aku tak percaya. Apalagi dia hanya bisa menyebut
nama anaknya. Sedang yang lain, yang dibutuhkan untuk mencari sebuah rumah
tidak dapat dia sebutkan. Maka aku tidak mempercayainya.”
“Bapak tentu
datang dari kampung. Barang bawaan ini menunjukkannya.”
Polisi itu
memerhatikan kepala ayam yang terjulur dari dalam anyaman daun kelapa tidak
jauh dari dia berdiri. Dia lihat mata ayam itu merah. Paruh ayam ternganga.
Kerongkongan bergerak-gerak mengatur napas. Lidahnya terjulur meneteskan liur.
“Ayam ini tidak
boleh dibiarkan hidup di sekitar kita. Kulihat tanda-tanda pembawa virus
dimilikinya.” Dicabutnya pistol. “Mengorbankan sebutir peluru lebih baik
daripada membiarkan virus yang dibawanya menyebar di kompleks perumahan ini.”
Dia arahkan moncong pistol ke kepala ayam itu. Dia lihat ulang mata ayam itu.
Paruhnya yang menganga, kerongkongan yang bergerak terus mengatur napas. Lidah
menjulur mengeluarkan liur. “Maaf Pak. Ayam ini harus dimusnahkan. Satu butir
peluru…,” dia mulai menimbang-nimbang, “sayang juga.” Dia balikkan arah pistol.
Moncong pistol dia pegang. Dia sangat berbakat dalam hal tak berperasaan. Dia
tetak kepala ayam itu dengan gagang pistol. Ayam menggelupur dalam anyaman daun
kelapa. Dia menoleh ke sekuriti, “Bawa ke sana. Gali lubang. Bakar!” Sekuriti
rumah mewah itu mengambil ayam yang masih menggelepar-gelepar di dalam anyaman
daun kelapa. Dia pun menggali lubang, memasukkan ayam yang masih terus
menggelepar ke dalam lubang, dan membakarnya dengan ranting-ranting kering dan
daun-daun kering. Orang tua itu ternganga melihat semua itu.
“Maaf Bapak.
Ini terpaksa saya lakukan.” Katanya sambil menggosokkan gagang pistol ke
rumput. “Coba Bapak katakan apa yang ingin Bapak lakukan bila kami izinkan
Bapak masuk ke dalam kompleks perumahan mewah ini?”
“Aku akan
mendatangi rumah anakku di dalam kompleks perumahan yang Engkau katakan mewah
ini.”
“O, begitu.
Tapi itu tidak mungkin. Tidak masuk akal kami. Kami tidak yakin Bapak adalah
ayah dari salah seorang penghuni rumah mewah ini.”
“Jadi Engkau
juga tidak percaya kalau aku adalah ayah dari salah seorang penghuni kompleks
perumahan ini? Aku tidak boleh masuk mencari rumah anakku. Aku tidak boleh
mengetuk dari pintu ke pintu sampai aku menemukan pintu rumah anakku.”
“Tidak boleh.”
Polisi lalu lintas itu sekarang telah mengambil alih menangani orang tua itu.
Dia lupa pada tugasnya sebagi polisi lalu lintas. Dia telah mengambil alih
tugas sekuriti rumah mewah itu. Sekarang dia merasa dialah yang harus menangani
orang tua itu.
“Di sini
tinggal orang-orang kaya. Tidak mungkin dan tidak masuk akal, ayah dari salah
seorang penghuni rumah mewah ini adalah Bapak. Pakaian Bapak adalah pakaian
orang yang tak berpunya. Hampir sama dengan pakaian fakir miskin. Apa lagi
ini.”
“Jadi Engkau
tidak percaya kalau aku adalah orangtua salah seorang penghuni rumah mewah yang
kalian katakan itu? Kalian adalah masyarakat Malin Kundang. Engkau mewakili
masyarakat itu! Engkau akan menjadi batu.” Orang tua itu menunjuk ke polisi
lalu lintas itu. Polisi lalu lintas itu terkejut:
Apa maksud
orang tua ini? Aku mewakili masyarakat Malin Kundang? Legenda itu menceritakan
orang-orang tidak percaya kalau wanita tua yang mengenakan pakaian yang dia
punya adalah ibu si Malin Kundang. Tidaklah mungkin wanita tua terlunta-lunta
di tepi pantai menunggu kedatangan anaknya adalah ibu seorang kaya raya. Ibu
orang yang bepergian dengan kapal miliknya dari pulau ke pulau, menjalankan
usaha di jalur perdagangannya. Dia datang ke pulau itu rindu akan kampung
halamannya. Ibunya mendengar kabar kedatangan anaknya. Dia datang menyambut,
tetapi orang-orang menertawakannya dan mengejeknya. Malin Kundang tidak
mengakuinya sebagai ibu. Jadi, orang tua ini merasa diperlakukan seperti yang
dilakukan Malin Kundang terhadap ibunya.
“Ya, betul.
Kami tidak percaya. Bapak tidak mungkin ayah dari salah seorang pemilik rumah
mewah ini.”
“Apa Engkau mau
menjadi batu?”
Polisi lalu
lintas itu tersenyum. Dia merasa ucapan orang tua itu sebuah lelucon.
Sebuah mobil
kelas termahal berbelok ke arah pintu gerbang perumahan mewah itu. Lelaki yang
duduk di bangku belakang menyentuh pundak sopir dan meminta kendaraan itu
dihentikan. Lelaki itu bersama istrinya sedang pulang dari bepergian.
“Tunggu
sebentar,” katanya. Dia perhatikan orang tua yang duduk di bendul jalan. Dia
menoleh kepada istrinya. “Orang tua itu seperti ayah. Coba kau lihat. Ya…,
seperti ayah. Ya! Itu Ayah! Lihat, apa yang dia bawa? Setandan pisang. Dua ikat
jagung, dan sebuah nangka.”
“Ya, betul. Itu
ayahmu. Ayahku juga. Mertuaku!”
“Ya, itu adalah
ayah!”
Lelaki itu
membuka pintu mobil. Dia turun. Langkahnya diikuti istrinya.
“Ayah!” Kata
lelaki itu. Orang tua itu melihat ke lelaki itu. Dia berdiri dan air matanya
menetes. Lelaki itu menerkam tubuh orang tua itu dan memasukkannya ke dalam
dekapannya. Si istri mencium tangan laki-laki tua itu.
“Ayah!”
Katanya.
Si Polisi lalu
lintas tercengang menyaksikan peristiwa itu. Penjaga kompleks perumahan mewah
itu juga tercengang. Buru-buru dia membuka pintu gerbang.
“Ayo, Ayah!”
Kata laki-laki itu membimbing ayahnya masuk ke dalam mobil. Si wanita memeluk
ayah suaminya itu dan mendudukkannya di bangku depan. Sebelum pintu tertutup,
orang tua itu masih sempat menoleh ke polisi lalu lintas itu.
“Malin
Kundang,” katanya. Anak dan menantunya tidak mendengar jelas kata-kata itu.
Pintu ditutup si anak. Dia masuk menyusul istrinya di kursi belakang. Si sopir
membuka pintu dan turun mengambil satu per satu bawaan lelaki tua itu.
Mula-mula dia angkat satu tandan pisang, lalu dua ikat jagung, dan kemudian
satu buah nangka. Semua dia masukkan ke tempat barang di buntut mobil.
“Ayah juga
membawa ayam, tapi ayam itu mereka bunuh dan mereka bakar di dalam lubang.”
“Maafkan mereka
ayah. Ayam hidup tidak boleh dibawa masuk ke dalam kompleks.”
Penjaga
kompleks perumahan mewah itu membuka pintu gerbang selebar-lebarnya dan tampak
dia terbingung-bingung. Polisi lalu lintas itu terpaku memerhatikan semua
kejadian itu. Dia setengah tak percaya dengan apa yang dia lihat.
Polisi lalu
lintas itu masih juga terbingung-bingung. Keterpukauannya disentakkan bunyi
gerbang yang ditutup. Dia jadi teringat apa yang diucapkan orang tua itu. Malin
Kundang. Apa hubungannya dengan aku. Malin Kundang memang menjadi batu dalam
lagenda itu. Dia sentakkan kepalanya dari keterpukauannya untuk mengembalikan
kesadarannya. Dia naik ke atas kendaraan roda duanya, menghidupkan mesin, dan
meneruskan perjalanannya menuju markas kepolisian tempat dia bekerja. Dia terus
memacu kendaraannya, lalu membelok ke dalam halaman markas. Dia sampai ke ruang
markas. Masuk ke salah satu ruang dan melepas helm. Dia duduk sebentar lalu
seperti teringat sesuatu. Dia beranjak dan pergi ke kamar kecil, membasuh popor
pistol dari darah ayam yang sudah mengering. Kemudian dia kembali ke ruang
tempat dia tadi duduk. Waktu melintas di depan gudang penyimpanan barang-barang,
dia lihat pintu gudang tidak tertutup rapat. Lewat pintu yang sedikit renggang
dia lihat patung dari bahan semen tersimpan di dalam. Selama ini dia tidak
tertarik untuk masuk ke dalam dan memerhatikan patung-patung itu dari dekat.
Sekarang tiba-tiba dia tertarik. Apakah setelah mendengar ucapan orang tua itu
dia lalu tertarik masuk ke dalam untuk melihat patung-patung itu lebih dekat.
Dia tersenyum, lalu dia buka pintu gudang itu lebih lebar. Tampak patung-patung
memberi hormat kepadanya. Dia senyum membalas hormat patung-patung itu.
“Mirip betul.
Mirip betul dengan diriku kalau aku mengenakan pakaian dinas. Pematung yang
terampil. Dia berhasil memindahkan profesi polisi lalu lintas ke dalam diri
patung-patung ini.” Dia kembali senyum memandang satu per satu patung-patung
itu.
Patung-patung
polisi lalu lintas itu belum semua terpasang di tempat-tempat strategis di
jalan-jalan kota.
Dia tersenyum.
Mungkin dia teringat satu pengalaman waktu dia naik taksi bersama keluarga.
Waktu itu hujan lebat. Lampu lalu lintas di perempatan jalan dari arah taksi
yang dia naiki sedang berwarna merah. Dia coba uji ketaatan si sopir. “Tidak
ada kendaraan yang melintas. Aman. Kebut saja, Pak.” “Jangan. Saya patuh pada
peraturan. Tidak Bapak lihat polisi di bawah hujan lebat itu. Dia memberi
hormat kepada kita di bawah guyuran hujan. Lihat di sebelah kiri di depan
kita.” “Aku lihat. Langgar saja! Itu kan sebuah patung.” “Jangan. Tunggu hijau.
Hormati Polisi Patung itu. Dia diletakkan untuk mengingatkan para pengguna
jalan agar disiplin di jalan raya.” Dia sebagai polisi yang sedang tidak
mengenakan pakaian dinas puas mendengar apa yang dikatakan sopir taksi itu.
“Ada satu lagi Polisi yang berisiko kalau kita tidak mengindahkannya walau
sebenarnya dia tidak terjaga. “Polisi apa itu?” “Polisi Tidur.”
Lelaki yang
didatangi ayahnya itu ingin membawa ayahnya berjalan-jalan melihat-lihat kota.
Kali ini lelaki itu membawa langsung mobil mewahnya bersama istrinya yang duduk
di sampingnya. Dia puas bisa menyenang-nyenangkan ayahnya. Waktu itu hujan
lebat. Lampu lalu lintas tiba-tiba berwarna merah waktu mobil itu sampai di
perempatan. Mobil dia hentikan. Setelah menunggu agak lama, si istri berpaling
ke kiri dan ke kanan, lalu berkata.
“Aman Pa. Jalan
saja.”
“Jangan. Kita
harus patuh pada peraturan lalu lintas. Coba lihat polisi itu. Dia hormat
kepada kita di bawah guyuran hujan lebat.”
“Di sebelah
mana? Aku tidak melihat ada polisi.”
“Sebelah kiri
di depan kita.”
“O, itu. Itu
kan patung.”
Orang tua itu
mendengar apa yang dibicarakan anak dan menantunya. Dia melihat ke depan, ke
arah yang dikatakan anak dan menantunya. Tampak olehnya Polisi Patung di bawah
guyuran hujan lebat dalam posisi memberi hormat kepada mereka. Mobil pun
berjalan karena lampu telah hijau. Dari jendela orang tua itu melihat ke luar.
Dia perhatikan patung polisi itu dalam guyuran hujan. Dia iba melihat Polisi
Patung itu. Dia tiba-tiba tersentak.
“Ya Allah.
Polisi itu…, menjadi batu….”
***
Hamsad Rangkuti (28 Oktober 2007)
A. Analisis Sintaksis
Analisis
ini disebut analisis pengaluran atau alur.
·
Analisis
Urutan Satuan Isi Cerita (Urutan Satuan Teks Atau Sekuen) Dan Uraiannya
Analisis
ini adalah analisis pengaluran, yaitu bagaimana cerita (alur) ditampilakan.
1.
Orang tua yang dihambat masuk perumahan
mewah oleh sekuriti komplek.
2.
Polisi lalu lintas datang dan ikut
campur.
3.
Orang tua tersebut ingin bertemu dengan
anaknya yang tinggal di perumahan mewah.
4.
Polisi lalu lintas meragukan orang tua
yang menyebut anaknya tinggal di perumahan mewah dan melarangnya masuk.
5.
Orang tua tetap bersikeras masuk
perumahan mewah untuk bertemu dengan anaknya yang tinggal di perumahan mewah.
6.
Polisi lalu lintas mencurigai barang
bawaan orang tua yang salah satunya adalah ayam kampung, karena dianggap
membahayakan ayam kampung tersebut ditembak dengan pistol oleh pilisi.
7.
Polisi masih belum percaya tetap tidak
mengijinkan orang tua itu masuk ke dalam komplek perumahan mewah.
8.
Polisi lalu lintas menghina orang tua
itu dengan menyebutnya sebagai orang fakir miskin.
9.
Orang tua itu tersinggung dengan
perkataan Polisi Lalulintas.
10.
Orang Tua merasa diperlakukan seperti
perlakuan Malin Kungang terhadapa ibunya.
11.
Karena perkataan yang kurang enak, orang
tua itu menyebut polisi lalu lintas sebagai Malin Kundang dan mengutuknya
menjadi batu.
12.
Polisi heran dengan perkataan Orang Tua.
13.
Seorang laki – laki beserta istrinya
datang dengan menggunakan mobil kelas termahal.
14.
Keduanya merasa bahwa orang tua itu
adalah ayahnya sendiri, begitu juga dengan istrinya yang merasa bahwa orang tua
itu adalah ayah mertuanya.
15.
Laki – laki menghampiri orang tua itu
dan memeluknya dengan meteteskan air mata.
16.
Polisi lalu lintas tercengan melihat
peristiwa tersebut.
17.
Orang tua tersebut dibawa masuk mobil
berkelas oleh anaknya.
18.
Orang tua itu kembali memanggil polisi
dengan sebutan Malin Kundang.
19.
Polisi terpaku seakan tidak percaya atas
apa yang telah dilihatnya.
20.
Polisi lalu lintas manaiki kendaraan
roda duanya menuju markas kepolisian tempat diamana ia bekerja.
21.
1 Sampai di markas ia masih teringat
dengan perkataan orang tua yang menyebutnya sabagai malin kundang.
22.
Kebingungan Polisi, dia masih bertanya –
tanya pada dirinya sendiri, kenapa orang tua itu menyebutnya malin kundang, apa
hubungannya dirinya dengan Malin Kundang.
21.1 Ingatan Polisi lalu lintas
kembali pada peristiwa saat dirinya masih berhadapan dengan orang tua yang telah
diremehkannya.
21.2 Polisi Lalu Lintas teringat pengalaman saat
dulu ia naik taksi bersama keluarganya.
22.2.1 Waktu itu hujan lebat, lampu
lalu lintas jalan arah dimana polisi Lalu Lintas itu menaiki taksi sedang
berwarna merah.
22.2.2 Polisi Lalu Lintas tersebut
lalu mencoba menguji ketaatan lalu lintas terhadap sopit taksi yang ia naiki.
22.2.3 Ternata si sopir taksi itu
tidak mau katena ia menaati peraturan lalu lintas.
23. Lelaki memnawa
ayahnya yang baru datang dari kampng untuk jalan – jalan bersamanya dan
istrinya.
24. Lelaki tersebut
membawa langsung mobilnya.
25. lelaki tersebut
merasa puas bisa menyenangkan ayahnya itu.
26. Saat itu cuaca
sedang hujan lebat.
27. Lampu lalu lintas
dekat perempatan berwarna merah.
28. Si istri berkata
aman terhadap lelaki atau suaminya pertanda untuk jalan terus saja.
29. Lelaki tidak
menuruti perkataan istrinya karena ia melihat ada patung polisi. Dan ia
mengormati patun polisi tersebut.
30. Dia tidak mau untuk
melanggar peraturan lalu lintas.
31. Orang tua mendengar
pembicaraan anak dan menantunya.
32. Orang tua tersebut
melihat ada sosok patung polisi dibawah guyuran hujan lebat.
33. Dia melihat patung
polisi itu dari jendela mobil.
34. Orang Tua merasa
iba terhadap patung – patung polisi yang berdiri di bawah hujan lebat.
35. Orang Tua mengira
polisi yang melarangnya masuk komplek perumahan sudah mejadi batu.
·
Analisis
Hubungan Fungsi – Fungsi Utama (Hubungan Logis)
Berikut ini marilah kita lihat hubungan logis
cerita, yaitu hubungan logis antar fungsi utama yang merupakan kerangka cerita
cerpen “Si Lugu dan Si Malin Kundang”
karya Hambsad Rangkuti.
Fungsi – fungsi utama (alur yang menampilkan kerangka
cerita)
I.
Permasalahan
yang berkenaan dengan problematika sosial yang berada di masyarakat dan
mengangkat permasalahan yang berkenaan dengan masalah kutukan : Orang Tua
dari kampung tidak diperbolehkan masuk komplek perumahan olek Polisi karena
penampilannya seperti fakir miskin. (1, 8)
II.
Polisi menyimpang dari tugas yang
sebenarnya : ikut campur melarang Orang Tua masuk ke dalam komplek perumahan
mewah. (2, 4)
III.
Keteguhan Orang Tua: untuk tetap masuk
ke dalam Komplek untuk bertemu anaknya. (5)
IV.
Kekejaman Polisi saat menembak ayam
milik Orang Tua yang dibawanya dari kampung untuk anaknya. (6)
V.
Kekecewaan Orang Tua : Ayam yang
dibawanya dari kampung dibunuh kaena dianggap akan menyebarkan virus. (6)
VI.
Kesombongan Polisi: yang tetap melarang
Orang Tua untuk masuk ke komplek perumahan mewah. (7)
VII.Usaha
Orang Tua untuk meyakinkan Polisi bahwa ankanya memang salah satu pemulik rumah
dalam komplek.
VIII.
Sifat kearoganan polisi yang tetap
melarang Orang Tua untuk masuk komplek perumahan.
IX.
Pelecehan yang dilakukan Polisi :
mengatakan bahwa Orang Tua seperti fakir miskin. (8)
X.
Kemarahan Orang Tua memuncak : Polisi
dianggap sebagai masyarakat Malin Kundang dan mengutuknya menjadi batu. (9, 10, 11)
XI.
Polisi terheran – heran dengan perkataan
Orang Tua. (12)
XII.
Kesadaran polisi : bahwa Orang Tua
merasa diperlakukan seperti yang perlakuan Malin Kundang terhadap ibunya. (10,
11)
XIII.
Sebuah mobil mewah yang dikendarai
Lelaki beserta istrinya berhenti. (13, 14)
XIV.
Kegembiraan Lelaki apat bertemu dengan
ayahnya (13, 14, 15)
XV.
Lelaki dan istrinya turun dari mobil dan memeluk ayahnya dengan
perasaan haru. (15)
XVI. Polisi
dan Sekutiri tercengan melihat Orang Tua dan Lelaki saling berpelukan. (16)
XVII. Lelaki
membawa ayahnya masuk mobil dan pulang. (16)
XVIII. Ketidakpercayaan
Polisi dan sekuriti atasa yang dilihatnya. (12, 19)
XIX. Polisi
kembali ke markas. (20)
XX.
Kebimbangan polisi. (12.1, 22)
XXI. Polisi
masuk ke dalam gudang dan melihat – lihat patung – patung polisi. (20)
XXII. Polisi
terheran – heran : patung – patung tersebut sangat mirip dengannya. (20)
XXIII. Polisi
teringat sesuatu : saat ia dan keluarganya menaiki taksi saat hujan lebat (21.1,
21.2.1)
XXIV. Polisi
menguji ketaatan berkendara supir taksi. (22.2.2)
XXV. Supir
taksi taat teradap peraturan lalu lintas. (22.2.2)
XXVI. Lelaki
mebawa ayahnya (Orang Tua) jalan – jalan dan saat itu hujan lebat. (23)
XXVII. Istri
dari Lelaki menyuruh suaminya melanggar rambu – rambu lalu lintas. (26, 27, 28)
XXVIII.
Lelaki tetap taat pada aturan lalu
lintas. (29)
XXIX. Orang
tua mearasa iba saat melihat patung – patung polisi yang berdiri di pinggir
dalan dan di bawah hujanyang lebat. (34)
XXX.
Orang Tua mengira Polisi yang
malarangnya masuk komplek perumahan sudah menjadi batu. (35)
Uraian
Fungai – fungsi Utama
Unsur cerita pertama yang menjadi motor pembuka
jalannya cerita adalah adanya problematika sosial. Orang Tua dari kampung tidak
diperbolehkan masuk komplek perumahan olek Polisi karena penampilannya seperti
fakir miskin (I). Dengan adanya kejadian itu,Polisi menyimpang
dari tugas yang sebenarnya yaitu ikut campur melarang Orang Tua masuk ke dalam
komplek perumahan mewah (II). Namun Orang Tua tetap ingin masuk ke dalam
Komplek untuk bertemu anaknya (III). Saat
itu Polisi melihat ayam yang dibawa Orang tua untuk anaknya, kemudian ia menembak
ayam tersebut (IV). Hal tersebut tentunya membuat kecewaan Orang (V). di tengah
rasa kecewa yang dialami Orang Tua, polisi tetap melarang Orang Tua untuk masuk
ke komplek perumahan mewah (VI). Orang
Tua berusaha tetap meyakinkan Polisi
bahwa ankanya memang salah satu pemilik rumah dalam komplek (VII). Semakin lama, Polisi bersikap arogan
dan semena – mena terhadap Orang tua (VIII).
Ditambah
dengan adanya kata – kata pelecehan yang dilakukan Polisi dengan mengatakan
bahwa Orang Tua seperti fakir miskin (IX).
Perkataan
Polisi tentu sangat membuat Orang Tua semakin geram terhadapnya (X). Kemarahan
Orang Tua semakin memuncak, Polisi dianggap sebagai masyarakat Malin Kundang
dan mengutuknya menjadi batu (XI). Hal
tersebut membuat Polisi terheran – heran dengan perkataan Orang Tua (XII).
Namun,
akhirnya polisi sadar bahwa Orang Tua merasa diperlakukan seperti yang
perlakuan Malin Kundang terhadap ibunya (XIII).
Tidak
lama kemudian, ketegangan mulai reda saat ada Sebuah mobil mewah yang dikendarai Lelaki beserta istrinya
berhenti (XIV). Suasana
berubah, ternyata pengendara mobil mewah adalah anak dari Orang Tua, ia sangat gembira dapat bertemu dengan ayahnya (XV).
Lelaki
dan istrinya turun dari mobil dan
memeluk ayahnya dengan perasaan haru (XVI). kejadian tersebut mebuat Polisi dan
Sekutiri tercengang melihat Orang Tua dan Lelaki saling berpelukan. (XVII). Lelaki membawa ayahnya masuk mobil
dan pulang (XVIII). Dengan perasaan
bingung dan terheran – heran, Polisi kembali ke markas (XIX). sesampainya di markas pun polisi masih
memikirkan kejadian di gerbang komplek perumahan (XX). Setelah membersihlkan pistonya dari darah ayam, Polisi tertarik masuk
ke dalam gudang dan melihat – lihat patung – patung polisi (XXI). Di dalam gudang Polisi terheran –
heran melihat patung – patung tersebut karena patung tersebut sangat mirip
dengannya. (XXII). Karena petung – patunga tersebut, lalu Polisi teringat sesuatu,
yaitu saat ia dan keluarganya menaiki taksi saat hujan lebat (XXIII) . Saat itu ia tak memakai seragam
dinas, Polisi menguji ketaatan berkendara supir taksi. (XXIV). Ternyata Supir taksi taat teradap
peraturan lalu lintas, si supir menghormati patu – patung polisi yang berdiri
di pinggiran jalan (XXV). Di sisi
lain, Lelaki mebawa ayahnya (Orang
Tua) jalan – jalan dan saat itu hujan lebat. (XXVI). Si Istri juga menyuruh suaminya melanggar rambu – rambu lalu
lintas dengan mererjang lampu rambu yang saat itu berwarna merah (XXVII). Namun suaminya, atau Lelaki tetap taat pada aturan lalu
lintas dan menghormati patung – patung polisi yang berdiri di pinggir jalan (XXVIII). Saat itu pula Orang tua melihat
patung polisi dan ia mearasa iba saat
melihat patung – patung polisi itu berdiri di pinggir jalan dan di bawah
hujanyang lebat (XXIX). Orang Tua teringat pada polisi yang menghadangnya masuk
komplek perumahan dan mengira Polisi
yang malarangnya itu sudah menjadi batu (XXX).
B. Analisis Sematik Naratif (Analisis Paradigmatik
/ Analisis In Absentia)
· Analisis Tokoh
Analisis
sematik ini digunakan untuk meneliti tokoh, latar, tema dan gagasan yang
terdapat dalam teks. Dalam analisis ini, pertama – tama dibahas mengenai tokoh.
Dari nama – nama tokoh yaitu Orang tua, Polisi Lalu Lintas, Lelaki, Istri,
Sekuriti Komplek, tampak bahwa Orang tua memiliki anak yang ternyata adalah
orang kaya penghuni komplek elit dan si Polisi Lalu Lintas yang semena – mena
terhadap Orang Tua.
a. Orang Tua
Hampir
tidak ada gambaran fisik dari tokoh Orang Tua. Perbaca hanya mengetahui kaalau
tokoh Orang Tua ini sudah berumur.
Tokoh
Oarang Tua ini adalah seorang dari kampung yang memiliki seorang anak sudah
sukses. Ankanya tinggal di perumahan yang mewah.
“Bapak tentu datang dari
kampung. Barang bawaan ini menunjukkannya.”
“Aku akan
mendatangi rumah anakku di dalam kompleks perumahan yang Engkau katakan mewah
ini.”
Persoalan yang dialami oleh orang
tua dimulai saat dia tidak diizinkan mesuk ke dalam komplek perumahan dimana
anaknya tinggal saat itu. Ia dilarang masuk oleh Sekuriti penjaga komplek
perumahan dan Polisi Lalu lintas yang saat itu sedang lewat. Saat itu, barang
yang dibawa dari kampung untuk anaknya,
berupa ayam ditembak atau dibunuh oleh Polisi Lalu Lintas dengan menggunakan
pistol. Ayam yang dibawa Orang Tua dianggap membahayakan menyebarkan virus jadi dimusnahkan. Hal itu membuat Orang Tua
tercengang melihatnya. Ia terheran – heran melihar kelakuan si Polisi yangtidah
manusiawi.
“Ayam ini tidak
boleh dibiarkan hidup di sekitar kita. Kulihat tanda-tanda pembawa virus
dimilikinya.” Dicabutnya pistol. “Mengorbankan sebutir peluru lebih baik
daripada membiarkan virus yang dibawanya menyebar di kompleks perumahan ini.”
Dia arahkan moncong pistol ke kepala ayam itu. Dia lihat ulang mata ayam itu.
Paruhnya yang menganga, kerongkongan yang bergerak terus mengatur napas. Lidah
menjulur mengeluarkan liur. “Maaf Pak. Ayam ini harus dimusnahkan. Satu butir
peluru…,” dia mulai menimbang-nimbang, “sayang juga.” Dia balikkan arah pistol.
Moncong pistol dia pegang. Dia sangat berbakat dalam hal tak berperasaan. Dia
tetak kepala ayam itu dengan gagang pistol. Ayam menggelupur dalam anyaman daun
kelapa. Dia menoleh ke sekuriti, “Bawa ke sana. Gali lubang. Bakar!” Sekuriti
rumah mewah itu mengambil ayam yang masih menggelepar-gelepar di dalam anyaman
daun kelapa. Dia pun menggali lubang, memasukkan ayam yang masih terus
menggelepar ke dalam lubang, dan membakarnya dengan ranting-ranting kering dan
daun-daun kering. Orang tua itu ternganga melihat semua itu.”
Tokoh ayah ini memiliki watak yang
teguh pendirian. Hal itu terbukti saat orang tua itu bersikeras akan menemui
anaknya yang kaya raya.
Tokoh Orang Tua masih terheran –
heran karena ia tetap tidak
diperbolehkan masuk dakam komlpek perumahan untuk bertemu anaknya. Polisi lalu lintas tidak percaya kalau anak
dari Orang Tua tersebut tinggal di komplek perumahan mewah itu hanya karena ia
datang dari kampung.
“O,
begitu. Tapi itu tidak mungkin. Tidak masuk akal kami. Kami tidak yakin Bapak
adalah ayah dari salah seorang penghuni rumah mewah ini.”
Tokoh Orang Tua juga menunjukkan watak yang teguh pendirian. Hal itu terbukti
saat orang tua itu bersikeras akan menemui anaknya yang kaya raya.
“Aku tetap
akan mendatangi rumah anakku di dalam kompleks perumahan yang Engkau katakan
mewah ini.”
Puncak kemarahan dari tokoh Orang
Tuan yaitu saat Polisi selalu merendahkannya. Polisi Lalu Lintas mengatakan
padanya bahwa pakaiannya itu adalah pakaian tak berpunya dan hampir sama dengan
pakaian fakir miskin. Orang Tua semakin geram mendengar perkataan yang tak
berperikemanusiaan itu.
“Di sini tinggal
orang-orang kaya. Tidak mungkin dan tidak masuk akal, ayah dari salah seorang
penghuni rumah mewah ini adalah Bapak. Pakaian Bapak adalah pakaian orang yang
tak berpunya. Hampir sama dengan pakaian fakir miskin. Apa lagi ini.”
Karena sangat kecewa dengan
perkataan dari polisi lalu lintas, Orang Tua pun mengibaratkan Polisi Lalu
Lintas dan Sekuriti komplek sebagai Malin Kundang, dan mengutuknya menjadi
batu. Orang Tua mengatakan seperti itu karena perlakuan Polisi dan Sekuriti komplek
perumahan mewah itu memperlakukannya seperti tokoh Ibu yang diperlakukan semena
– mena oleh anaknya.
“Jadi Engkau
tidak percaya kalau aku adalah orangtua salah seorang penghuni rumah mewah yang
kalian katakan itu? Kalian adalah masyarakat Malin Kundang. Engkau mewakili
masyarakat itu! Engkau akan menjadi batu.” Orang tua itu menunjuk ke polisi
lalu lintas itu. Polisi lalu lintas itu terkejut.”
Kemarahan dan kekecewaannya
terhadap Polisi dan Sekuriti komplek menurn saat ada sebuah mobil mewah datang
dan yang keluar dari mobil mewah itu tidak lain adalah anaknya sendiri dan di
lengsung memeluknya dengan perasaan haru.
“Sebuah mobil
kelas termahal berbelok ke arah pintu gerbang perumahan mewah itu. Lelaki yang
duduk di bangku belakang menyentuh pundak sopir dan meminta kendaraan itu
dihentikan. Lelaki itu bersama istrinya sedang pulang dari bepergian.
“Tunggu
sebentar,” katanya. Dia perhatikan orang tua yang duduk di bendul jalan. Dia
menoleh kepada istrinya. “Orang tua itu seperti ayah. Coba kau lihat. Ya…,
seperti ayah. Ya! Itu Ayah! Lihat, apa yang dia bawa? Setandan pisang. Dua ikat
jagung, dan sebuah nangka.”
“Ya, betul. Itu
ayahmu. Ayahku juga. Mertuaku!”
“Ya, itu adalah
ayah!”
Lelaki itu
membuka pintu mobil. Dia turun. Langkahnya diikuti istrinya.
“Ayah!” Kata
lelaki itu. Orang tua itu melihat ke lelaki itu. Dia berdiri dan air matanya
menetes. Lelaki itu menerkam tubuh orang tua itu dan memasukkannya ke dalam
dekapannya.”
Namun, kekecewaanya terhadap Polisi
dan Sekuriti karena perlakuan yang semena – mena terhadapnya tetap maih
terlihat. Saat Orang Tua masuk mobil mewah milik anaknya dia masih sempat
mengatakan kata “Malin Kundang” kepada Polisi dan sekuriti.
“Malin Kundang,”
katanya. Anak dan menantunya tidak mendengar jelas kata-kata itu. Pintu ditutup
si anak. Dia masuk menyusul istrinya di kursi belakang.”
Tokoh Orang Tuan dengan perasaan
sedikit kesal dan kecewa, menceritakan perlakuan tidak baik dari Polisi dan
sekuriti terhadapnya kepada anaknya. Apalagi saat ayam yang dibawanya dari
kampung ditembah oleh polisi. Namun si anak mejelaskan bahwa ayam memang tidak
diperbolehkan mesuk komplek.
“Ayah juga
membawa ayam, tapi ayam itu mereka bunuh dan mereka bakar di dalam lubang.”
“Maafkan mereka
ayah. Ayam hidup tidak boleh dibawa masuk ke dalam kompleks.”
b. Polisi Lalu Lintas
Polisi lalu lintas adalah seorang polisi yang mengurus
lalu lintas. Tokoh polisi lalu lintas berwatak arogan, ikut campur urusan orang
lain, dan suka melecehkan orang.
“Di sini tinggal orang-orang kaya. Tidak mungkin dan
tidak masuk akal, ayah dari salah seorang penghuni rumah mewah ini adalah
Bapak. Pakaian Bapak adalah pakaian orang yang tak berpunya. Hampir sama dengan
pakaian fakir miskin. Apa lagi ini.”
Sebenarnya tokoh Polisi lalu lintas
ini menyimpang dari tugasnya. Seharusnya ia bertugas untuk mengatur lalu lintas
jalanan, bukan untuk ikut campur masalah Orang Tua yang ingin bertemi dengan
anaknya, bahkan sampai melarangnya untuk mesuk perumahan tempat anaknya tinggak
hanya karena penampilannya kampungan.
“Polisi lalu lintas melihat peristiwa itu dan
menghentikan kendaraan roda duanya. Dia ingin tahu walau sebenarnya hal semacam
itu bukanlah tugasnya.”
Keterlibatan tokoh Polisi dalam
cerita dimulai saat ia melihat ada Orang tua yang berpakaian orang kapmung
ingin masuk ke sebuah komplek perumahan mewah, dan ia Polisi itu ikut campur
dan melarangnya masuk komplek perumahan.
“Polisi lalu lintas melihat peristiwa itu dan
menghentikan kendaraan roda duanya. Dia ingin tahu walau sebenarnya hal semacam
itu bukanlah tugasnya.”
Sifat
arogannya mulai terlihat saat ia melihat Orang Tua memabawa seekor ayam, dan
ayam tersebut dibunuh dengan pistol miliknya. Ia membuat Orang tua sangat
kecewa kerna ayam yang dibawa untuk anaknya dari kampung dibuhunya dengan
alasan akan menyebarkan virus. Dan ia beru meminta maaf kepada orang tua saat
ayam sudah dibunuh dan kan dibakar.
“Ayam ini tidak boleh dibiarkan hidup di sekitar
kita. Kulihat tanda-tanda pembawa virus dimilikinya.” Dicabutnya pistol.
“Mengorbankan sebutir peluru lebih baik daripada membiarkan virus yang
dibawanya menyebar di kompleks perumahan ini.” Dia arahkan moncong pistol ke
kepala ayam itu. Dia lihat ulang mata ayam itu. Paruhnya yang menganga,
kerongkongan yang bergerak terus mengatur napas. Lidah menjulur mengeluarkan
liur. “Maaf Pak. Ayam ini harus dimusnahkan. Satu butir peluru…,” dia mulai
menimbang-nimbang, “sayang juga.” Dia balikkan arah pistol. Moncong pistol dia
pegang. Dia sangat berbakat dalam hal tak berperasaan. Dia tetak kepala ayam
itu dengan gagang pistol. Ayam menggelupur dalam anyaman daun kelapa. Dia
menoleh ke sekuriti, “Bawa ke sana. Gali lubang. Bakar!” Sekuriti rumah mewah
itu mengambil ayam yang masih menggelepar-gelepar di dalam anyaman daun kelapa.
Dia pun menggali lubang, memasukkan ayam yang masih terus menggelepar ke dalam
lubang, dan membakarnya dengan ranting-ranting kering dan daun-daun kering.
Orang tua itu ternganga melihat semua itu.”
“Maaf Bapak. Ini terpaksa saya lakukan.” Katanya
sambil menggosokkan gagang pistol ke rumput.”
Polisi
tidak mempercayai Orang Tua yang mengatakan bahwa anaknya adalah salah satu
pemilik rumah di komplek perumahan mewah tersebut. Dia tidak memepercayai
karena penampilan Orang Tua yang sangat kampungan. Bahkan, ia melarang
tegas Oang Tua itu masuk komplek
perumahan dimana anaknya tinggal. Padahal Orang Tua sudah bersikeras
meyankinkan bahwa anaknya memang tinggal di perumahan tersebut.
“O, begitu. Tapi itu tidak mungkin. Tidak masuk akal
kami. Kami tidak yakin Bapak adalah
ayah dari salah seorang penghuni rumah mewah ini.”
“Jadi Engkau juga tidak percaya kalau aku adalah
ayah dari salah seorang penghuni kompleks perumahan ini? Aku tidak boleh masuk
mencari rumah anakku. Aku tidak boleh mengetuk dari pintu ke pintu sampai aku
menemukan pintu rumah anakku.”
“Tidak boleh.” Polisi lalu lintas itu sekarang telah
mengambil alih menangani orang tua itu. Dia lupa pada tugasnya sebagi polisi
lalu lintas. Dia telah mengambil alih tugas sekuriti rumah mewah itu. Sekarang
dia merasa dialah yang harus menangani orang tua itu.”
Perlakuannya
terhadap Orang Tua semakin mejadi saat dia mengatakan bahwa rang tua itu
penampilannya sama dengan fakir miskin. Dia mengatakn hal itu sekan – akan dia
adalah orang yang berkuasa. Dia memebuat Orang Tua mejadi geram karena perkataanya
yang sangat merendahkan. Dan itu sangat menujukkan sifat kearogannya.
“Di sini tinggal orang-orang kaya. Tidak mungkin dan
tidak masuk akal, ayah dari salah seorang penghuni rumah mewah ini adalah
Bapak. Pakaian Bapak adalah pakaian orang yang tak berpunya. Hampir sama dengan
pakaian fakir miskin. Apa lagi ini.”
Kutipan
diatas menunjukkan watak Polisi yang sangat semena – mena terhadap Orang Tua.
Saat
itu pula Polisi Lalu Lintas dianggap sebagai masyarakat Malin Kundang Orang
Tua. Dia mengatakan hal tesebut karena Polisi memeperlakukan orang tua dengan
semena – mena. Mendengar perkataan itu, Polisi pun terkejut dan menganggapnya
sabagai lelucon semata.
“Jadi Engkau tidak percaya kalau aku adalah orangtua
salah seorang penghuni rumah mewah yang kalian katakan itu? Kalian adalah
masyarakat Malin Kundang. Engkau mewakili masyarakat itu! Engkau akan menjadi
batu.” Orang tua itu menunjuk ke polisi lalu lintas itu. Polisi lalu lintas itu
terkejut.”
Tak
lama kemudian Polisi Lalu Lintas dibuat terkejut saat ada seorang laki – laki
bersama istrinya turun dari mobil mewah dan menghampiri Orang Tua yang
dipanggilnya ayah dan membawanya masuk dalam mobil mewah miliknya. Seketika itu
polisi tercengang melihat itu. Mungkin ia merasa salah paham terhadap Orang Tua
tersebut.
“Sebuah mobil kelas termahal berbelok ke arah pintu
gerbang perumahan mewah itu. Lelaki yang duduk di bangku belakang menyentuh
pundak sopir dan meminta kendaraan itu dihentikan. Lelaki itu bersama istrinya
sedang pulang dari bepergian.”
Lelaki itu membuka pintu mobil. Dia turun.
Langkahnya diikuti istrinya.
“Ayah!” Kata lelaki itu. Orang tua itu melihat ke
lelaki itu. Dia berdiri dan air matanya menetes. Lelaki itu menerkam tubuh
orang tua itu dan memasukkannya ke dalam dekapannya. Si istri mencium tangan
laki-laki tua itu.
“Ayah!” Katanya.
Si Polisi lalu lintas tercengang menyaksikan
peristiwa itu. Penjaga kompleks perumahan mewah itu juga tercengang. Buru-buru
dia membuka pintu gerbang.”
Sesampainya
di markas tempat ia bekerja, kebingungan Polisi Lalu Lintas itu masih
berlanjut. Dia masih bertanya – tanya mengapa Orang Tua itu mengatakan bahwa ia
temasuk masyarakat Malin Kundang, apa hubungannya ia dengan Malin Kundang.
“Polisi lalu lintas itu masih juga
terbingung-bingung. Keterpukauannya disentakkan bunyi gerbang yang ditutup. Dia
jadi teringat apa yang diucapkan orang tua itu. Malin Kundang. Apa hubungannya
dengan aku. Malin Kundang memang menjadi batu dalam lagenda itu. Dia sentakkan
kepalanya dari keterpukauannya untuk mengembalikan kesadarannya.”.
Saat
masuk gudang di markas tempat di bekerja, dia tersenyum melihat patung – patung
polisi yang terpajang di dalam. Dalam benaknya dia berkata, betapa mirip patung
– patung polisi itu dengannya. Saat itu juga Polisi teringat saat ia menaiki
taksi bersama keluarganya menaiki taksi dan saat itu hujan lebat, ia menyuruh
supir taksi untuk melanggar peraturan lalu lintas dengan menerjang lampu rambu
– rambu lalu lintas yang saat itu berwarna merah. Namun sopir menolak untuk
melanggarnya dan mengingatkannya agar menghormati patung – patung polisi lalu
lintas yang dipajang di pingiran jalan.
“Mirip betul. Mirip betul dengan diriku kalau aku
mengenakan pakaian dinas. Pematung yang terampil. Dia berhasil memindahkan
profesi polisi lalu lintas ke dalam diri patung-patung ini.” Dia kembali senyum
memandang satu per satu patung-patung itu.
Dia tersenyum. Mungkin dia teringat satu pengalaman
waktu dia naik taksi bersama keluarga. Waktu itu hujan lebat. Lampu lalu lintas
di perempatan jalan dari arah taksi yang dia naiki sedang berwarna merah. Dia
coba uji ketaatan si sopir. “Tidak ada kendaraan yang melintas. Aman. Kebut
saja, Pak.” “Jangan. Saya patuh pada peraturan. Tidak Bapak lihat polisi di
bawah hujan lebat itu. Dia memberi hormat kepada kita di bawah guyuran hujan.
Lihat di sebelah kiri di depan kita.” “Aku lihat. Langgar saja! Itu kan sebuah
patung.” “Jangan. Tunggu hijau. Hormati Polisi Patung itu. Dia diletakkan untuk
mengingatkan para pengguna jalan agar disiplin di jalan raya.” Dia sebagai
polisi yang sedang tidak mengenakan pakaian dinas puas mendengar apa yang
dikatakan sopir taksi itu.”
Hal
tersebut menunjukkan bahwa seharusnya ia berperilaku baik. Patung – patung yang
berdiri di pinggiran jalan saja dihormati oleh pengendara, walaupun itu
hanyalah sebuah patung, namun patung – patung tersebut merupakan sebagai
peringatan agar selalu menaati peraturan lalu lintas.
c. Lelaki
Lelaki adalah anak dari Orang Tua yang
datang dari kampung, lelaki ini kaya raya, baik, tidak sombong walaupun orang
kaya, sopan kepada orangtuanya, dan tidak lupa pada orangtuanya walaupun orang
tua itu berasal dari kampung.
“Sebuah mobil kelas termahal berbelok ke arah pintu
gerbang perumahan mewah itu. Lelaki yang duduk di bangku belakang menyentuh
pundak sopir dan meminta kendaraan itu dihentikan. Lelaki itu bersama istrinya
sedang pulang dari bepergian.”
Walaupun
ia sudah menjadi orang yang berada atau orang yang sudah kaya, memiliki mobil
mewah dan tinggal di perumahan elit, namun ia tetap mejunjukkan rasa hormat dan
sayang kepada ayahnya. Dia juga tidak lupa akan ayahnya yang datang dari
kampung itu. Walaupun ayahnya berpenampilan kempungan tetap saja ia menujukkan
rasa sayang kepadanya.
“Tunggu sebentar,” katanya. Dia perhatikan orang tua
yang duduk di bendul jalan. Dia menoleh kepada istrinya. “Orang tua itu seperti
ayah. Coba kau lihat. Ya…, seperti ayah. Ya! Itu Ayah! Lihat, apa yang dia
bawa? Setandan pisang. Dua ikat jagung, dan sebuah nangka.”
“Ya, itu
adalah ayah!”
Lelaki itu membuka pintu mobil. Dia turun.
Langkahnya diikuti istrinya.
“Ayah!” Kata lelaki itu. Orang tua itu melihat ke
lelaki itu. Dia berdiri dan air matanya menetes. Lelaki itu menerkam tubuh
orang tua itu dan memasukkannya ke dalam dekapannya. “
Tidak
hanya itu, kasih sayang terhadap ayahnya itu juga ia tunjukkan dengan membawa
ayahnya itu jalan – jalan dengan menaiki kendaraan mobil mewahnya.
“Lelaki yang didatangi ayahnya itu ingin membawa
ayahnya berjalan-jalan melihat-lihat kota. Kali ini lelaki itu membawa langsung
mobil mewahnya bersama istrinya yang duduk di sampingnya. Dia puas bisa
menyenang-nyenangkan ayahnya.”
Lelaki
itu juga menunjukkan sifat sabagai pnengendara yang mematuhi peraturan lalu
lintas dan rasa hormat terhadap patung polisi lalu lintas yang dipajang di
pinggir jalanan . Saat istrinya menyuruhnya menerjang lampu rambu – rambu yang
berwarna merah, da menolak dan lebih memilih berhenti walaupun saat itu hujan
lebat dan tidak ada polisi, yang ada hanya patu – patung polisi saja, namun
Lelaki tetap mengormati patung polisi itu.
“Waktu itu hujan lebat. Lampu lalu lintas tiba-tiba
berwarna merah waktu mobil itu sampai di perempatan. Mobil dia hentikan.
Setelah menunggu agak lama, si istri berpaling ke kiri dan ke kanan, lalu
berkata.”
“Aman Pa. Jalan saja.”
“Jangan. Kita harus patuh pada peraturan lalu
lintas. Coba lihat polisi itu. Dia hormat kepada kita di bawah guyuran hujan
lebat.”
d. Istri
Istri adalah istri dari lelaki dan menantu ayah atau
orangtua. Ia memiliki sikap baik hati, turut pada suami, tidak sombong, dan
sopan terhadap mertuanya.
Walaupun mertuanya hanya orang kampung, tapi tokoh Istri tetap menyayangi dan
menghormati mertuanya itu.
“Ya, betul. Itu ayahmu. Ayahku juga. Mertuaku!”
“Si istri mencium tangan laki-laki tua itu.”
“Si wanita memeluk ayah suaminya itu dan
mendudukkannya di bangku depan.“
e. Sekuriti
Sekuriti adalah penjaga kompleks perumahan
mewah tempat dimana anak Orang Tua tinggal, tokoh sekuriti ini meremehkan
oranglain dengan memandang orang sebelah mata, ia menghambat orangtua masuk
kompleks hanya dengan alasan orangtua itu dari kampung.
“Sekuriti kompleks perumahan mewah menghambat masuk
orang tua dengan beban sepikul hasil bumi. Pintu gerbang tidak dia buka. Orang
tua itu mengatakan dia berjalan dari stasiun kereta api mencari kompleks
perumahan itu. Setandan pisang, dua ikat jagung, satu buah nangka masak, dan
seekor ayam”
Bersama
dengan polisi lalu lintas ia menghalango atau melarang tokoh Orang Tua masuk ke
koomplek perumahan. Ia juga ikut berperan dalam aksi pembasmian ayam yang dibawa
Orang Tua dari kampung untuk anaknya.
“Dia menoleh ke sekuriti, “Bawa ke sana. Gali lubang.
Bakar!” Sekuriti rumah mewah itu mengambil ayam yang masih menggelepar-gelepar
di dalam anyaman daun kelapa. Dia pun menggali lubang, memasukkan ayam yang
masih terus menggelepar ke dalam lubang, dan membakarnya dengan ranting-ranting
kering dan daun-daun kering. Orang tua itu ternganga melihat semua itu.”
Namun,
pada akhirnya ia juga terheran – heran karena ternyata Orang tua tersebut benar
– benar memilki anak yang tinggal di komplek dimana ia bekerja disana.
“Penjaga kompleks perumahan mewah itu membuka
pintu gerbang selebar-lebarnya dan tampak dia terbingung-bingung.”
·
Analisis
Ruang
Ruang yang ditapilkan dalam teks
cerpen “Si Lugu dan Si Malin Kundang” karya Hamsad Rangkuti menyatu dengan waktu dan suasana.
a. Analisis
ruang yang bergerak
Lelaki
bersama dengan isrtinya mengendarai mobil mewah dengan seorang sopir, mereka
baru pulang bapergian. Mereka berbelok
memasuki gerbang komplek perumahan mewah. Isteri lelaki melihat ada seorang
lelaki tua yang ia kenal. Lelaki tersebut menyuruh sopirnya menghentikan
mobilnya karena ia merasakan hal yang sama dengan istrinya, melihat seseorang
yang ia kenal ydan tidak lain adalah ayahnya dari kampung.
“Sebuah
mobil kelas termahal berbelok ke arah pintu gerbang perumahan mewah itu. Lelaki
yang duduk di bangku belakang menyentuh pundak sopir dan meminta kendaraan itu
dihentikan. Lelaki itu bersama istrinya sedang pulang dari bepergian.”
“Tunggu
sebentar,” katanya. Dia perhatikan orang tua yang duduk di bendul jalan. Dia
menoleh kepada istrinya. “Orang tua itu seperti ayah. Coba kau lihat. Ya…,
seperti ayah. Ya! Itu Ayah! Lihat, apa yang dia bawa? Setandan pisang. Dua ikat
jagung, dan sebuah nangka.”
“Ya,
betul. Itu ayahmu. Ayahku juga. Mertuaku!”
Saat itu Orang Tua sedang
menghadapi Polisi dan Sekuriti komplek yang melarangnya masuk untuk menemui
ankanya. Lelaki yang masih di dalam mobinlnya langsung mengenali Orang Tua
tersebut adalah ayahnya, dia langsung turun dan memeluknya dengan perasaan
haru. Suatu peristiwa yang mengharukan, ayahnya adalah seorang yang datang dari
kampung untuk menemui anaknya yang sudah kaya dan tinggal di komplek perumahan
mewah. Walaupun sedah menjadi orang kaya, Lelaki tetap menunjukkan rasa sayang
dan hormatnya kedada ayahnya yang datang dari kampung.
Dari penjelsan tersebut
membuktikan bahwa latar atau tempat yang berupa mobil tersebut menjurus atau
mencerminkan perasaan dari para tokoh dalam cerita.
Hal yang sama juga terlihat jelas
saat Polisi Lalu Lintas bersama keluarganya menaiki taksi.
“Mungkin dia teringat satu pengalaman waktu dia naik
taksi bersama keluarga. Waktu itu hujan lebat. Lampu lalu lintas di perempatan
jalan dari arah taksi yang dia naiki sedang berwarna merah. Dia coba uji
ketaatan si sopir. “Tidak ada kendaraan yang melintas. Aman. Kebut saja, Pak.”
“Jangan. Saya patuh pada peraturan. Tidak Bapak lihat polisi di bawah hujan
lebat itu. Dia memberi hormat kepada kita di bawah guyuran hujan. Lihat di
sebelah kiri di depan kita.” “Aku lihat. Langgar saja! Itu kan sebuah patung.”
“Jangan. Tunggu hijau. Hormati Polisi Patung itu. Dia diletakkan untuk
mengingatkan para pengguna jalan agar disiplin di jalan raya.” Dia sebagai
polisi yang sedang tidak mengenakan pakaian dinas puas mendengar apa yang
dikatakan sopir taksi itu. “Ada satu lagi Polisi yang berisiko kalau kita tidak
mengindahkannya walau sebenarnya dia tidak terjaga. “Polisi apa itu?” “Polisi
Tidur.”
Kutipan tersebut menunjukkan pada
saat itu hujan lebat dan dalam pejalanannya mereka bertemu rambu – rambu lalu
lintas yang sedang berwarna merah, dan itu artinya mereka harus beehenti, si
Polisi Lalu Lintas menguji ketaatan supir dengan menyuruh sang supir untuk
menerjang lampu rambu – rambu tersebut namun, si supir menolaknya dan tetap
mematuhi peratutan rambu – rambu. Walaupun saat itu hujan lebat, peraturan lalu
lintas tetap harus ditaati. Apalagi ada patung – patung polisi yang selalu
setia berdiri di pinggiran jalan guna memperingatkan pengguna jalan agar tetap
disiplin menaati peraturan jalan.
b.
Analisis
ruang yang tak bergerak
Orang tua datang dari kampung
untuk mertemu dengan seorang anaknya
yang tinngal di dalam komplek perumahan
mewah, namun ia dihadang di depan gerbang komplek oleh sekuriti komplek
perumahan mewah tersebut. disusul dengan datangnya seorang polisi lalu lintas
yang ikut melarangnya masuk.
“Sekuriti kompleks perumahan mewah menghambat masuk
orang tua dengan beban sepikul hasil bumi. Pintu gerbang tidak dia buka. Orang
tua itu mengatakan dia berjalan dari stasiun kereta api mencari kompleks
perumahan itu. Setandan pisang, dua ikat jagung, satu buah nangka masak, dan
seekor ayam. Polisi lalu lintas melihat peristiwa itu dan menghentikan
kendaraan roda duanya. Dia ingin tahu walau sebenarnya hal semacam itu bukanlah
tugasnya.”
Gerbang
perumahan yang seharusnya sebagai tempat keluar masuk penghuni perumahan, namun
menjadi tempat berdebat antara Polisi dan sekuriti yang melarang Orang tua yang
akan menemui anaknya. Orang tua sudah berkali – kali meyakinkan polisi dan
sekuriti komplek namun tetap saja ia tidak diperbolehkan masuk dengan alasan
penampilannya tidak seperti orang kaya melainkan seperti fakir miskin.
Di
gerbang perumahan komplek pula akhirnya Polisi mengetahui bahwa Orang tua
tersebut memang memiliki anak yang tidak lain adalah slah satu penghuni komplek
perumahan mewah itu.
Di
tempat itulah Orang tua dihina dan direndahkan oleh polisi dan sekuriti
komplek. Orang Tua di buat geram dengan perlakuan Polisi dan Sekuriti yang
kurang sopan terhadap orang yang lebih tua.
·
Analisis
Waktu
Analisis
waktu biasanya erat kaitannya dengan analisis tempat dan suasana. Orang Tua
datang dari kampung untuk mengunjungi anaknya yang tinggal di sebuah komplek
perumahan mewah, namun hal itu tehambat saat sekuriti melarangnya masuk. Tidak lama kemudian Polisi datang dan ikut
melarang Orang Tua masuk wilayah perumahan. Lalu oarng tua menganggap nya
sebagai masyarakat Malin Kundang karena memeprlakukannya sama seperti Malin
Kundang kepada ibunya.
Setelah
itu Polisi teringat saat pengalaman
waktu dia naik taksi bersama keluarganya dan saat itu hujan lebat.
“Dia tersenyum. Mungkin dia teringat satu pengalaman waktu dia naik taksi bersama keluarga.
Waktu itu hujan lebat. Lampu lalu lintas di perempatan jalan dari arah taksi
yang dia naiki sedang berwarna merah. Dia coba uji ketaatan si sopir. “Tidak
ada kendaraan yang melintas. Aman. Kebut saja, Pak.” “Jangan. Saya patuh pada
peraturan. Tidak Bapak lihat polisi di bawah hujan lebat itu. Dia memberi
hormat kepada kita di bawah guyuran hujan. Lihat di sebelah kiri di depan
kita.” “Aku lihat. Langgar saja! Itu kan sebuah patung.” “Jangan. Tunggu hijau.
Hormati Polisi Patung itu. Dia diletakkan untuk mengingatkan para pengguna
jalan agar disiplin di jalan raya.” Dia sebagai polisi yang sedang tidak
mengenakan pakaian dinas puas mendengar apa yang dikatakan sopir taksi itu.
“Ada satu lagi Polisi yang berisiko kalau kita tidak mengindahkannya walau
sebenarnya dia tidak terjaga. “Polisi apa itu?” “Polisi Tidur.”
“teringat satu pengalaman saktu di
naik taksi bersama keluarga” membawanya ke waktu
yang lalu, ia mengingat kembali pengalamannya. Keadaan saat itu hujan
lebat. Karena ia tidak memakai seragam
dinas, saai itu pula ia mencoba menguju kepatuhan supir taksi terhadap
peraturan lalu lintas. Dari kutipan cerpen di atas, ada hubungannya dengan
kejadian saat polisi melarang Orang Tua ingin masuk komplek perumahan. Patung
polisi yang berdiri di pingir jalan saja dihormati oleh pengendara karena
keberadaanya sebagai pengingat untuk tetap mematuhi peaturan lalu lintas. Ia
adalah seorang polisi lalu lintas yang pekerjaaannya adalah mengatur lalu
lintas, bukan untuk mengatur seseorang atau tidak memperbolehkan seseorang
masuk ke komplek perumahan, apalagi ia sampai menembak seekor ayam. Sebenarnya polisi tersebut sudah melanggar
peraturan, ia menyimpang dari tugasnya sebagai polisi lalu lintas.
C. Analisis Pragmatik
1. Kehadiran
Unsur Pemandang
Kini,
tibalah pada aspek pragmatik. Pertama – tama kita lihat bersama masalah
pemandang. Dalam cerpen ini, si pemandang berada di luar cerita, pandangannya
terpusat pada tokoh Orang Tua.
Tampak olehnya Polisi Patung di bawah guyuran hujan
lebat dalam posisi memberi hormat kepada mereka. Mobil pun berjalan karena
lampu telah hijau. Dari jendela orang tua itu melihat ke luar. Dia perhatikan
patung polisi itu dalam guyuran hujan. Dia iba melihat Polisi Patung itu. Dia
tiba-tiba tersentak.
Kutipan
di atas menunjukkan bahwa pemandang berada di luar cerita. Pandangannya
terpusat pada tokoh orang tua yang sedang memandang ke luar mobil yaitu patung
polisi. Padahal tentunya banyak hal lain yang bisa dilihat atau diperhatikan di luar mobil, tidak hanya patung polisi
saja. Keadaan dalam mobil juga tidak digambarkan padahal ada tidak hanya Orang
Tua yang berada di dalam mobil namun ada orang lain yang di dalamnya.
Cuplikan
di bawah ini menunjukkan pandangan yang menyebar.
Sekuriti kompleks perumahan mewah menghambat masuk
orang tua dengan beban sepikul hasil bumi. Pintu gerbang tidak dia buka. Orang
tua itu mengatakan dia berjalan dari stasiun kereta api mencari kompleks
perumahan itu. Setandan pisang, dua ikat jagung, satu buah nangka masak, dan
seekor ayam. Polisi lalu lintas melihat peristiwa itu dan menghentikan
kendaraan roda duanya. Dia ingin tahu walau sebenarnya hal semacam itu bukanlah
tugasnya.
Cuplikan
tersebut mengemukakan pandangan yang menyebar dan bergerak. Satu persatu unsur
pandangan ditampilkan : Orang Tua yang membawa beban sepikul, setandang pisang,
dua ikat jagung, satu buah nangka masak, dan seekor ayam, polisi datang
menghentikan motornya.
Selain
itu ada pula pandangan yang terfokus dan menulik hingga jiwa atau perasaan
tokoh.
Polisi lalu lintas itu masih juga
terbingung-bingung. Keterpukauannya disentakkan bunyi gerbang yang ditutup. Dia
jadi teringat apa yang diucapkan orang tua itu. Malin Kundang. Apa hubungannya
dengan aku. Malin Kundang memang menjadi batu dalam lagenda itu. Dia sentakkan
kepalanya dari keterpukauannya untuk mengembalikan kesadarannya.
Ketika
itu polisi baru melihat Orang Tua yang dilarangnya masuk ke dalam komplek
perumahan karena penampilannya seperti fakir miskin ternyata memang benar –
benar memiliki anak yang tinggal di komplek perumahan tersebut. Betapa
tercengangnya dia saat itu.
2. Kehadiran
Unsur Penuturan
Dalam
cerpen “Si Lugu dan Si Malin Kundang” pencerita atau penutur berada di luar
cerita.
Sekuriti kompleks perumahan mewah menghambat masuk
orang tua dengan beban sepikul hasil bumi. Pintu gerbang tidak dia buka. Orang
tua itu mengatakan dia berjalan dari stasiun kereta api mencari kompleks
perumahan itu. Setandan pisang, dua ikat jagung, satu buah nangka masak, dan
seekor ayam. Polisi lalu lintas melihat peristiwa itu dan menghentikan
kendaraan roda duanya. Dia ingin tahu walau sebenarnya hal semacam itu bukanlah
tugasnya.
Kutipan
di atas merupakan narasi yang menunjukkan bahwa penutur atau pencerita berada
di luar cerita, tetapi ia mengetahui semua hal mengenai pikiran, perasaan,
perbuatan tokoh – tokoh ceita dan lingkungan yang ada di sekitarnya.
“Ayah!” Kata lelaki itu. Orang tua itu melihat ke
lelaki itu. Dia berdiri dan air matanya menetes. Lelaki itu menerkam tubuh
orang tua itu dan memasukkannya ke dalam dekapannya. Si istri mencium tangan
laki-laki tua itu.
Kutipan
di atas menunjukkan bahwa si penutur atau pencerita memang mengetahui bagaimana
perasaan haru yang dirasakan oleh tokoh Lelaki yang bertemu dengan Orang Tua
atau ayahnya yang datang dari kampung, walaupun kenyataanya si pencerita atau
penutur berada di luar cerita.
3. Kohesi
Leksikal : Isotopi, Motif, dan Tema
Isotopi
adalah wilayah makna terbuka yang terdapat di sepanjang wacana. Dengan
mengetahui isotopi dominan, kita dapat menemukan motif dan sekumpulan motif
dapat membentuk tema. Mungkin bagi sebagian peneliti, hal ini kurang
menyenangkan kerena sedikit mengandung kuantitas (perhitungan kosa kata yang
digunakan). Dalam persakapan cerpen “Si
Lugu dan Si Malin Kundang” karya Hamsad Rangkudi ini ditemukan beberapa isotopi. Isotopi
penglihatan dan pendengaran (indera), nama, dan gender yang dikelompokkan dalam
motif manusia (jumlah 40). Isotopi perasaan memiliki jumlah 18. Kedua motif
tersebut membentuk motif yang lebih besar, yaitu perasaan manusia. kemudian,
ada isotopi gerakan , isotopi perjalanan, dan isotopi waktu yang dikelompokkan
dalam motif perubahan, jumlahnya yaitu 61. Jumlahnya lebih besar dari isotopi
perasaan. Selain itu, ada pula isotopi
masyarakat atau budaya dengan jumlah 4. Motif tidak adanya gerakan atau satatis
ada 20. Dan terakhir motif alam ada 2. Tema ditemukan dengan merangkum beberapa
motif ke dalam tema. Terdapat beberapa penonjolan perasaan, tampak pada
keteguhan ati seoranng ayah yang ingin menemui anaknya, kesombongan dan
kerarogan dari polisi, kekejaman dari polisi yang tega memebunuh ayam si Orang
Tua, kemarahan, kekecewaan, keharuan, kegembiraan. Di sisni juga tampak
keteguhan hati si Orang Tua dan kearogan atau kekejaman si Polisi Lalu lintas. Selanjutnya
perubahan jauh lebih besar kestatistikan. Motif alam dalam cerpen ini hampir tidak disajikan. Di sini ternyata tema
utamanya adalah problematika
sosial. Kita dapat melihat bagaimana keraguan sekuriti dan polisi kepada orang
tua yang hendak bertemu anaknya
karena alasan yang cukup sederhana, yaitu orang tua tersebut datang dari
kampung. Tidak adil rasanya menilai seseorang hanya melihat
dari latar belakangnya. Sampai akhirnya tokoh Orang Tua itu
mengutuk polisi lalu lintas menjadi batu seperti pada kisah Malin Kundang.
Cerpen ini berjudul “Si
Lugu dan Si Malin Kundang”. Mengapa “Si Lugu dan Si Malin Kundang?”. Cerpen “Si Lugu dan Si Malin
Kundang” sebetulnya tidak ada kaitannya secara langsung dengan tokoh
Malin Kundang. Pada cerpen “Si Lugu dan Si Malin Kundang” ada beberapa alur
cerita yang sama dengan cerita Malin Kundang. Seorang ayah pada cerpen ini,
menerima perlakuan yang sama dengan tokoh ibu pada cerita Malin Kundang, yaitu
dihina dan direndahkan. Cerpen “Si Lugu dan Si Malin Kundang”
menceritakan seorang ayah yang miskin pergi menemui anaknya yang kaya raya di
sebuah kompleks perumahan mewah. Namun, ketika mau memasuki gerbang kompleks
mewah itu, dia dihadang oleh securiti kompleks dan polisi lalu lintas. Tokoh
ayah kemudian mengutuk tokoh polisi lalu lintas menjadi batu. Seorang ayah pada
cerpen “Si Lugu dan Si Malin Kundang” menerima perlakuan yang sama dengan tokoh
ibu pada cerita Malin Kundang, yaitu dihina dan direndahkan.“Si Lugu dan Si
Malin Kundang” mentransformasi legenda zaman dahulu dengan menampilkan
tokoh polisi yang diibaratkan sebagai Malin Kundang yang hidup di zaman modern.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar